Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVII (MISA YUBILEUM MIGRAN DAN DUNIA MISIONER) 5 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Hab. 1:2-3; 2:2-4; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; 2Tim. 1:6-8,13-14; Luk. 17:5-10.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Yubileum Migran dan Dunia Misioner. Ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk menghidupkan kembali kesadaran akan panggilan misioner kita, yang muncul dari keinginan untuk membawa sukacita dan penghiburan Injil kepada semua orang, terutama mereka yang sedang mengalami situasi sulit dan menyakitkan. Secara khusus, saya memikirkan saudara-saudari kita para migran, yang harus meninggalkan tanah air mereka, seringkali meninggalkan orang-orang yang mereka kasihi, menanggung malam yang penuh ketakutan dan kesepian, serta mengalami diskriminasi dan kekerasan secara langsung.

 

Kita berada di sini, di makam Rasul Petrus, karena kita masing-masing hendaknya dapat berkata dengan sukacita: seluruh Gereja misioner, dan sangatlah mendesak – sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus – agar kita “pergi keluar dan memberitakan Injil kepada semua orang: ke setiap tempat, dalam segala kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau takut.” (Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 23).

 

Roh Kudus mengutus kita untuk melanjutkan karya Kristus di pinggiran dunia, yang terkadang ditandai oleh perang, ketidakadilan, dan penderitaan. Menghadapi situasi-situasi yang mengancam ini, teriakan yang begitu sering dalam sejarah telah dikumandangkan kepada Allah telah muncul kembali: Tuhan, mengapa Engkau tidak turun tangan? Mengapa Engkau seolah-olah tidak hadir? Teriakan dukacita ini merupakan bentuk doa yang meresapi seluruh Kitab Suci dan, pagi ini, kita mendengarnya dari Nabi Habakuk: “Berapa lama lagi, ya Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar ...? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, dan memandangi saja kelaliman?” (Hab 1:2-3).

 

Paus Benediktus XVI, yang telah merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini selama kunjungan bersejarahnya ke Auschwitz, kembali ke tema tersebut dalam sebuah katekese, dengan menegaskan: “Allah diam dan keheningan ini menusuk jiwa orang yang berdoa, yang terus-menerus memanggil tetapi tidak menerima jawaban … Allah tampak sangat jauh, sangat pelupa, sangat tidak hadir” (Katekese, 14 September 2011).

 

Namun, tanggapan Tuhan membuka pengharapan kita. Jika nabi mengecam kekuatan jahat yang tak terhindarkan yang tampaknya merajalela, Tuhan, di pihak-Nya, menyatakan kepadanya bahwa semua ini akan berakhir, akan berhenti, karena keselamatan akan datang dan tak akan tertunda: "Sesungguhnya, orang yang membusungkna dadfa tidak lurus hatinya, tetapi orang benar akan hidup oleh percayanya" (Hab 2:4).

 

Oleh karena itu, ada kehidupan, kemungkinan baru untuk kehidupan dan keselamatan yang berasal dari iman, karena iman tidak hanya membantu kita melawan kejahatan dan bertekun dalam berbuat baik, tetapi juga mengubah hidup kita sehingga menjadikannya sarana keselamatan yang bahkan hingga saat ini ingin Allah wujudkan di dunia. Dan, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil, hal ini tentang kekuatan yang sederhana, karena iman tidak memaksakan diri dengan kekuasaan dan dengan cara-cara yang luar biasa. Sungguh, cukuplah memiliki iman sebesar biji sesawi untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan (bdk. Luk 17:6), karena iman mengandung kekuatan kasih Allah yang membuka jalan menuju keselamatan.

 

Inilah keselamatan yang tergenapi ketika kita mengambil tanggung jawab dan, dengan belas kasih Injil, peduli terhadap penderitaan sesama; inilah keselamatan yang memimpin jalan, secara diam-diam dan tampaknya tanpa hasil, dalam kata-kata dan tindakan sehari-hari, yang menjadi persis seperti benih kecil yang dibicarakan Yesus; inilah keselamatan yang perlahan-lahan bertumbuh ketika kita menjadi "hamba yang tidak layak", yaitu ketika kita menempatkan diri kita dalam pelayanan Injil dan saudara-saudari kita, tidak mencari kepentingan kita sendiri tetapi hanya membawa kasih Allah ke dunia.

 

Dengan meyakini hal ini, kita dipanggil untuk memperbarui api panggilan misioner kita. Sebagaimana ditegaskan Santo Paulus VI, “mewartakan Injil di kurun sejarah manusia yang luar biasa ini, suatu masa yang sungguh belum pernah terjadi sebelumnya, di mana, di puncak kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya, terdapat pula kedalaman kebingungan dan keputusasaan yang juga belum pernah terjadi sebelumnya merupakan tanggung jawab kita” (Pesan untuk Hari Minggu Misi Sedunia, 25 Juni 1971).

 

Saudara-saudari, hari ini sebuah era misioner baru terbuka dalam sejarah Gereja.

 

Jika selama ini kita mengaitkan misi dengan kata "pergi", yaitu pergi ke negeri yang jauh yang belum mengenal Injil atau yang mengalami kemiskinan, kini batas-batas misi tidak lagi geografis, karena kemiskinan, penderitaan, dan kerinduan akan pengharapan yang lebih besar telah menghampiri kita. Kisah begitu banyak saudara-saudari kita para migran menjadi saksi akan hal ini: tragedi pelarian mereka dari kekerasan, penderitaan yang menyertainya, ketakutan akan kegagalan, risiko berbahaya berlayar di sepanjang garis pantai, teriakan duka dan keputusasaan mereka. Saudara-saudari, perahu-perahu yang berharap menemukan pelabuhan yang aman, dan mata yang dipenuhi kesedihan dan pengharapan yang berusaha mencapai pantai, tidak dapat dan tidak boleh menemukan dinginnya ketidakpedulian atau stigma diskriminasi!

 

Misi bukan tentang "pergi", melainkan "tetap tinggal" untuk mewartakan Kristus melalui keramahtamahan dan penyambutan, belas kasih, dan kesetiakawanan. Kita harus tetap tinggal tanpa lari menuju kenyamanan individualisme kita; tetap tinggal untuk memperhatikan mereka yang datang dari negeri yang jauh dan penuh kekerasan; tetap tinggal dan membuka tangan serta hati kita bagi mereka, menyambut mereka sebagai saudara-saudari, dan menjadi penghiburan serta pengharapan bagi mereka.

 

Banyak misionaris, baik pria maupun wanita, tetapi juga umat beriman dan orang-orang beritikad baik, yang bekerja melayani para migran, dan mempromosikan budaya persaudaraan baru dengan tema migrasi, melampaui stereotip dan prasangka. Namun, pelayanan yang berharga ini melibatkan kita masing-masing, dalam batasan kemampuan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, inilah saatnya bagi kita semua untuk membiarkan diri kita "berada dalam situasi perutusan yang permanen" (Evangelii Guadium, 25).

 

Hal ini setidaknya mencakup dua tugas misioner yang penting: kerja sama misioner dan panggilan misioner.

 

Pertama-tama, saya memintamu untuk mengembangkan kerja sama misioner yang diperbarui di antara Gereja-Gereja. Dalam komunitas-komunitas tradisi kristiani kuno, seperti di Barat, kehadiran banyak saudara dan saudari dari belahan dunia Selatan hendaknya disambut sebagai sebuah kesempatan, melalui pertukaran yang memperbarui wajah Gereja dan menopang kekristenan yang lebih terbuka, lebih hidup, dan lebih dinamis. Pada saat yang sama, semua misionaris yang berangkat ke negeri-negeri lain dipanggil untuk hidup menghormati budaya yang mereka jumpai, mengarahkan kepada kebaikan segala sesuatu yang dianggap benar dan berharga, dan membawa pesan kenabian Injil ke sana.

 

Saya ingin mengenang keindahan dan pentingnya panggilan misioner. Secara khusus saya merujuk pada Gereja di Eropa: saat ini dibutuhkan upaya misioner baru oleh kaum awam, religius, dan imam yang akan mempersembahkan pelayanan mereka di negeri-negeri misioner. Kita membutuhkan gagasan dan pengalaman panggilan baru yang mampu menopang hasrat ini, terutama di kalangan kaum muda.

 

Sahabat-sahabat terkasih, dengan tulus saya memberikan berkat saya kepada para klerus lokal dari Gereja-Gereja partikular, para misionaris, dan mereka yang sedang menekuni panggilan. Sementara itu, kepada para migran, saya katakan: ketahuilah bahwa kamu selalu diterima! Lautan dan padang gurun yang telah kamu seberangi, Kitab Suci menyebutnya "tempat-tempat keselamatan", di mana Allah hadir untuk menyelamatkan umat-Nya. Saya harap kamu menemukan wajah Allah ini dalam diri para misionaris yang kamu jumpai.

 

Saya memercayakan kamu semua kepada perantaraan Maria, misionaris pertama Putranya, yang bergegas pergi ke daerah perbukitan Yudea, mengandung Yesus dalam rahimnya dan mengabdikan dirinya untuk melayani Elisabet. Semoga Maria menopang kita, agar kita masing-masing dapat menjadi rekan sekerja bagi Kerajaan Kristus, Kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 5 Oktober 2025)