Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA BERSAMA INSAN UNIVERSITAS KEPAUSAN 27 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Rm. 8:12-17; Mzm. 68:2,4,6-7ab,20-21; Luk. 13:10-17.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Berkumpul di tempat ini selama Tahun Yubileum adalah anugerah yang tak boleh kita anggap remeh. Terutama anugerah karena berziarah, melewati Pintu Suci, mengingatkan kita bahwa hidup hanya bermakna ketika dijalani sebagai sebuah perjalanan, ketika ia tahu bagaimana terus bergerak maju, yaitu, ketika ia mampu menghadirkan kenyataan Paskah.

 

Maka, memikirkan bagaimana Gereja, melalui perayaan Yubileum selama bulan-bulan ini, telah mengingat bahwa ia senantiasa perlu mengalami pertobatan dan bahwa ia harus selalu berjalan di belakang Yesus tanpa ragu dan tanpa godaan untuk mendahului-Nya sungguh baik. Sungguh, Gereja senantiasa membutuhkan Paskah, yaitu, "melewati" perbudakan menuju kebebasan, kematian menuju kehidupan. Saya berharap kamu semua mengalami dalam dirimu anugerah pengharapan ini, dan semoga Yubileum menjadi kesempatan untuk memulai kembali hidupmu.

 

Hari ini, saya ingin memberi amanat kepada kamu yang merupakan bagian dari lembaga universitas dan semua orang yang, dengan berbagai cara, mengabdikan diri untuk belajar, mengajar, dan meneliti. Anugerah apakah yang dapat menyentuh kehidupan seorang mahasiswa, seorang peneliti, seorang cendekiawan? Saya akan menjawabnya dengan cara ini: rahmat visi yang menyeluruh, sudut pandang yang mampu menjangkau cakrawala, memandang melampaui.

 

Kita dapat melihat wawasan ini dalam perikop Injil yang baru saja diwartakan (Luk 13:10-17), yang menggambarkan seorang perempuan yang punggungnya bungkuk dan, setelah disembuhkan oleh Yesus, akhirnya dapat menerima rahmat sudut pandang baru, visi yang lebih luas. Kondisi perempuan ini menyerupai kondisi ketidaktahuan, yang sering dikaitkan dengan ketertutupan diri dan kurangnya kegelisahan rohani dan intelektual. Ia bungkuk punggung, terpaku pada dirinya sendiri, sehingga tidak mampu melihat melampaui dirinya sendiri. Ketika manusia tidak mampu melihat melampaui dirinya, melampaui pengalaman, gagasan, dan keyakinannya, melampaui rencananya, maka ia tetap terpenjara, terbudak, dan tidak mampu membentuk penilaian yang matang.

 

Seperti perempuan yang bungkuk punggung dalam Bacaan Injil, risiko menjadi tawanan sudut pandang kita yang egois selalu tetap ada. Namun, pada kenyataannya, banyak hal yang benar-benar penting dalam hidup – bisa kita katakan, hal-hal yang paling mendasar – tidak datang dari diri kita sendiri; kita menerimanya dari orang lain. Hal-hal itu datang kepada kita melalui guru, perjumpaan, dan pengalaman hidup kita. Inilah pengalaman rahmat, karena menyembuhkan kita dari keegoisan. Inilah penyembuhan sejati yang, seperti halnya perempuan dalam Bacaan Injil, memungkinkan kita sekali lagi berdiri tegak di hadapan kehidupan dan kenyataannya, serta memandangnya dengan sudut pandang yang lebih luas. Perempuan yang disembuhkan menerima harapan, karena ia akhirnya dapat memandang ke atas dan melihat sesuatu yang berbeda, dapat melihat dengan cara yang baru. Hal ini terutama terjadi ketika kita berjumpa dengan Kristus dalam hidup kita, ketika kita membuka diri terhadap kebenaran yang mengubah hidup yang mampu membuat kita keluar dari diri kita sendiri dan membebaskan kita dari keegoisan.

 

Mereka yang belajar "memandang ke atas", memperluas cakrawala dan sudut pandang mereka untuk menemukan kembali visi yang tidak memandang ke bawah, melainkan mampu memandang ke atas: kepada Allah, sesama, dan misteri kehidupan. Sungguh, rahmat menjadi seorang mahasiswa, peneliti, atau cendekiawan berarti menerima visi luas yang mampu melihat jauh ke kejauhan; yang tidak menyederhanakan masalah atau takut akan pertanyaan; yang mengatasi kemalasan intelektual dan, dengan demikian, juga mengalahkan kemerosotan spiritual.

 

Marilah kita selalu ingat bahwa spiritualitas membutuhkan sudut pandang ini, yang disumbangkan oleh studi teologi, filsafat, dan disiplin ilmu lainnya dengan cara tertentu. Saat ini, kita telah menjadi ahli dalam detail terkecil kenyataan, namun kita telah kehilangan kemampuan visi menyeluruh yang memadukan segala sesuatu melalui makna yang lebih dalam dan lebih agung. Namun, pengalaman kristiani ingin mengajar kita untuk memandang kehidupan dan kenyataan dengan pandangan yang menyatu, yang mampu merangkul segala sesuatu sambil menolak cara berpikir yang parsial.

 

Oleh karena itu, saya mendorongmu, para mahasiswa, peneliti, dan pengajar, untuk tidak melupakan Gereja membutuhkan sudut pandang yang terpadu ini, baik untuk masa kini maupun masa depan. Kita dapat meneladani para pria dan wanita seperti Agustinus, Thomas Aquino, Teresa dari Avila, Edith Stein, dan banyak lainnya yang mampu memadukan penelitian ke dalam kehidupan dan perjalanan rohani mereka. Kita juga dipanggil untuk mengembangkan upaya intelektual dan pencarian kebenaran tanpa memisahkannya dari kehidupan. Pentingnya membina kesatuan ini agar apa yang terjadi di ruang kelas universitas dan lingkungan pendidikan apa pun tidak hanya sekadar latihan intelektual yang abstrak. Sebaliknya, hal itu mampu mengubah kehidupan, dan membantu kita memperdalam hubungan kita dengan Kristus, memahami misteri Gereja dengan lebih baik, dan menjadikan kita saksi Injil yang berani dalam masyarakat.

 

Sahabat terkasih, studi, penelitian, dan pengajaran membawa serta tanggung jawab pendidikan yang penting, dan saya ingin mendorong universitas untuk merangkul panggilan ini dengan penuh semangat dan komitmen. Mendidik serupa dengan mukjizat yang diceritakan dalam Bacaan Injil hari ini, karena tugas pendidik adalah mengangkat manusia, membantu mereka menjadi diri mereka sendiri dan mampu mengembangkan hati nurani yang terinformasi serta kemampuan berpikir kritis. Universitas kepausan harus mampu melanjutkan "karya" Yesus ini. Ini adalah tindakan kasih sejati, karena merupakan bentuk amal kasih yang diungkapkan melalui studi, pengetahuan, dan pencarian tulus akan apa yang benar dan layak dijalani. Memenuhi rasa lapar akan kebenaran dan makna adalah tugas penting, karena tanpanya kita akan jatuh ke dalam kehampaan dan bahkan menyerah pada kematian.

 

Dalam perjalanan ini, kita masing-masing juga dapat menemukan kembali anugerah terbesar, yaitu mengetahui bahwa kita tidak sendirian dan kita milik seseorang, sebagaimana ditegaskan Rasul Paulus: "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab, kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, 'Ya Abba, ya Bapa!'" (Rm. 8:14-15). Sungguh, apa yang kita terima saat kita mencari kebenaran dan mengabdikan diri untuk belajar membantu kita menemukan bahwa kita bukanlah makhluk yang secara kebetulan dicampakkan ke dunia, melainkan kita milik seseorang yang mengasihi kita dan yang memiliki rencana kasih bagi hidup kita.

 

Saudara-saudari terkasih, bersamamu, saya memohon kepada Tuhan agar pengalaman belajar dan meneliti selama masa kuliahmu memampukanmu untuk memiliki sudut pandang baru ini. Semoga perjalanan akademismu membantumu untuk dapat berbicara, menceritakan, memperdalam, dan mewartakan alasan-alasan pengharapan yang ada di dalam kita (bdk. 1 Ptr 3:15). Semoga universitas membentukmu menjadi pria dan wanita yang tidak pernah terpaku pada diri sendiri tetapi selalu tegak, yang mampu membawa sukacita dan penghiburan Injil ke mana pun kamu pergi.

 

Semoga Perawan Maria, Takhta Kebijaksanaan, mendampingi dan menjadi perantaramu.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA TAHBISAN EPISKOPAL MGR. MIROSŁAW STANISŁAW WACHOWSKI (USKUP AGUNG TERPILIH VILLAMAGNA DI PROCONSULARE DAN NUNSIO APOSTOLIK UNTUK IRAK) 26 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Sir. 35:12-14,16-18; Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18; Luk. 18:9-14.


Saudara-saudari terkasih!

 

Hari ini Gereja Roma bersukacita bersama Gereja universal, bersukacita atas karunia seorang uskup baru: Uskup Agung Mirosław Stanisław Wachowski, putra negeri Polandia, uskup agung tituler terpilih Villamagna di Proconsolare dan Nunsius Apostolik untuk rakyat Irak terkasih.

 

Semboyan yang dipilihnya — Gloria Deo Pax Hominibus — bergema seperti gema kidung Natal para malaikat di Betlehem: "Kemuliaan bagi Allah di tempat Yang Maha Tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Luk 2:14). Ini adalah program seumur hidup: selalu mengupayakan kemuliaan Allah bersinar dalam damai sejahtera di antara manusia. Inilah makna mendalam dari setiap panggilan kristiani, dan khususnya panggilan episkopal: menjadikan nyata, melalui hidup seseorang, pujian bagi Allah dan keinginan-Nya untuk mendamaikan dunia dengan diri-Nya (bdk. 2 Kor 5:19).

 

Sabda Allah yang baru saja diwartakan menawarkan kepada kita beberapa ciri penting pelayanan episkopal. Bacaan Injil (Luk 18:9-14) menunjukkan kepada kita dua orang yang berdoa di Bait Allah: seorang Farisi dan seorang pemungut cukai. Orang Farisi memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri, menyebutkan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya; pemungut cukai tetap di belakang, tak berani menengadah ke langit, dan mempercayakan segalanya pada satu doa: "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini" (ayat 13). Yesus berkata bahwa sesungguhnya dialah, si pemungut cukai, yang menerima rahmat dan keselamatan Allah, sebab "siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan" (ayat 14).

 

Doa orang miskin menembusi awan, Putra Sirakh mengingatkan kita: Allah mendengarkan permohonan orang-orang yang mempercayakan diri sepenuhnya kepada-Nya (bdk. Sir 35:15-22).

 

Inilah pelajaran pertama bagi setiap uskup: kerendahan hati. Bukan kerendahan hati dalam kata-kata, melainkan kerendahan hati yang bersemayam dalam hati seseorang yang menyadari bahwa ia seorang hamba, bukan tuan; seorang gembala, bukan pemilik kawanan domba.

 

Saya tergerak merenungkan doa sederhana yang, di Mesopotamia, telah membahana bak dupa selama berabad-abad: sang pemberita Injil memiliki wajah begitu banyak umat beriman Timur yang, dalam keheningan, terus berseru, "Ya Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini." Doa mereka tak pernah berhenti, dan hari ini Gereja universal bergabung dalam paduan suara orang-orang percaya yang menembusi awan dan menyentuh hati Allah.

 

Monsinyur Mirosław yang terkasih, kamu berasal dari negeri danau dan hutan. Di lanskap-lanskap itu, tempat keheningan berkuasa, kamu belajar merenung; di tengah salju dan matahari, kamu belajar ketenangan dan kekuatan; dalam keluarga petani, kesetiaan pada tanah dan pekerjaan. Pagi hari mengajarkanmu berdisiplin hati, dan kecintaanmu pada alam menuntunmu menemukan keindahan Sang Pencipta.

 

Akar ini bukan sekadar kenangan untuk diingat, melainkan pelajaran seumur hidup. Dari kontak dengan tanah, kamu belajar bahwa kesuburan datang dari penantian dan kesetiaan: dua kata yang juga mendefinisikan pelayanan episkopal. Uskup dipanggil untuk menabur dengan kesabaran, mengolah dengan rasa hormat, menanti dengan penuh harapan. Ia adalah seorang penjaga, bukan pemilik; seorang pendoa, bukan pemilik. Allah mempercayakan kepadamu sebuah misi agar kamu dapat merawatnya dengan dedikasi yang sama seperti seorang petani merawat ladangnya: setiap hari, dengan ketekunan, dengan iman.

 

Pada saat yang sama, kita mendengar Rasul Paulus yang, mengenang hidupnya sendiri, berkata, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman" (2 Tim 4:7). Kekuatannya bukan berasal dari kesombongan, melainkan dari rasa syukur, karena Allah menopangnya dalam jerih payah dan pencobaannya.

 

Demikian pula, saudara terkasih, yang telah menapaki jalan pelayanan bagi Gereja di perwakilan kepausan di Senegal dan di negara asalmu, Polandia, di organisasi internasional di Wina dan di Sekretariat Negara, sebagai Pejabat Notulen dan Wakil Menteri untuk Hubungan dengan Negara-Negara, kamu telah menjalani diplomasi sebagai ketaatan pada kebenaran Injil, dengan kebijaksanaan dan kompetensi, dengan rasa hormat dan dedikasi, dan untuk itu saya bersyukur. Kini Allah memohon agar karunia ini menjadi kebapaan pastoral: menjadi seorang bapa, gembala, dan saksi pengharapan di negeri yang ditandai oleh penderitaan dan kerinduan untuk kelahiran kembali. Kamu dipanggil untuk berjuang dalam pertandingan iman yang baik, bukan melawan orang lain, melainkan melawan godaan untuk lelah, mundur, mengukur hasilmu, dengan mengandalkan kesetiaan yang menjadi ciri khasmu: kesetiaan mereka yang tidak mencari kepentingan diri sendiri, melainkan melayani dengan profesionalisme, dengan rasa hormat, dengan kompetensi yang cemerlang dan tidak pamer.

 

Santo Paulus VI, dalam Surat Apostoliknya Sollicitudo omnium Ecclesiarum, mengingatkan bahwa wakil Paus merupakan tanda kepedulian Penerus Petrus bagi seluruh Gereja. Ia diutus untuk memperkuat ikatan persekutuan, mengembangkan dialog dengan otoritas sipil, menjaga kebebasan Gereja, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Nunsius Apostolik bukan sekadar diplomat: ia adalah wajah Gereja yang mendampingi, menghibur, dan membangun jembatan. Tugasnya bukan untuk membela kepentingan pihak tertentu, melainkan untuk melayani persekutuan.

 

Di Irak, tanah misimu, pelayanan ini memiliki makna khusus. Di sana, Gereja Katolik, dalam persekutuan penuh dengan Uskup Roma, hidup dalam beragam tradisi: Gereja Kaldea, dengan Patriark Babilonia dari Kaldea dan bahasa Aram dalam liturginya; Gereja Siro-Katolik, Katolik Armenia, Katolik Yunani, dan Latin. Ia merupakan mosaik ritual dan budaya, sejarah dan iman, yang meminta untuk disambut dan dilindungi dalam amal kasih.

 

Kehadiran umat Kristen di Mesopotamia sudah ada sejak lama: menurut tradisi, Santo Thomas Rasul yang membawa Injil ke negeri itu setelah kehancuran Bait Suci Yerusalem; dan murid-muridnya, Addai dan Mari, yang mendirikan komunitas pertama. Di wilayah itu, mereka berdoa dalam bahasa yang digunakan Yesus: bahasa Aram. Akar apostolik ini merupakan tanda kesinambungan yang belum mampu dipadamkan oleh kekerasan, yang diwujudkan dengan keganasan dalam beberapa dekade terakhir. Sungguh, suara mereka yang secara brutal kehilangan nyawa di negeri itu tidak berkurang. Hari ini mereka berdoa untukmu, untuk Irak, untuk perdamaian dunia.

 

Pertama kalinya dalam sejarah, seorang Paus mengunjungi Irak. Pada bulan Maret 2021, Paus Fransiskus tiba sebagai peziarah persaudaraan. Di negeri itu, tempat Abraham, bapa iman kita, mendengar panggilan Allah, pendahulu saya mengenang bahwa "Allah, yang menciptakan manusia setara dalam martabat dan hak, memanggil kita untuk menyebarkan kasih, kebajikan, dan kerukunan. Di Irak pun, Gereja Katolik ingin menjadi sahabat bagi semua orang dan, melalui dialog, bekerjasama secara membangun dengan agama-agama lain demi perdamaian" (Fransiskus, Pidato kepada Pihak Berwenang, Masyarakat Sipil, dan Korps Diplomatik, 5 Maret 2021).

 

Hari ini kamu dipanggil untuk melanjutkan perjalanan itu: melindungi benih pengharapan, mendorong hidup berdampingan secara damai, menunjukkan bahwa diplomasi Takhta Suci lahir dari Injil dan dipupuk oleh doa.

 

Uskup Agung Mirosław yang terkasih, jadilah manusia yang senantiasa bersekutu dan berdiam diri, yang mendengarkan dan berdialog. Bawalah dalam kata-katamu kelembutan yang membangun dan dalam tatapanmu kedamaian yang menghibur. Di Irak, orang-orang akan mengenalimu bukan dari apa yang kamu katakan, tetapi dari bagaimana kamu mengasihi.

 

Kita mempercayakan misimu kepada Maria, Ratu Damai, kepada Santo Thomas, Addai, dan Mari, serta kepada banyak saksi iman Irak. Semoga mereka menyertaimu dan menjadi terang di jalanmu.

 

Maka, sebagaimana Gereja, dalam doa, menyambutmu ke dalam Dewan Uskup, marilah kita berdoa bersama: semoga kemuliaan Allah menerangi jalanmu dan semoga damai Kristus bersemayam di mana pun kamu melangkah. Gloria Deo, Pax Hominibus. Amin.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXX (MISA YUBILEUM TIM SINODAL DAN BADAN PARTISIPATIF) 26 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Sir. 35:12-14,16-18; Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18; Luk. 18:9-14.

 

Saudara-saudari,

 

Saat kita merayakan Yubileum Tim Sinodal dan Badan Partisipatif, kita diundang untuk merenungkan dan menemukan kembali misteri Gereja. Gereja bukan sekadar lembaga keagamaan, juga bukan sekadar identik dengan hierarki dan struktur. Konsili Vatikan II mengingatkan kita bahwa Gereja adalah tanda nyata persatuan antara Allah dan umat manusia, di mana Allah bermaksud menyatukan kita semua ke dalam satu keluarga saudara-saudari dan menjadikan kita umat-Nya: umat yang terdiri dari anak-anak terkasih, semuanya bersatu dalam satu pelukan kasih-Nya.

 

Merenungkan misteri persekutuan gerejawi, yang dibangkitkan dan dilestarikan oleh Roh Kudus, kita juga dapat memahami makna tim sinodal dan badan partisipatif. Mereka mengungkapkan apa yang terjadi di dalam Gereja, di mana hubungan bukan tanggapan terhadap nalar kekuasaan melainkan nalar kasih. Yang pertama – diingatkan terus-menerus oleh Paus Fransiskus – adalah nalar "duniawi". Sebaliknya, dalam komunitas kristiani, keutamaan terletak pada kehidupan rohani, yang menyingkapkan kepada kita bahwa kita semua adalah anak-anak Allah, saudara-saudari, yang dipanggil untuk saling melayani.

 

Aturan tertinggi dalam Gereja adalah kasih. Tak seorang pun dipanggil untuk menguasai; semua dipanggil untuk melayani. Tak seorang pun boleh memaksakan gagasannya sendiri; kita semua harus saling mendengarkan. Tak seorang pun dikecualikan; kita semua dipanggil untuk berpartisipasi. Tak seorang pun memiliki seluruh kebenaran; kita semua harus dengan rendah hati mencarinya dan mencarinya bersama.

 

Kata "bersama" sendiri mengungkapkan panggilan kepada persekutuan dalam Gereja. Paus Fransiskus mengingatkan kita akan hal ini dalam Pesan Prapaskahnya yang terakhir: “… melakukan perjalanan bersama. Gereja dipanggil untuk berjalan bersama, untuk menjadi sinodal. Umat Kristiani dipanggil untuk berjalan bersama orang lain, dan tidak pernah sebagai pengembara yang sendirian. Roh Kudus mendorong kita untuk tidak terpaku pada diri sendiri, tetapi meninggalkan diri sendiri dan terus berjalan menuju Allah dan saudara-saudari kita. Berjalan bersama berarti memperkokoh persatuan yang berlandaskan martabat kita bersama sebagai anak-anak Allah” (Pesan Prapaskah, 25 Februari 2025).

 

Berjalan bersama: tampaknya inilah yang diabaikan kedua tokoh dalam perumpamaan yang baru saja kita dengar dalam Bacaan Injil. Baik orang Farisi maupun pemungut cukai pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Kita dapat mengatakan bahwa mereka "pergi bersama-sama" atau, setidaknya, mereka menemukan diri mereka bersama di tempat suci. Namun mereka terpisah; dan tidak ada komunikasi di antara mereka. Keduanya menempuh jalan yang sama, tetapi mereka tidak berjalan bersama. Keduanya berada di Bait Allah; tetapi yang satu mendahului, dan yang lain tertinggal. Keduanya berdoa kepada Bapa, tetapi tanpa menjadi saudara dan tanpa memiliki kesamaan apa pun.

 

Perpecahan ini terutama bergantung pada sikap orang Farisi. Doanya, meskipun tampaknya ditujukan kepada Allah, hanyalah sebuah cermin tempat ia memandang, membenarkan, dan memuji dirinya sendiri. Sebagaimana ditulis Santo Agustinus, ia "pergi untuk berdoa: ia tidak bermaksud berdoa kepada Allah, melainkan memuji dirinya sendiri" (Diskursus 115, 2). Merasa paling unggul, ia menghakimi orang lain dengan hina dan memandangnya rendah. Orang Farisi terobsesi dengan egonya sendiri dan, dengan cara ini, akhirnya berfokus pada dirinya sendiri tanpa memiliki hubungan dengan Allah maupun orang lain.

 

Saudara-saudari, hal ini juga dapat terjadi dalam komunitas kristiani. Terjadi ketika ego mengalahkan kebersamaan, menyebabkan individualisme yang menghalangi hubungan yang autentik dan persaudaraan. Juga terjadi ketika klaim diri lebih baik daripada orang lain, seperti yang dilakukan orang Farisi terhadap pemungut cukai, menciptakan perpecahan dan mengubah komunitas menjadi tempat yang bersifat menghakimi dan eksklusif; dan ketika seseorang memanfaatkan perannya untuk menggunakan kekuasaan, alih-alih untuk melayani.

 

Namun, kita hendaknya memusatkan perhatian kita pada pemungut cukai. Dengan kerendahan hati sama seperti yang ia tunjukkan, kita juga harus menyadari di dalam Gereja bahwa kita semua membutuhkan Allah dan satu sama lain, yang menuntun kita untuk mempraktikkan kasih timbal balik, saling mendengarkan, dan menikmati kebersamaan. Pemahaman Kristus adalah milik orang-orang yang rendah hati, bukan milik orang-orang yang meninggikan diri di atas orang-orang adalah landasannya (bdk. Santo Klemens dari Roma, Surat kepada Jemaat di Korintus, bab XVI).

 

Tim sinodal dan badan partisipatif merupakan gambaran Gereja yang hidup dalam persekutuan. Percayalah ketika saya memberitahumu bahwa dengan mendengarkan Roh Kudus dalam dialog, persaudaraan, dan keberanian berbicara terus terang, kamu akan membantu kita memahami bahwa, mengatasi perbedaan, kita dipanggil di dalam Gereja untuk berjalan bersama dalam mengejar Allah. Dengan mengenakan kepekaan perasaan Kristus, kita memperluas ruang gerejawi sehingga menjadi kolegial dan ramah.

 

Hal ini akan memampukan kita untuk hidup dengan keyakinan dan semangat baru di tengah ketegangan yang melanda kehidupan Gereja: antara kesatuan dan keberagaman, tradisi dan kebaruan, otoritas dan partisipasi. Kita harus memperkenankan Roh Kudus mengubahrupanya, agar tidak menjadi pertentangan ideologis dan polarisasi yang merugikan. Ini bukan soal menyelesaikannya dengan mereduksi yang satu ke yang lain, tetapi membiarkannya dimurnikan oleh Roh Kudus, sehingga dapat diselaraskan dan diarahkan menuju kearifan bersama. Sebagai tim sinodal dan anggota badan partisipatif, kamu tahu bahwa kearifan gerejawi menuntut "kebebasan batin, kerendahan hati, doa, rasa saling percaya, keterbukaan terhadap hal-hal baru, dan penyerahan diri kepada kehendak Allah. Kearifan ini tidak pernah sekadar mengemukakan sudut pandang pribadi atau kelompok atau merangkum berbagai pendapat individu" (Dokumen Akhir, 26 Oktober 2024, 82). Menjadi Gereja sinodal berarti mengakui bahwa kebenaran tidak dimiliki, melainkan diusahakan bersama, memperkenankan diri kita dibimbing oleh hati yang gelisah dalam kasih kepada Sang Kasih.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kita harus memimpikan dan membangun Gereja yang semakin rendah hati; Gereja yang tidak berdiri tegak seperti orang Farisi, yang berjaya dan sombong, melainkan membungkuk untuk membasuh kaki umat manusia; Gereja yang tidak menghakimi seperti orang Farisi terhadap pemungut cukai, melainkan menjadi tempat yang ramah bagi semua orang; Gereja yang tidak menutup diri, melainkan tetap memperhatikan Allah sehingga dapat mendengarkan setiap orang. Marilah kita berkomitmen untuk membangun Gereja yang sepenuhnya sinodal, bersifat pelayanan, dan tertarik kepada Kristus, sehingga berkomitmen untuk melayani dunia.

 

Atas kita semua, dan Gereja yang tersebar di seluruh dunia, saya memohonkan perantaraan Perawan Maria dengan kata-kata Hamba Allah Don Tonino Bello: “Santa Maria, perempuan yang ramah tamah, pupuklah dalam Gereja-gereja kami kerinduan akan persekutuan ... Bantulah mereka mengatasi perpecahan internal. Turun tanganlah ketika iblis perselisihan merayap masuk ke tengah-tengah mereka. Padamkanlah api faksionalisme. Damaikanlah pertikaian bersama. Redakan persaingan mereka. Hentikan mereka ketika mereka memutuskan untuk menempuh jalan mereka sendiri, mengabaikan konvergensi pada proyek-proyek bersama” (Maria, Donna dei Nostri Giorni, 99).

 

Semoga Tuhan menganugerahkan kita rahmat ini: berakar dalam kasih Allah sehingga kita dapat hidup dalam persekutuan satu sama lain dan menjadi, sebagai Gereja, saksi persatuan dan kasih.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXIX 19 Oktober 2025

Misa Kanonisasi Beato Ignazio Choukrallah Maloyan, Beato Peter To Rot, Beata Vincenza Maria Poloni, Beata Maria del Monte Carmelo Rendiles Martínez, Beata Maria Troncatti, Beato José Gregorio Hernández Cisneros dan Beato Bartolo Longo

 

Bacaan Ekaristi : Kel. 17:8-13; Mzm. 121:1-2,3-4,5-6,7-8; 2Tim. 3:14-4:2; Luk. 18:1-8.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Marilah kita memulai refleksi kita dengan pertanyaan yang mengakhiri Bacaan Injil yang baru saja diwartakan: "Tetapi, ketika Anak Manusia itu datang, apakah Ia akan mendapati iman di bumi?" (Luk 18:8). Pertanyaan ini menyingkapkan kepada kita apa yang paling berharga di mata Tuhan: iman, yaitu ikatan kasih antara Allah dan manusia. Hari ini kita memiliki tujuh saksi, para santo santa baru, yang, dengan rahmat Allah, menjaga pelita iman tetap menyala. Sungguh, mereka sendiri menjadi pelita yang mampu memancarkan terang Kristus.

 

Ketika kita memikirkan kekayaan materi, budaya, ilmu pengetahuan, dan seni yang luar biasa, iman bersinar bukan karena harta benda ini dijadikan tidak bernilai, melainkan karena tanpa iman, harta benda ini kehilangan maknanya. Hubungan kita dengan Allah sangat penting karena pada awal zaman Ia menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan dan, pada akhir zaman, Ia akan menyelamatkan manusia fana dari ketiadaan. Dunia tanpa iman, dengan demikian, akan dihuni oleh anak-anak yang hidup tanpa Bapa, yaitu, oleh ciptaan tanpa keselamatan.

 

Karena alasan ini, Yesus, Putra Allah yang menjadi manusia, bertanya tentang iman: jika iman lenyap dari dunia, apa yang akan terjadi? Langit dan bumi akan tetap seperti sebelumnya, tetapi tidak akan ada lagi pengharapan dalam hati kita; kebebasan setiap orang akan dikalahkan oleh maut; keinginan kita untuk hidup akan memudar menjadi ketiadaan. Tanpa iman kepada Allah, kita tidak dapat berharap akan keselamatan. Pertanyaan Yesus dapat mengganggu kita, kecuali kita lupa bahwa Yesus sendirilah yang mengajukannya. Sabda Tuhan, sesungguhnya, selalu merupakan "Injil," pewartaan keselamatan yang penuh sukacita. Keselamatan ini adalah anugerah kehidupan kekal yang kita terima dari Bapa, melalui Putra, dalam kuasa Roh Kudus.

 

Sahabat-sahabat terkasih, inilah tepatnya mengapa Kristus berbicara kepada murid-murid-Nya tentang "harus selalu berdoa tanpa jemu-jemu" (Luk. 18:1). Sebagaimana kita tak pernah jemu bernapas, demikian pula hendaknya kita tak pernah jemu berdoa! Sebagaimana bernapas menopang kehidupan tubuh, demikian pula berdoa menopang kehidupan jiwa: iman, sesungguhnya, terungkap dalam doa, dan doa sejati hidup dari iman.

Yesus menunjukkan kepada kita hubungan ini dengan sebuah perumpamaan: seorang hakim tetap tuli terhadap permintaan mendesak seorang janda, yang berkat ketekunannya akhirnya mendorong sang hakim untuk bertindak. Sekilas, kegigihan seperti itu menjadi teladan pengharapan yang indah bagi kita, terutama di masa-masa pencobaan dan kesengsaraan. Namun demikian, ketekunan perempuan itu dan sang hakim, yang enggan bertindak, membuka jalan bagi pertanyaan provokatif yang diajukan Yesus: Tidakkah Allah, Bapa yang baik, "akan memberikan keadilan kepada orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru kepada-Nya?" (Luk. 18:7).

 

Marilah kita biarkan kata-kata ini bergema dalam hati kita: Tuhan bertanya kepada kita apakah kita percaya bahwa Allah adalah hakim yang adil bagi semua orang. Putra bertanya kepada kita apakah kita percaya bahwa Bapa selalu menginginkan kebaikan kita dan keselamatan setiap orang. Dalam hal ini, dua godaan menguji iman kita: godaan yang pertama adalah mendapatkan kekuatan dari skandal kejahatan, yang membuat kita berpikir bahwa Allah tidak mendengar jeritan orang-orang tertindas dan tidak berbelas kasihan kepada orang-orang tak berdosa yang menderita. Godaan kedua adalah klaim bahwa Allah harus bertindak sesuai keinginan kita: doa kemudian membuka jalan untuk memerintah Allah, mengajarkan-Nya bagaimana bersikap adil dan efektif.

 

Yesus, saksi sempurna dari kepercayaan bakti, membebaskan kita dari kedua godaan tersebut. Dia yang tak berdosa yang, terutama selama sengsara-Nya, berdoa demikian: "Ya Bapa, kehendak-Mulah yang terjadi" (bdk. Luk 22:42). Sang Guru memberikan kita kata-kata yang sama dalam Doa Bapa Kami. Marilah kita ingat bahwa apa pun yang terjadi pada kita, Yesus memercayakan diri-Nya sebagai Putra kepada Bapa. Maka kita adalah saudara-saudari dalam nama-Nya, sehingga kita dapat mewartakan, “Sungguh layak dan sepantasnya, ya Bapa yang kudus, Allah yang kekal dan kuasa, bahwa di mana pun juga kami senantiasa bersyukur kepada-Mu” (Doa Syukur Agung II, Prefasi).

 

Doa Gereja mengingatkan kita bahwa Allah menganugerahkan keadilan bagi semua orang, menyerahkan nyawa-Nya bagi semua orang. Maka, ketika kita berseru kepada Tuhan, "Di manakah Engkau?", marilah kita mengubah rupa seruan ini menjadi sebuah doa, dan kemudian kita akan menyadari bahwa Allah hadir di mana orang-orang tak berdosa menderita. Salib Kristus menyatakan keadilan Allah, dan keadilan Allah adalah pengampunan. Ia melihat kejahatan dan menebusnya dengan menanggungnya atas diri-Nya sendiri. Ketika kita "disalibkan" oleh rasa sakit dan kekerasan, oleh kebencian dan perang, Kristus sudah ada di sana, di kayu salib untuk kita dan bersama kita. Tak ada seruan yang tak dihibur Allah; tak ada air mata yang jauh dari hati-Nya. Tuhan mendengarkan kita, merangkul kita apa adanya, dan mengubah kita sebagaimana Dia adanya. Namun, mereka yang menolak belas kasihan Allah, tetap tidak mampu berbelas kasihan terhadap sesamanya. Mereka yang tidak menerima damai sebagai anugerah tidak akan tahu bagaimana memberikan damai.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kini kita memahami bahwa pertanyaan Yesus merupakan ajakan yang kuat untuk berharap dan bertindak: ketika Anak Manusia datang, akankah Ia mendapati iman akan pemeliharaan Allah? Sungguh, iman inilah yang menopang komitmen kita terhadap keadilan, justru karena kita percaya bahwa Allah menyelamatkan dunia karena kasih, membebaskan kita dari fatalisme. Ketika kita mendengar jeritan mereka yang sedang dalam kesulitan, marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita menjadi saksi kasih Bapa, sebagaimana Kristus bagi semua orang? Yesus yang rendah hati yang memanggil orang yang sombong untuk bertobat, Yesus yang adil yang menjadikan kita benar. Kita melihat semua ini dalam kehidupan para santo santa yang baru: mereka bukan pahlawan atau pejuang cita-cita tertentu, melainkan pria dan wanita sejati.

 

Sahabat-sahabat Kristus yang setia ini adalah martir karena iman mereka, seperti Uskup Ignazio Choukrallah Maloyan dan katekis Peter To Rot; mereka adalah penginjil dan misionaris, seperti Suster Maria Troncatti; mereka adalah pendiri yang karismatik, seperti Suster Vincenza Maria Poloni dan Suster Maria del Monte Carmelo Rendiles Martínez; dengan hati yang membara dalam pengabdian, mereka adalah dermawan bagi umat manusia, seperti Bartolo Longo dan José Gregorio Hernández Cisneros. Semoga perantaraan mereka membantu kita dalam pencobaan kita dan teladan mereka menginspirasi kita dalam panggilan bersama kita menuju kekudusan. Dalam perjalanan kita menuju tujuan ini, marilah kita berdoa tanpa henti, dan terus melanjutkan apa yang telah kita pelajari dan yakini dengan teguh (bdk. 2Tim 3:14). Dengan demikian, iman di bumi menopang pengharapan akan surga.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 19 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVIII (MISA YUBILEUM SPIRITUALITAS MARIA) 12 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : 2Raj. 5:14-17; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; 2Tim. 2:8-13; Luk. 17:11-19.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Rasul Paulus menasihati kita masing-masing hari ini, seperti yang ia lakukan kepada Timotius: "Ingatlah akan Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud" (2 Tim 2:8). Spiritualitas Maria, yang memelihara iman kita, berpusat pada Yesus. Spiritualitas ini bagaikan hari Minggu, yang membuka setiap pekan baru dalam cahaya kebangkitan-Nya dari antara orang mati. "Ingatlah akan Yesus Kristus": hanya ini yang hakiki; inilah yang membedakan spiritualitas manusia dari jalan Allah. "Dibelenggu seperti seorang penjahat" (ayat 9), Paulus mendesak kita untuk tidak melupakan apa yang hakiki, dan tidak mencoreng nama Yesus dari sejarah dan salibnya. Apa yang kita anggap tak terpuji dan kita salibkan, dibangkitkan Allah karena "Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya" (ayat 13). Yesus adalah kesetiaan Allah, kesetiaan Allah kepada diri-Nya sendiri. Oleh karena itu, perayaan hari Minggu hendaknya menjadikan kita orang kristiani. Perayaan ini hendaknya memenuhi pikiran dan perasaan kita dengan ingatan membara akan Yesus dan mengubah cara kita hidup bersama serta cara kita menghuni bumi. Setiap spiritualitas kristiani mengalir dari api ini dan membantu menjaganya tetap hidup.

 

Bacaan dari Kitab 2 Raja-Raja (5:14-17) menceritakan penyembuhan Na'aman, orang Siria. Yesus sendiri merujuk pada bagian ini ketika Ia berada di rumah ibadat di Nazaret (bdk. Luk 4:27), dan penafsiran-Nya mengakibatkan kebingungan pada orang-orang di kota asal-Nya. Mengatakan bahwa Allah telah menyelamatkan seorang asing yang menderita sakit kulit menular, dan bukan banyak orang yang menderita sakit kulit menular di Israel, membuat mereka menentang-Nya: “Mendengar hal itu semua orang di rumah ibadat itu sangat marah. Mereka bangkit, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu” (Luk 4:28-29). Penginjil Lukas tidak menyebutkan kehadiran Maria. Ia mungkin hadir untuk menyaksikan apa yang dinyatakan Simeon yang telah lanjut umur kepadanya ketika ia membawa bayi Yesus yang baru lahir ke Bait Suci: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan dan membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang. Suatu pedang juga akan menembus jiwamu sendiri” (Luk 2:34-35).

 

Ya, sahabat-sahabat terkasih, “firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk sangat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup menilai pikiran dan niat hati kita” (Ibr 4:12). Paus Fransiskus menganggap kisah Na'aman, orang Siria, sebagai pesan yang relevan dan tajam bagi kehidupan Gereja. Berbicara kepada Kuria Roma, beliau mengatakan, “Na'aman terpaksa hidup dalam situasi yang tragis: ia menderita penyakit kulit menular. Baju zirahnya, yang telah membuatnya terkenal, pada kenyataannya menutupi kemanusiaan yang rapuh, terluka, dan berpenyakit. Kita sering menemukan kontradiksi ini dalam hidup kita: terkadang karunia yang luar biasa adalah baju zirah yang menutupi kelemahan yang besar. [...] Jika Na'aman terus mengumpulkan medali untuk menghiasi baju zirahnya, pada akhirnya ia akan dilahap oleh penyakit kulitnya: tampak hidup, namun terkurung dan terasing dalam penyakitnya.”[1] Yesus membebaskan kita dari bahaya ini. Ia tidak mengenakan baju zirah; sebaliknya ia lahir dan mati telanjang. Ia menawarkan karunia-Nya tanpa memaksa orang yang berpenyakit kulit menular yang disembuhkan untuk mengakui-Nya: hanya orang Samaria dalam Bacaan Injil yang tampaknya menyadari bahwa ia telah diselamatkan (bdk. Luk. 17:11-19). Barangkali, semakin sedikit gelar yang kita banggakan, semakin jelas bahwa kasih itu cuma-cuma. Allah adalah karunia murni dan rahmat semata. Namun, betapa banyak suara dan keyakinan yang dapat memisahkan kita, bahkan hingga hari ini, dari kebenaran yang sesungguhnya dan revolusioner ini!

 

Saudara-saudari, spiritualitas Maria melayani Injil: ia mengungkapkan kesederhanaannya. Kasih sayang kita kepada Maria dari Nazaret menuntun kita untuk bergabung dengannya menjadi murid Yesus. Ia mengajarkan kita untuk kembali kepada-Nya serta memikirkan dan merenungkan peristiwa-peristiwa hidup kita di mana Yesus yang bangkit masih datang kepada kita dan memanggil kita. Spiritualitas Maria membenamkan kita dalam sejarah yang di atasnya surga terbuka. Ia membantu kita melihat orang yang congkak hatinya tercerai-berai dalam keangkuhan mereka, orang yang berkuasa diturunkan dari takhtanya, dan orang yang kaya disuruh pergi dengan tangan hampa. Ia mendorong kita untuk melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, meninggikan orang yang rendah, mengingat rahmat Allah, dan percaya pada kuasa tangan-Nya (bdk. Luk 1:51-54). Yesus mengundang kita untuk menjadi bagian dari Kerajaan-Nya, sebagaimana Ia meminta Maria untuk mengatakan "ya," yang, setelah mengatakannya, ia perbarui setiap hari.

 

Para penderita penyakit kulit dalam Bacaan Injil yang tidak kembali untuk mengucap syukur mengingatkan kita bahwa rahmat Allah dapat menyentuh kita dan tidak menemukan tanggapan. Rahmat itu dapat menyembuhkan kita, namun kita masih bisa gagal menerimanya. Karena itu, marilah kita berhati-hati untuk tidak pergi ke Bait Suci dengan cara yang tidak menuntun kita untuk mengikuti Yesus. Beberapa bentuk ibadah tidak memupuk persekutuan dengan orang lain dan dapat mematikan hati kita. Dalam kasus ini, kita gagal untuk berjumpa orang-orang yang telah ditempatkan Allah dalam hidup kita. Kita gagal untuk berkontribusi, seperti yang dilakukan Maria, untuk mengubah dunia, dan ambil bagian dalam sukacita Magnificat. Marilah kita berhati-hati untuk menghindari eksploitasi iman apa pun yang dapat mengarah pada perbedaan pelabelan — seringkali orang miskin — sebagai musuh, "penderita penyakit kulit" harus dihindari dan disingkirkan.

 

Jalan Maria mengikuti jalan Yesus, yang menuntun kita untuk menjumpai setiap manusia, terutama mereka yang miskin, terluka, dan berdosa. Karena itu, spiritualitas Maria yang autentik memancarkan kelembutan Allah, jalan-Nya adalah "menjadi seorang ibu," menjadi terang dalam Gereja. Sebagaimana kita baca dalam Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, "setiap kali kita memandang Maria, kita percaya sekali lagi akan daya revolusioner kasih dan kelembutan. Di dalam diri Maria kita melihat bahwa kerendahan hati dan kelembutan bukanlah keutamaan-keutamaan dari orang yang lemah, tetapi dari orang yang kuat yang tidak perlu memperlakukan orang lain secara buruk agar merasa dirinya penting. Dengan memandang Maria, kita menyadari bahwa dia yang memuliakan Allah karena 'menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya' dan 'menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa' (Luk. 1:52-53), juga adalah dia yang membawa semangat dalam usaha kita meraih keadilan." (no. 288).

 

Sahabat-sahabat terkasih, di dunia yang sedang mencari keadilan dan perdamaian, marilah kita menghidupkan kembali spiritualitas kristiani dan devosi umat kepada peristiwa-peristiwa dan tempat-tempat yang diberkati Allah yang telah mengubah muka bumi selamanya. Marilah kita menggunakannya sebagai penggerak pembaruan dan transformasi. Sungguh, Yubileum yang kita rayakan menyerukan masa pertobatan dan pemulihan, masa refleksi dan pembebasan. Semoga Santa Maria, pengharapan kita, menjadi perantara kita dan terus menuntun kita kepada Yesus, Tuhan yang tersalib. Di dalam Dia, ada keselamatan bagi semua orang.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 12 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA YUBILEUM HIDUP BAKTI 9 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Mal 3:13-4:2a; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 11:5-13.

 

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk 11:9). Dengan kata-kata ini, Yesus mengajak kita untuk berpaling dengan penuh kepercayaan kepada Bapa untuk segala kebutuhan kita.

 

Kata-kata ini juga yang kita dengar saat kamu berkumpul dari seluruh dunia untuk merayakan Yubileum Hidup Bakti. Sebagai pelaku hidup bakti, biarawan, biarawati, pelaku hidup kontemplatif, anggota tarekat sekular dan ordo keperawanan, pertapa, dan orang-orang yang tergabung dalam “tarekat baru,” kamu telah datang ke Roma untuk menjalani Ziarah Yubileum bersama. Kamu telah datang untuk memercayakan hidupmu kepada belas kasih yang sama, yang untuknya, melalui pengakuan hidup religiusmu, kamu pernah berkomitmen untuk memberi kesaksian, karena menghayati kaulmu berarti menyerahkan dirimu seperti anak-anak ke dalam pelukan Bapa.

 

"Meminta," "mencari," dan "mengetuk." Ungkapan doa ini, yang disebutkan oleh Penginjil Lukas, adalah sikap yang sudah tidak asing lagi bagimu. Dengan menghayati nasihat Injil, kamu terbiasa meminta tanpa menuntut, selalu taat pada tindakan Allah. Konsili Vatikan II berbicara tentang kaul sebagai sarana yang bermanfaat supaya dapat "memperoleh buah-buah rahmat baptis yang lebih melimpah" (Lumen Gentium, 44) bukan suatu kebetulan. "Meminta," sesungguhnya, berarti mengakui, melalui kemiskinan, bahwa segala sesuatu adalah karunia yang berasal dari Tuhan dan mengucap syukur atasnya. "Mencari" berarti membuka diri, melalui ketaatan, untuk menemukan setiap hari jalan yang harus kita tempuh dalam perjalanan menuju kekudusan, mengikuti rencana Allah. "Mengetuk" berarti meminta dan mempersembahkan karunia yang telah kita terima kepada saudara-saudari kita dengan hati yang murni, berusaha mengasihi setiap orang dengan hormat dan murah hati.

 

Kita dapat membaca sabda yang disampaikan Allah kepada Nabi Maleakhi dalam Bacaan Pertama dengan cara yang sama. Ia menyebut penduduk Yerusalem sebagai "milik kesayangan-Ku" (Mal. 3:17) dan berkata kepada sang nabi: "Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya" (idem). Ungkapan ini mengingatkan kita akan kasih yang pertama-tama telah dianugerahkan Tuhan kepada kita saat Ia memanggil kita. Sebuah kesempatan, khususnya bagimu, untuk merenungkan karunia panggilanmu yang diberikan secara cuma-cuma, dari awal mula kongregasimu hingga saat ini dan dari langkah pertama perjalanan pribadimu hingga saat ini. Pertama dan terutama, kita semua ada di sini karena Allah menghendakinya, dan telah memilih kita sejak awal mula.

 

"Meminta," "mencari," dan "mengetuk" juga berarti merefleksikan hidup kita, menanamkan dalam pikiran dan hati apa yang telah dicapai Tuhan selama bertahun-tahun dengan melipatgandakan talenta, menguatkan dan memurnikan iman, serta memupuk kemurahan hati dan kebebasan dalam kasih. Terkadang hal ini dicapai dalam situasi yang penuh sukacita, dan di lain waktu dengan cara yang lebih sulit dipahami, bahkan mungkin melalui penderitaan yang penuh misteri. Namun, setiap saat, kita menemukan diri kita dalam pelukan kebaikan kebapaan tersebut yang menjadi ciri khas apa yang Dia lakukan di dalam dan melalui diri kita, demi kebaikan Gereja (bdk. Lumen Gentium, 43).

 

Hal ini membawa kita pada refleksi kedua: Allah sebagai kepenuhan dan makna hidup kita. Bagimu — bagi kami — Tuhan adalah segalanya. Ia adalah segalanya dalam berbagai cara: sebagai Pencipta dan sumber keberadaan, sebagai kasih yang memanggil dan menantang, sebagai kekuatan yang mendorong dan mengilhami kita untuk memberi. Tanpa Dia, tak ada sesuatupun, tak ada yang masuk akal, tak ada yang berharga. "Permintaan," "pencarian," dan "pengetukkan"-mu, baik dalam doa maupun dalam kehidupan, sangat berkaitan dengan kebenaran ini. Dalam hal ini, Santo Agustinus menggambarkan kehadiran Allah dalam hidupnya dengan menggunakan gambaran yang indah. Ia berbicara tentang terang yang tak terkekang oleh ruang, suara yang tak pernah pudar, makanan yang tak berkurang meski dimakan, dan rasa lapar yang tak pernah terpuaskan, dan ia menyimpulkan: "Inilah yang kucintai ketika aku mencintai Allahku" (Santo Agustinus, Pengakuan-pengakuan, 10.6.8). Inilah kata-kata seorang mistikus, namun beresonansi dengan pengalaman kita. Kata-kata ini mengungkapkan kerinduan akan ketakterhinggaan yang bersemayam di hati semua orang. Karena itu, Gereja memercayakanmu dengan tugas menjadi saksi hidup akan keutamaan Allah dalam kehidupanmu. Dengan menanggalkan segala sesuatu, kamu membantu saudara-saudari yang kamu jumpai untuk membina persahabatan ini dalam diri mereka sendiri.

 

Bagaimanapun, sejarah mengajarkan kita bahwa pengalaman sejati akan Allah selalu menghasilkan curahan kasih yang berlimpah. Hal ini terjadi dalam kehidupan para pendirimu, orang-orang yang mengasihi Tuhan dan karena itu siap menjadi "segala-galanya bagi semua orang" (1 Kor 9:22), tanpa terkecuali, dalam berbagai cara dan situasi.

 

Memang benar bahwa saat ini, seperti pada zaman Maleakhi, ada yang berkata, "Sia-sialah beribadah kepada Allah" (Mal. 3:14). Cara berpikir seperti ini menyebabkan kelumpuhan jiwa yang sesungguhnya. Kita akhirnya puas dengan kehidupan yang hanya dipenuhi momen singkat, hubungan yang dangkal dan terputus-putus, serta kecenderungan sesaat — hal-hal yang meninggalkan kekosongan di hati kita. Ini bukan yang kita butuhkan untuk benar-benar bahagia. Sebaliknya, kita membutuhkan pengalaman kasih yang konsisten, langgeng, dan sehat. Melalui teladan hidup baktimu, kamu dapat disamakan dengan pohon yang tumbuh subur yang kita nyanyikan dalam Mazmur Tanggapan (bdk. Mzm. 1:3), yang menyebarkan "udara segar" kasih sejati ke seluruh dunia.

 

Saya ingin membahas satu aspek terakhir perutusanmu. Kita mendengar Tuhan bersabda kepada penduduk Yerusalem, “Akan terbit surya kebenaran dengan pemulihan pada sayapnya,” (Mal 4:2) yang mengundang mereka untuk berharap akan penggenapan takdir mereka melampaui masa kini. Hal ini merujuk pada dimensi eskatologis kehidupan kristiani, yang memanggil kita untuk terlibat dalam dunia, sekaligus senantiasa berjuang menuju kekekalan. Sebuah undangan bagimu untuk melapangkan “permintaan,” “pencarian,” dan “pengetukkan” hidupmu melalui doa hingga cakrawala abadi yang melampaui kenyataan dunia ini. Untuk mengarahkan mereka menuju hari Minggu tanpa matahari terbenam ketika “seluruh umat manusia akan masuk ke dalam... perhentian [Allah]” (Misale Romawi [edisi Italia], Prefasi untuk Hari Minggu dalam Masa Biasa X). Dalam hal ini, Konsili Vatikan II memercayakanmu dengan tugas khusus ketika mengatakan bahwa para pelaku hidup bakti dipanggil secara khusus untuk memberi kesaksian tentang “harta masa depan” (bdk. Lumen Gentium, 44).

 

Saudara-saudari terkasih, Tuhan, yang kepada-Nya kamu telah memberikan segalanya, telah menganugerahimu dengan keindahan dan kekayaan yang demikian, dan saya ingin mendorongmu untuk menghargai dan memelihara apa yang telah kamu terima. Akhirnya, marilah kita mengingat kata-kata Santo Paulus VI: “Jagalah,” tulisnya kepada para pelaku hidup bakti, “kesederhanaan ‘yang terkecil’ dalam Injil. Semoga kamu berhasil menemukan kembali hal ini dalam hubungan batin yang lebih dekat dengan Kristus dan dalam kontak langsungmu dengan saudara-saudarimu. Kamu kemudian akan mengalami melalui tindakan Roh Kudus kegembiraan yang meluap-luap dari mereka yang diperkenalkan ke dalam rahasia Kerajaan Allah. Janganlah berusaha untuk terhitung di antara orang-orang yang ‘terpelajar dan pandai’... Rahasia seperti itu tersembunyi dari mereka. Jadilah sungguh miskin, lemah lembut, rindu akan kekudusan, penuh belas kasih dan murni hati. Terhitunglah di antara orang-orang yang akan membawa damai sejahtera Allah kepada dunia” (Santo Paulus VI, Seruan Apostolik Evangelica Testificatio, 29 Juni 1971, 54).

____

(Peter Suriadi - Bogor, 10 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVII (MISA YUBILEUM MIGRAN DAN DUNIA MISIONER) 5 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Hab. 1:2-3; 2:2-4; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; 2Tim. 1:6-8,13-14; Luk. 17:5-10.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Yubileum Migran dan Dunia Misioner. Ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk menghidupkan kembali kesadaran akan panggilan misioner kita, yang muncul dari keinginan untuk membawa sukacita dan penghiburan Injil kepada semua orang, terutama mereka yang sedang mengalami situasi sulit dan menyakitkan. Secara khusus, saya memikirkan saudara-saudari kita para migran, yang harus meninggalkan tanah air mereka, seringkali meninggalkan orang-orang yang mereka kasihi, menanggung malam yang penuh ketakutan dan kesepian, serta mengalami diskriminasi dan kekerasan secara langsung.

 

Kita berada di sini, di makam Rasul Petrus, karena kita masing-masing hendaknya dapat berkata dengan sukacita: seluruh Gereja misioner, dan sangatlah mendesak – sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus – agar kita “pergi keluar dan memberitakan Injil kepada semua orang: ke setiap tempat, dalam segala kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau takut.” (Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 23).

 

Roh Kudus mengutus kita untuk melanjutkan karya Kristus di pinggiran dunia, yang terkadang ditandai oleh perang, ketidakadilan, dan penderitaan. Menghadapi situasi-situasi yang mengancam ini, teriakan yang begitu sering dalam sejarah telah dikumandangkan kepada Allah telah muncul kembali: Tuhan, mengapa Engkau tidak turun tangan? Mengapa Engkau seolah-olah tidak hadir? Teriakan dukacita ini merupakan bentuk doa yang meresapi seluruh Kitab Suci dan, pagi ini, kita mendengarnya dari Nabi Habakuk: “Berapa lama lagi, ya Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar ...? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, dan memandangi saja kelaliman?” (Hab 1:2-3).

 

Paus Benediktus XVI, yang telah merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini selama kunjungan bersejarahnya ke Auschwitz, kembali ke tema tersebut dalam sebuah katekese, dengan menegaskan: “Allah diam dan keheningan ini menusuk jiwa orang yang berdoa, yang terus-menerus memanggil tetapi tidak menerima jawaban … Allah tampak sangat jauh, sangat pelupa, sangat tidak hadir” (Katekese, 14 September 2011).

 

Namun, tanggapan Tuhan membuka pengharapan kita. Jika nabi mengecam kekuatan jahat yang tak terhindarkan yang tampaknya merajalela, Tuhan, di pihak-Nya, menyatakan kepadanya bahwa semua ini akan berakhir, akan berhenti, karena keselamatan akan datang dan tak akan tertunda: "Sesungguhnya, orang yang membusungkna dadfa tidak lurus hatinya, tetapi orang benar akan hidup oleh percayanya" (Hab 2:4).

 

Oleh karena itu, ada kehidupan, kemungkinan baru untuk kehidupan dan keselamatan yang berasal dari iman, karena iman tidak hanya membantu kita melawan kejahatan dan bertekun dalam berbuat baik, tetapi juga mengubah hidup kita sehingga menjadikannya sarana keselamatan yang bahkan hingga saat ini ingin Allah wujudkan di dunia. Dan, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil, hal ini tentang kekuatan yang sederhana, karena iman tidak memaksakan diri dengan kekuasaan dan dengan cara-cara yang luar biasa. Sungguh, cukuplah memiliki iman sebesar biji sesawi untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan (bdk. Luk 17:6), karena iman mengandung kekuatan kasih Allah yang membuka jalan menuju keselamatan.

 

Inilah keselamatan yang tergenapi ketika kita mengambil tanggung jawab dan, dengan belas kasih Injil, peduli terhadap penderitaan sesama; inilah keselamatan yang memimpin jalan, secara diam-diam dan tampaknya tanpa hasil, dalam kata-kata dan tindakan sehari-hari, yang menjadi persis seperti benih kecil yang dibicarakan Yesus; inilah keselamatan yang perlahan-lahan bertumbuh ketika kita menjadi "hamba yang tidak layak", yaitu ketika kita menempatkan diri kita dalam pelayanan Injil dan saudara-saudari kita, tidak mencari kepentingan kita sendiri tetapi hanya membawa kasih Allah ke dunia.

 

Dengan meyakini hal ini, kita dipanggil untuk memperbarui api panggilan misioner kita. Sebagaimana ditegaskan Santo Paulus VI, “mewartakan Injil di kurun sejarah manusia yang luar biasa ini, suatu masa yang sungguh belum pernah terjadi sebelumnya, di mana, di puncak kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya, terdapat pula kedalaman kebingungan dan keputusasaan yang juga belum pernah terjadi sebelumnya merupakan tanggung jawab kita” (Pesan untuk Hari Minggu Misi Sedunia, 25 Juni 1971).

 

Saudara-saudari, hari ini sebuah era misioner baru terbuka dalam sejarah Gereja.

 

Jika selama ini kita mengaitkan misi dengan kata "pergi", yaitu pergi ke negeri yang jauh yang belum mengenal Injil atau yang mengalami kemiskinan, kini batas-batas misi tidak lagi geografis, karena kemiskinan, penderitaan, dan kerinduan akan pengharapan yang lebih besar telah menghampiri kita. Kisah begitu banyak saudara-saudari kita para migran menjadi saksi akan hal ini: tragedi pelarian mereka dari kekerasan, penderitaan yang menyertainya, ketakutan akan kegagalan, risiko berbahaya berlayar di sepanjang garis pantai, teriakan duka dan keputusasaan mereka. Saudara-saudari, perahu-perahu yang berharap menemukan pelabuhan yang aman, dan mata yang dipenuhi kesedihan dan pengharapan yang berusaha mencapai pantai, tidak dapat dan tidak boleh menemukan dinginnya ketidakpedulian atau stigma diskriminasi!

 

Misi bukan tentang "pergi", melainkan "tetap tinggal" untuk mewartakan Kristus melalui keramahtamahan dan penyambutan, belas kasih, dan kesetiakawanan. Kita harus tetap tinggal tanpa lari menuju kenyamanan individualisme kita; tetap tinggal untuk memperhatikan mereka yang datang dari negeri yang jauh dan penuh kekerasan; tetap tinggal dan membuka tangan serta hati kita bagi mereka, menyambut mereka sebagai saudara-saudari, dan menjadi penghiburan serta pengharapan bagi mereka.

 

Banyak misionaris, baik pria maupun wanita, tetapi juga umat beriman dan orang-orang beritikad baik, yang bekerja melayani para migran, dan mempromosikan budaya persaudaraan baru dengan tema migrasi, melampaui stereotip dan prasangka. Namun, pelayanan yang berharga ini melibatkan kita masing-masing, dalam batasan kemampuan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, inilah saatnya bagi kita semua untuk membiarkan diri kita "berada dalam situasi perutusan yang permanen" (Evangelii Guadium, 25).

 

Hal ini setidaknya mencakup dua tugas misioner yang penting: kerja sama misioner dan panggilan misioner.

 

Pertama-tama, saya memintamu untuk mengembangkan kerja sama misioner yang diperbarui di antara Gereja-Gereja. Dalam komunitas-komunitas tradisi kristiani kuno, seperti di Barat, kehadiran banyak saudara dan saudari dari belahan dunia Selatan hendaknya disambut sebagai sebuah kesempatan, melalui pertukaran yang memperbarui wajah Gereja dan menopang kekristenan yang lebih terbuka, lebih hidup, dan lebih dinamis. Pada saat yang sama, semua misionaris yang berangkat ke negeri-negeri lain dipanggil untuk hidup menghormati budaya yang mereka jumpai, mengarahkan kepada kebaikan segala sesuatu yang dianggap benar dan berharga, dan membawa pesan kenabian Injil ke sana.

 

Saya ingin mengenang keindahan dan pentingnya panggilan misioner. Secara khusus saya merujuk pada Gereja di Eropa: saat ini dibutuhkan upaya misioner baru oleh kaum awam, religius, dan imam yang akan mempersembahkan pelayanan mereka di negeri-negeri misioner. Kita membutuhkan gagasan dan pengalaman panggilan baru yang mampu menopang hasrat ini, terutama di kalangan kaum muda.

 

Sahabat-sahabat terkasih, dengan tulus saya memberikan berkat saya kepada para klerus lokal dari Gereja-Gereja partikular, para misionaris, dan mereka yang sedang menekuni panggilan. Sementara itu, kepada para migran, saya katakan: ketahuilah bahwa kamu selalu diterima! Lautan dan padang gurun yang telah kamu seberangi, Kitab Suci menyebutnya "tempat-tempat keselamatan", di mana Allah hadir untuk menyelamatkan umat-Nya. Saya harap kamu menemukan wajah Allah ini dalam diri para misionaris yang kamu jumpai.

 

Saya memercayakan kamu semua kepada perantaraan Maria, misionaris pertama Putranya, yang bergegas pergi ke daerah perbukitan Yudea, mengandung Yesus dalam rahimnya dan mengabdikan dirinya untuk melayani Elisabet. Semoga Maria menopang kita, agar kita masing-masing dapat menjadi rekan sekerja bagi Kerajaan Kristus, Kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 5 Oktober 2025)