Bacaan Liturgi : Yes. 43:16-21; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Flp. 3:8-14; Yoh. 8:1-11.
“Aku
hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu
mengetahuinya?” (Yes 43:19). Allah menyampaikan firman ini kepada umat Israel
melalui Nabi Yesaya ketika mereka berada di pembuangan Babel. Bagi umat Israel,
masa itu adalah masa yang sulit: segalanya tampak sudah berakhir. Yerusalem
telah ditaklukkan dan dihancurkan oleh tentara Raja Nebukadnezar II, dan
orang-orang yang sekarang dideportasi, tidak mempunyai apa-apa lagi. Masa depan
suram dan setiap harapan tampaknya terhalang. Semua itu dapat menggoda
orang-orang di pembuangan untuk menyerah, menjadi getir dan merasa bahwa mereka
tidak lagi diberkati oleh Allah.
Namun,
dalam situasi ini, Tuhan mengundang mereka untuk menerima sesuatu yang baru
sedang berkembang. Bukan sesuatu yang akan terjadi di masa depan, tetapi
sesuatu yang sudah sedang terjadi, sesuatu yang muncul seperti tunas. Apakah
itu? Apa yang mungkin muncul, atau bahkan sudah tumbuh, di bentangan darat yang
tandus dan menyedihkan seperti itu?
Suatu
bangsa baru tengah lahir. Suatu bangsa yang, setelah mengalami kegagalan karena
rasa aman palsu di masa lalu, kini menemukan apa yang penting: tetap bersatu
dan berjalan bersama dalam terang Tuhan (bdk. Yes 2:5). Suatu bangsa yang akan
mampu membangun kembali Yerusalem karena, jauh dari Kota Suci tempat bait suci
telah hancur dan tempat liturgi yang khidmat tidak dapat lagi dirayakan, mereka
telah belajar untuk berjumpa dengan Tuhan dengan cara lain: melalui pertobatan
hati (bdk. Yer 4:4), melalui penerapan hukum dan keadilan, melalui kepedulian
terhadap orang miskin dan membutuhkan (bdk. Yer 22:3), melalui karya belas
kasih.
Pesan
yang sama juga kita temukan, secara berbeda, dalam Bacaan Injil hari ini (bdk.
Yoh 8:1-11). Di sini juga ada seorang pribadi — seorang perempuan — yang hidupnya
telah hancur, bukan oleh pengasingan fisik, tetapi oleh kutukan moral. Ia
adalah seorang pendosa, dan karenanya jauh dari hukum serta dikutuk untuk
dikucilkan dan dibunuh. Tampaknya tidak ada harapan baginya juga. Namun, Allah
tidak meninggalkannya. Bahkan, pada saat para penuduhnya siap untuk
melemparinya dengan batu — tepat pada saat itu — Yesus memasuki hidupnya,
membela dan menyelamatkannya dari kekerasan mereka, dengan demikian memberinya
kesempatan untuk memulai hidup baru. “Pergilah,” kata Yesus kepadanya, “engkau
bebas,” “engkau diselamatkan” (bdk. ayat 11).
Melalui
kisah dramatis dan mengharukan ini, liturgi hari ini mengajak kita, di tengah
perjalanan Prapaskah kita, untuk memperbarui kepercayaan kita kepada Allah,
yang selalu dekat dengan kita dan siap menyelamatkan kita. Tidak ada situasi
pengasingan, tidak ada kekerasan, tidak ada dosa, tidak ada kenyataan hidup
yang dapat mencegah Dia berdiri di depan pintu kita dan mengetuk, siap segera
masuk setelah kita membukakan pintu bagi-Nya (lih. Why 3:20). Sungguh, justru
ketika pencobaan menjadi semakin sulit, kasih karunia dan cinta-Nya semakin
merangkul kita untuk membangkitkan kita.
Saudara-saudari,
kita membaca teks-teks ini saat kita merayakan Yubileum Orang Sakit dan Tenaga
Kesehatan. Penyakit tentu saja merupakan salah satu cobaan hidup yang paling
berat dan sulit, saat kita mengalami sendiri kelemahan manusiawi kita pada
umumnya. Penyakit dapat membuat kita merasa seperti orang-orang yang
diasingkan, atau seperti perempuan dalam Bacaan Injil: kehilangan harapan untuk
masa depan. Namun, itu bukan persoalannya. Bahkan di masa-masa ini, Allah tidak
meninggalkan kita sendirian, dan jika kita menyerahkan hidup kita kepada-Nya,
justru saat kekuatan kita melemah, kita akan mampu mengalami penghiburan dari
kehadiran-Nya. Dengan menjadi manusia, Ia ingin ambil bagian dalam kelemahan
kita dalam segala hal (bdk. Flp. 2:6-8). Ia tahu apa artinya menderita (bdk.
Yes. 53:3). Oleh karena itu, kita dapat berpaling kepada-Nya dan mempercayakan
rasa sakit kita kepada-Nya, yakin bahwa kita akan menemukan belas kasih,
kedekatan, dan kelembutan.
Namun
tidak hanya itu. Dalam kasih setia-Nya, Tuhan mengundang kita untuk menjadi
"malaikat" bagi satu sama lain, pembawa pesan kehadiran-Nya, sampai
pada titik di mana ranjang orang sakit dapat menjadi "tempat suci"
keselamatan dan penebusan, baik bagi orang sakit maupun para perawatnya.
Para
dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang terkasih, dalam merawat pasienmu,
terutama yang paling rentan, Tuhan senantiasa memberimu kesempatan untuk
memperbarui hidupmu melalui rasa syukur, belas kasih, dan harapan (bdk. Spes Non Confundit, 11). Ia memanggilmu
untuk menyadari dengan kerendahan hati bahwa tidak ada hal dalam hidup yang
dapat dianggap remeh dan segala sesuatu adalah karunia Allah; memperkaya
hidupmu dengan rasa kemanusiaan yang kita alami ketika, di balik penampilan,
hanya hal-hal yang penting yang tersisa: tanda-tanda kasih yang kecil dan
besar. Biarkan kehadiran orang sakit memasuki hidupmu sebagai karunia, menyembuhkan
hatimu, memurnikannya dari semua yang bukan amal kasih, dan menghangatkannya
dengan api bela rasa yang membara dan lembut.
Saya
memiliki banyak kesamaan denganmu di masa hidup saya ini, saudara-saudari
terkasih yang sedang sakit: pengalaman sakit, kelemahan, harus bergantung pada
orang lain dalam banyak hal, dan membutuhkan dukungan mereka. Ini tidak selalu
mudah, tetapi ini adalah sekolah tempat kita belajar mengasihi setiap hari dan
membiarkan diri kita dikasihi, tanpa menuntut atau menolak, tanpa penyesalan
dan putus asa, tetapi dengan rasa syukur kepada Allah dan saudara-saudari kita
atas kebaikan yang kita terima, menatap masa depan dengan penerimaan dan
kepercayaan. Kamar rumah sakit dan ranjang orang sakit juga dapat menjadi
tempat di mana kita mendengar suara Tuhan berbicara kepada kita: "Aku
hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu
mengetahuinya?" (Yes 43:19). Dengan cara ini, kita memperbarui dan
memperkuat iman kita.
Paus
Benediktus XVI — yang memberi kita kesaksian indah tentang ketenangan di masa
sakitnya — menulis bahwa, “ukuran sejati kemanusiaan pada dasarnya ditentukan
dalam hubungannya dengan penderitaan” dan “masyarakat yang tidak dapat menerima
anggotanya yang menderita... adalah masyarakat yang kejam dan tidak manusiawi”
(Spe Salvi, 38). Memang benar:
menghadapi penderitaan bersama membuat kita lebih manusiawi, dan kemampuan
untuk ambil bagian dalam rasa sakit orang lain merupakan langkah maju yang
penting dalam setiap perjalanan kekudusan.
Sahabat-sahabat
terkasih, janganlah kita menyingkirkan mereka yang lemah dari kehidupan kita,
seperti yang kadang-kadang, sayangnya, dilakukan mentalitas tertentu saat ini.
Janganlah kita menyingkirkan penderitaan dari lingkungan kita. Sebaliknya,
marilah kita mengubahnya menjadi kesempatan untuk bertumbuh bersama dan
menumbuhkan harapan, berkat kasih yang pertama-tama dicurahkan Allah ke dalam
hati kita (bdk. Rm 5:5), kasih yang, terutama, tetap untuk selamanya (bdk. 1
Kor 13:8-10,13).
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 6 April 2025)