Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH MGR. RINO FISICHELLA) DALAM MISA HARI MINGGU PRAPASKAH V (MISA YUBILEUM ORANG SAKIT DAN TENAGA KESEHATAN) 6 April 2025

Bacaan Liturgi : Yes. 43:16-21; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Flp. 3:8-14; Yoh. 8:1-11.

 

“Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” (Yes 43:19). Allah menyampaikan firman ini kepada umat Israel melalui Nabi Yesaya ketika mereka berada di pembuangan Babel. Bagi umat Israel, masa itu adalah masa yang sulit: segalanya tampak sudah berakhir. Yerusalem telah ditaklukkan dan dihancurkan oleh tentara Raja Nebukadnezar II, dan orang-orang yang sekarang dideportasi, tidak mempunyai apa-apa lagi. Masa depan suram dan setiap harapan tampaknya terhalang. Semua itu dapat menggoda orang-orang di pembuangan untuk menyerah, menjadi getir dan merasa bahwa mereka tidak lagi diberkati oleh Allah.

 

Namun, dalam situasi ini, Tuhan mengundang mereka untuk menerima sesuatu yang baru sedang berkembang. Bukan sesuatu yang akan terjadi di masa depan, tetapi sesuatu yang sudah sedang terjadi, sesuatu yang muncul seperti tunas. Apakah itu? Apa yang mungkin muncul, atau bahkan sudah tumbuh, di bentangan darat yang tandus dan menyedihkan seperti itu?

 

Suatu bangsa baru tengah lahir. Suatu bangsa yang, setelah mengalami kegagalan karena rasa aman palsu di masa lalu, kini menemukan apa yang penting: tetap bersatu dan berjalan bersama dalam terang Tuhan (bdk. Yes 2:5). Suatu bangsa yang akan mampu membangun kembali Yerusalem karena, jauh dari Kota Suci tempat bait suci telah hancur dan tempat liturgi yang khidmat tidak dapat lagi dirayakan, mereka telah belajar untuk berjumpa dengan Tuhan dengan cara lain: melalui pertobatan hati (bdk. Yer 4:4), melalui penerapan hukum dan keadilan, melalui kepedulian terhadap orang miskin dan membutuhkan (bdk. Yer 22:3), melalui karya belas kasih.

 

Pesan yang sama juga kita temukan, secara berbeda, dalam Bacaan Injil hari ini (bdk. Yoh 8:1-11). Di sini juga ada seorang pribadi — seorang perempuan — yang hidupnya telah hancur, bukan oleh pengasingan fisik, tetapi oleh kutukan moral. Ia adalah seorang pendosa, dan karenanya jauh dari hukum serta dikutuk untuk dikucilkan dan dibunuh. Tampaknya tidak ada harapan baginya juga. Namun, Allah tidak meninggalkannya. Bahkan, pada saat para penuduhnya siap untuk melemparinya dengan batu — tepat pada saat itu — Yesus memasuki hidupnya, membela dan menyelamatkannya dari kekerasan mereka, dengan demikian memberinya kesempatan untuk memulai hidup baru. “Pergilah,” kata Yesus kepadanya, “engkau bebas,” “engkau diselamatkan” (bdk. ayat 11).

 

Melalui kisah dramatis dan mengharukan ini, liturgi hari ini mengajak kita, di tengah perjalanan Prapaskah kita, untuk memperbarui kepercayaan kita kepada Allah, yang selalu dekat dengan kita dan siap menyelamatkan kita. Tidak ada situasi pengasingan, tidak ada kekerasan, tidak ada dosa, tidak ada kenyataan hidup yang dapat mencegah Dia berdiri di depan pintu kita dan mengetuk, siap segera masuk setelah kita membukakan pintu bagi-Nya (lih. Why 3:20). Sungguh, justru ketika pencobaan menjadi semakin sulit, kasih karunia dan cinta-Nya semakin merangkul kita untuk membangkitkan kita.

 

Saudara-saudari, kita membaca teks-teks ini saat kita merayakan Yubileum Orang Sakit dan Tenaga Kesehatan. Penyakit tentu saja merupakan salah satu cobaan hidup yang paling berat dan sulit, saat kita mengalami sendiri kelemahan manusiawi kita pada umumnya. Penyakit dapat membuat kita merasa seperti orang-orang yang diasingkan, atau seperti perempuan dalam Bacaan Injil: kehilangan harapan untuk masa depan. Namun, itu bukan persoalannya. Bahkan di masa-masa ini, Allah tidak meninggalkan kita sendirian, dan jika kita menyerahkan hidup kita kepada-Nya, justru saat kekuatan kita melemah, kita akan mampu mengalami penghiburan dari kehadiran-Nya. Dengan menjadi manusia, Ia ingin ambil bagian dalam kelemahan kita dalam segala hal (bdk. Flp. 2:6-8). Ia tahu apa artinya menderita (bdk. Yes. 53:3). Oleh karena itu, kita dapat berpaling kepada-Nya dan mempercayakan rasa sakit kita kepada-Nya, yakin bahwa kita akan menemukan belas kasih, kedekatan, dan kelembutan.

 

Namun tidak hanya itu. Dalam kasih setia-Nya, Tuhan mengundang kita untuk menjadi "malaikat" bagi satu sama lain, pembawa pesan kehadiran-Nya, sampai pada titik di mana ranjang orang sakit dapat menjadi "tempat suci" keselamatan dan penebusan, baik bagi orang sakit maupun para perawatnya.

 

Para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang terkasih, dalam merawat pasienmu, terutama yang paling rentan, Tuhan senantiasa memberimu kesempatan untuk memperbarui hidupmu melalui rasa syukur, belas kasih, dan harapan (bdk. Spes Non Confundit, 11). Ia memanggilmu untuk menyadari dengan kerendahan hati bahwa tidak ada hal dalam hidup yang dapat dianggap remeh dan segala sesuatu adalah karunia Allah; memperkaya hidupmu dengan rasa kemanusiaan yang kita alami ketika, di balik penampilan, hanya hal-hal yang penting yang tersisa: tanda-tanda kasih yang kecil dan besar. Biarkan kehadiran orang sakit memasuki hidupmu sebagai karunia, menyembuhkan hatimu, memurnikannya dari semua yang bukan amal kasih, dan menghangatkannya dengan api bela rasa yang membara dan lembut.

 

Saya memiliki banyak kesamaan denganmu di masa hidup saya ini, saudara-saudari terkasih yang sedang sakit: pengalaman sakit, kelemahan, harus bergantung pada orang lain dalam banyak hal, dan membutuhkan dukungan mereka. Ini tidak selalu mudah, tetapi ini adalah sekolah tempat kita belajar mengasihi setiap hari dan membiarkan diri kita dikasihi, tanpa menuntut atau menolak, tanpa penyesalan dan putus asa, tetapi dengan rasa syukur kepada Allah dan saudara-saudari kita atas kebaikan yang kita terima, menatap masa depan dengan penerimaan dan kepercayaan. Kamar rumah sakit dan ranjang orang sakit juga dapat menjadi tempat di mana kita mendengar suara Tuhan berbicara kepada kita: "Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?" (Yes 43:19). Dengan cara ini, kita memperbarui dan memperkuat iman kita.

 

Paus Benediktus XVI — yang memberi kita kesaksian indah tentang ketenangan di masa sakitnya — menulis bahwa, “ukuran sejati kemanusiaan pada dasarnya ditentukan dalam hubungannya dengan penderitaan” dan “masyarakat yang tidak dapat menerima anggotanya yang menderita... adalah masyarakat yang kejam dan tidak manusiawi” (Spe Salvi, 38). Memang benar: menghadapi penderitaan bersama membuat kita lebih manusiawi, dan kemampuan untuk ambil bagian dalam rasa sakit orang lain merupakan langkah maju yang penting dalam setiap perjalanan kekudusan.

 

Sahabat-sahabat terkasih, janganlah kita menyingkirkan mereka yang lemah dari kehidupan kita, seperti yang kadang-kadang, sayangnya, dilakukan mentalitas tertentu saat ini. Janganlah kita menyingkirkan penderitaan dari lingkungan kita. Sebaliknya, marilah kita mengubahnya menjadi kesempatan untuk bertumbuh bersama dan menumbuhkan harapan, berkat kasih yang pertama-tama dicurahkan Allah ke dalam hati kita (bdk. Rm 5:5), kasih yang, terutama, tetap untuk selamanya (bdk. 1 Kor 13:8-10,13).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 April 2025)