Liturgical Calendar

HOMILI PIETRO KARDINAL PAROLIN DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH II (HARI MINGGU KERAHIMAN ILAHI) 27 April 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 5:12-16; Mzm. 118:2-4,22-24,25-27a; Why. 1:9-11a,12-13,17-19; Yoh. 20:19-31.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid-Nya ketika mereka berada di Ruang Atas, tempat mereka mengurung diri dengan penuh ketakutan, dengan pintu-pintu terkunci (Yoh 20:19). Pikiran mereka dalam keadaan kacau dan hati mereka dipenuhi kesedihan, karena Sang Guru dan Gembala yang mereka ikuti, meninggalkan segalanya, telah dipaku di kayu salib. Mereka mengalami hal-hal yang mengerikan dan merasa yatim piatu, sendirian, tersesat, terancam, dan tidak berdaya.

 

Gambaran pembuka yang dipaparkan Bacaan Injil kepada kita pada hari Minggu ini juga dapat menggambarkan dengan baik keadaan pikiran kita semua, Gereja, dan seluruh dunia. Gembala yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya, Paus Fransiskus, telah mengakhiri hidup duniawinya dan telah meninggalkan kita. Kesedihan atas kepergiannya, rasa sedih yang melanda kita, gejolak yang kita rasakan di dalam hati kita, perasaan bingung: kita mengalami semua ini, seperti para rasul yang berduka atas kematian Yesus.

 

Namun, Bacaan Injil memberitahu kita bahwa justru pada saat kegelapan inilah Tuhan datang kepada kita dengan terang kebangkitan, untuk menerangi hati kita. Paus Fransiskus mengingatkan kita tentang hal ini sejak ia terpilih dan sering mengulanginya kepada kita, memusatkan pontifikasinya pada sukacita Injil yang, sebagaimana ditulisnya dalam Evangelii Gaudium, “memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus. Mereka yang menerima tawaran penyelamatan-Nya dibebaskan dari dosa, penderitaan, kehampaan batin dan kesepian. Bersama Kristus sukacita senantiasa dilahirkan kembali.” (no. 1).

 

Sukacita Paskah, yang menopang kita di masa pencobaan dan kesedihan ini, adalah sesuatu yang hampir dapat disentuh di lapangan ini hari ini; kamu dapat melihatnya tergurat terutama di wajahmu, anak-anak dan kaum muda terkasih yang datang dari seluruh dunia untuk merayakan Yubileum. Kamu datang dari begitu banyak tempat: dari seluruh keuskupan di Italia, dari Eropa, dari Amerika Serikat hingga Amerika Latin, dari Afrika hingga Asia, dari Uni Emirat Arab... bersamamu di sini, seluruh dunia benar-benar hadir!

 

Secara khusus saya menyapamu, dengan keinginan agar kamu merasakan pelukan Gereja dan kasih sayang Paus Fransiskus, yang ingin bertemumu, menatap matamu, dan berjalan di antaramu untuk menyapamu.

 

Mengingat banyaknya tantangan yang harus kamu hadapi - misalnya, saya memikirkan teknologi dan kecerdasan buatan yang menjadi ciri khas zaman kita - jangan pernah lupa untuk memelihara hidupmu dengan pengharapan sejati yang berwajah Yesus Kristus. Tidak ada yang terlalu besar atau terlalu menantang bersama-Nya! Bersama-Nya kamu tidak akan pernah sendirian atau ditinggalkan, bahkan di saat-saat terburuk sekalipun! Ia datang untuk menemuimu di mana pun kamu berada, memberimu keberanian untuk hidup, ambil bagian dalam pengalaman, pikiran, karunia, dan impianmu. Ia datang kepadamu dalam wajah orang-orang yang dekat atau jauh, sebagai saudara-saudari untuk dikasihi, yang kepada mereka kamu memiliki begitu banyak hal untuk diberikan dan dari mereka kamu akan menerima begitu banyak hal, untuk membantumu bermurah hati, setia, dan bertanggung jawab saat kamu melangkah maju dalam hidup. Ia ingin membantumu memahami apa yang paling berharga dalam hidup: kasih yang meliputi segala sesuatu dan mengharapkan segala sesuatu (lihat 1 Kor 13:7).

 

Hari ini, pada Hari Minggu Paskah II, Dominica in Albis, kita merayakan Pesta Kerahiman Ilahi.

 

Kerahiman Bapa, yang lebih besar daripada keterbatasan dan perhitungan kita, justru menjadi ciri Magisterium Paus Fransiskus dan kegiatan apostoliknya yang intens. Demikian pula keinginan untuk mewartakan dan berbagi kerahiman Allah dengan semua orang - pewartaan Kabar Baik, evangelisasi - merupakan tema utama pontifikasinya. Ia mengingatkan kita bahwa "kerahiman" adalah nama Allah sendiri, dan, oleh karena itu, tidak seorang pun dapat membatasi kasih-Nya yang penuh kerahiman yang dengannya Ia ingin membangkitkan dan menjadikan kita umat baru.

 

Menerima prinsip yang sangat ditekankan oleh Paus Fransiskus sebagai khazanah yang berharga ini penting. Dan - izinkan saya mengatakan - kasih sayang kita kepadanya, yang sedang diwujudkan pada saat ini, tidak boleh hanya sekadar emosi sesaat; kita harus menyambut warisannya dan menjadikannya bagian dari kehidupan kita, membuka diri terhadap kerahiman Allah dan juga penuh kerahiman satu sama lain.

 

Kerahiman membawa kita kembali ke pokok iman. Kerahiman mengingatkan kita bahwa kita tidak perlu menafsirkan hubungan kita dengan Allah dan keberadaan kita sebagai Gereja menurut kategori manusiawi atau duniawi. Kabar baik Injil pertama-tama dan terutama adalah penemuan dikasihi oleh Allah yang memiliki perasaan penuh kerahiman dan kelembutan bagi kita masing-masing, terlepas dari kebaikan kita. Kerahiman juga mengingatkan kita bahwa hidup kita dijalin dengan kerahiman: kita hanya dapat bangkit kembali setelah jatuh dan menatap masa depan jika kita memiliki seseorang yang mengasihi kita tanpa batas dan mengampuni kita. Oleh karena itu, kita dipanggil untuk berkomitmen menjalani hubungan kita tidak lagi menurut kriteria perhitungan atau dibutakan oleh keegoisan, tetapi dengan membuka diri untuk berdialog dengan orang lain, menyapa mereka yang kita temui di sepanjang jalan dan memaafkan kelemahan dan kesalahan mereka. Hanya kerahiman yang menyembuhkan dan menciptakan dunia baru, memadamkan api ketidakpercayaan, kebencian, dan kekerasan: inilah ajaran agung Paus Fransiskus.

 

Yesus menunjukkan kepada kita wajah Allah yang penuh kerahiman ini dalam khotbah-Nya dan dalam perbuatan yang Ia lakukan. Lebih jauh, seperti yang telah kita dengar, ketika Ia hadir di Ruang Atas setelah kebangkitan-Nya, Ia menawarkan karunia damai dan berkata, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:23). Karena itu, Tuhan yang bangkit mengarahkan para murid-Nya, Gereja-Nya, untuk menjadi sarana kerahiman bagi umat manusia, bagi mereka yang bersedia menerima kasih dan pengampunan Allah. Paus Fransiskus adalah saksi Gereja yang cemerlang yang membungkuk dengan kelembutan terhadap mereka yang terluka dan menyembuhkan dengan balsem kerahiman. Ia mengingatkan kita bahwa tidak akan ada perdamaian tanpa pengakuan terhadap orang lain, tanpa memerhatikan mereka yang lebih lemah dan, terutama, tidak akan pernah ada perdamaian jika kita tidak belajar untuk saling mengampuni, saling menunjukkan kerahiman sebagaimana ditunjukkan Allah kepada kita.

 

Saudara-saudari, tepat pada Hari Minggu Kerahiman Ilahi dengan kasih sayang kita mengenang Paus Fransiskus kita yang terkasih. Sungguh, kenangan seperti itu sangat jelas di antara para pegawai dan umat Kota Vatikan, banyak di antaranya yang hadir di sini, dan saya ingin mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang mereka lakukan setiap hari. Kepadamu, kepada kita semua, kepada seluruh dunia, Paus Fransiskus mengulurkan pelukannya dari surga.

 

Kita mempercayakan diri kita kepada Santa Perawan Maria, yang kepadanya ia sangat berdevosi sehingga ia memilih untuk dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore. Semoga ia melindungi kita, menjadi perantara kita, menjaga Gereja, dan mendukung perjalanan umat manusia dalam damai dan persaudaraan. Amin.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 27 April 2025)

HOMILI GIOVANNI BATTISTA KARDINAL RE, KETUA DEWAN KARDINAL, DALAM MISA REQUIEM UNTUK PAUS FRANSISKUS 26 April 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 10:34-43; Flp. 3:20-4:1; Yoh. 21:15-19.

 

Di Lapangan Santo Petrus yang megah ini, tempat Paus Fransiskus merayakan Ekaristi berkali-kali dan memimpin pertemuan besar selama dua belas tahun terakhir, dengan hati yang sedih kita berkumpul dalam doa di sekeliling jenazahnya. Namun, kita dikuatkan oleh kepastian iman, yang meyakinkan kita bahwa keberadaan manusiawi tidak berakhir di dalam kubur, tetapi di rumah Bapa, dalam kehidupan kebahagiaan yang tidak akan pernah berakhir.

 

Atas nama Dewan Kardinal, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran kamu semua. Dengan penuh emosi, saya menyampaikan salam hormat dan terima kasih yang tulus kepada para kepala negara, kepala pemerintahan, dan delegasi resmi yang datang dari berbagai negara untuk mengungkapkan kasih sayang, penghormatan, dan penghargaan mereka kepada mendiang Bapa Suci kita. Curahan kasih sayang yang telah kita saksikan dalam beberapa hari terakhir setelah kepergiannya dari bumi ini menuju keabadian menunjukkan kepada kita betapa mendalamnya pontifikasi Paus Fransiskus menyentuh pikiran dan hati.

 

Gambaran terakhir yang kita miliki tentang dirinya, yang akan tetap terukir dalam ingatan kita, adalah pada hari Minggu lalu, Hari Minggu Paskah, ketika Paus Fransiskus, meskipun sedang dalam masalah kesehatan yang serius, ingin memberikan kita berkatnya dari balkon Basilika Santo Petrus. Ia kemudian turun ke Lapangan ini untuk menyambut banyak orang yang berkumpul untuk Misa Paskah seraya menaiki mobil Paus beratap terbuka. Dengan doa-doa kita, kita sekarang mempercayakan jiwa Paus kita yang terkasih kepada Allah, agar Ia menganugerahinya kebahagiaan abadi dalam tatapan yang cemerlang dan mulia dari kasih-Nya yang tak terhingga. Kita tercerahkan dan dibimbing oleh Bacaan Injil, di mana suara Kristus sendiri bergema, bertanya kepada wakil para rasul, "Petrus, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?" Dengan cepat dan tulus Petrus menjawab, "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau!" Yesus kemudian mempercayakan kepadanya misi besar, "Peliharalah domba-domba-Ku." Inilah tugas berkesinambungan Petrus dan para penggantinya, yaitu pelayanan kasih mengikuti jejak Kristus, Guru dan Tuhan kita, yang “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45).

 

Meskipun lemah dan menderita menjelang akhir hayatnya, Paus Fransiskus memilih untuk mengikuti jalan pengurbanan diri ini hingga hari terakhir hidupnya di dunia. Ia mengikuti jejak Tuhannya, Sang Gembala yang baik, yang mengasihi domba-domba-Nya hingga rela memberikan nyawa-Nya bagi mereka. Dan ia melakukannya dengan kekuatan dan ketenangan, dekat dengan kawanan dombanya, Gereja Allah, seraya mengingat kata-kata Yesus yang dikutip oleh Rasul Paulus: “Lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis 20:35).

 

Ketika Kardinal Bergoglio terpilih dalam konklaf pada tanggal 13 Maret 2013 untuk menggantikan Paus Benediktus XVI, ia telah memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupan religius di Serikat Yesus dan, terutama, diperkaya oleh dua puluh satu tahun pelayanan pastoral di Keuskupan Agung Buenos Aires, pertama sebagai uskup auksiler, kemudian sebagai uskup koajutor dan, terutama, sebagai uskup agung.

 

Keputusan untuk memakai nama Fransiskus segera tampak menunjukkan rencana dan gaya pastoral yang ingin ia jadikan dasar pontifikasinya, dengan mengambil inspirasi dari semangat Santo Fransiskus dari Asisi.

 

Ia mempertahankan perangai dan bentuk kepemimpinan pastoralnya, dan melalui kepribadiannya yang tegas, segera meninggalkan jejaknya pada tata kelola Gereja. Ia menjalin kontak langsung dengan individu dan masyarakat, ingin dekat dengan semua orang, dengan perhatian yang nyata kepada mereka yang sedang dalam kesulitan, memberikan dirinya tanpa batas, terutama kepada mereka yang terpinggirkan, yang paling kecil di antara kita. Ia adalah seorang Paus di antara orang-orang, dengan hati yang terbuka terhadap semua orang. Ia juga seorang Paus yang memperhatikan tanda-tanda zaman dan apa yang sedang dibangkitkan Roh Kudus dalam Gereja.

 

Dengan kosakata dan bahasanya yang khas, kaya akan gambaran dan metafora, ia selalu berusaha untuk menjelaskan masalah-masalah zaman kita dengan kebijaksanaan Injil. Ia melakukannya dengan memberikan tanggapan yang dibimbing oleh terang iman dan mendorong kita untuk hidup sebagai umat kristiani di tengah tantangan dan pertentangan dalam beberapa tahun terakhir, yang ia gambarkan sebagai "perubahan zaman." Ia memiliki spontanitas yang luar biasa dan cara yang informal dalam menyapa setiap orang, bahkan mereka yang jauh dari Gereja.

 

Kaya akan kehangatan manusiawi dan sangat peka terhadap tantangan masa kini, Paus Fransiskus benar-benar turut merasakan kecemasan, penderitaan, dan harapan di era globalisasi ini. Ia memberikan dirinya dengan menghibur dan menyemangati kita dengan pesan yang mampu menyentuh hati orang-orang secara langsung dan segera.

 

Karismanya yang ramah dan mau mendengarkan, dipadukan dengan sikap yang sesuai dengan kepekaan zaman sekarang, menyentuh hati dan berusaha membangkitkan kembali kepekaan moral dan spiritual. Evangelisasi merupakan prinsip utama pontifikasinya. Dengan visi misi yang jelas, ia menyebarkan sukacita Injil, yang merupakan judul dari seruan apostoliknya yang pertama, Evangelii Gaudium. Sukacita itulah yang memenuhi hati semua orang yang mempercayakan diri kepada Allah dengan keyakinan dan harapan.

 

Benang merah misinya juga adalah keyakinan bahwa Gereja adalah rumah bagi semua orang, rumah yang pintunya selalu terbuka. Ia sering menggunakan gambaran Gereja sebagai "rumah sakit lapangan" setelah pertempuran yang menyebabkan banyak orang terluka; Gereja yang bertekad untuk menangani masalah-masalah manusiawi dan kecemasan besar yang mencabik-cabik dunia masa kini; Gereja yang mampu membungkuk kepada setiap orang, terlepas dari keyakinan atau kondisi mereka, dan menyembuhkan luka-luka mereka.

 

Sikap dan dorongannya untuk membantu para pengungsi dan orang-orang terlantar tidak terhitung banyaknya. Kegigihannya untuk bekerja bagi orang miskin terus berlanjut. Penting untuk dicatat bahwa perjalanan pertama Paus Fransiskus adalah ke Lampedusa, sebuah pulau yang melambangkan tragedi migrasi, yang menyebabkan ribuan orang tenggelam di laut. Hal yang sama juga terjadi dalam perjalanannya ke Lesbos, bersama dengan Patriark Ekumenis dan Uskup Agung Athena, serta perayaan Misa di perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat selama perjalanannya ke Meksiko.

 

Dari 47 perjalanan apostoliknya yang menguras tenaga, perjalanan ke Irak pada tahun 2021, yang menantang segala risiko, akan tetap sangat berkesan. Perjalanan apostolik yang sulit itu menjadi obat mujarab bagi luka menganga rakyat Irak, yang telah sangat menderita akibat tindakan ISIS yang tidak manusiawi. Perjalanan itu juga merupakan perjalanan penting untuk dialog antaragama, dimensi penting lain dari karya pastoralnya. Dengan perjalanan apostoliknya tahun 2024 ke empat negara di Asia-Oseania, Paus mencapai "pinggiran paling pinggiran dunia."

 

Paus Fransiskus selalu menempatkan Injil belas kasih di pusat perhatian, berulang kali menekankan bahwa Allah tidak pernah lelah mengampuni kita. Ia selalu mengampuni, apa pun situasinya bagi orang yang memohon pengampunan dan kembali ke jalan yang benar. Ia mencanangkan Yubileum Luar Biasa Kerahiman untuk menyoroti bahwa belas kasih adalah "inti Injil."

 

Belas kasih dan sukacita Injil adalah dua kata kunci bagi Paus Fransiskus. Berbeda dengan apa yang disebutnya sebagai "budaya membuang," ia berbicara tentang budaya perjumpaan dan kesetiakawanan. Tema persaudaraan mengalir sepanjang masa pontifikasinya dengan nada-nada yang menggetarkan. Dalam ensikliknya Fratelli Tutti, ia ingin menghidupkan kembali aspirasi persaudaraan di seluruh dunia, karena kita semua adalah anak-anak dari satu Bapa yang ada di surga. Dengan tegas ia sering mengingatkan kita bahwa kita semua adalah bagian dari satu keluarga manusiawi.

 

Pada tahun 2019, selama perjalanannya ke Uni Emirat Arab, Paus Fransiskus menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, yang mengingatkan kita akan kebapaan bersama Allah. Dalam Ensiklik Laudato Si’, ia berbicara kepada orang-orang di seluruh dunia dan menarik perhatian kita pada tugas dan tanggung jawab bersama untuk rumah kita bersama, dengan menyatakan, “Tidak seorang pun diselamatkan sendirian.”

 

Menghadapi perang yang berkecamuk dalam beberapa tahun terakhir, dengan kengerian yang tidak manusiawi dan kematian serta kehancuran yang tak terhitung jumlahnya, Paus Fransiskus terus-menerus menyerukan perdamaian dan menyerukan akal sehat serta negosiasi yang jujur ​​untuk menemukan solusi yang memungkinkan. Perang, katanya, mengakibatkan kematian orang-orang dan kehancuran rumah, rumah sakit, dan sekolah. Perang selalu membuat dunia lebih buruk daripada sebelumnya: selalu merupakan kekalahan yang menyakitkan dan tragis bagi semua orang.

 

“Bangunlah jembatan, bukan tembok” adalah seruan yang diulang-ulangnya berkali-kali, dan pelayanan imannya sebagai penerus Rasul Petrus selalu dikaitkan dengan pelayanan kepada umat manusia dalam segala lingkupnya.

 

Bersatu secara spiritual dengan segenap umat kristiani, kita hadir dalam jumlah besar untuk mendoakan Paus Fransiskus, agar Allah sudi menyambutnya ke dalam kasih-Nya yang tak terbatas. Paus Fransiskus biasa mengakhiri pidato dan pertemuannya dengan mengatakan, "Jangan lupa untuk mendoakan saya."

 

Paus Fransiskus yang terkasih, kami sekarang memohon kepadamu untuk mendoakan kami. Semoga engkau memberkati Gereja, memberkati Roma, dan memberkati seluruh dunia dari surga seperti yang kamu lakukan hari Minggu lalu dari balkon Basilika ini dalam pelukan terakhir dengan segenap umat Allah, seraya merangkul umat manusia yang mencari kebenaran dengan hati yang tulus dan memegang tinggi obor pengharapan.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 26 April 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH ANGELO KARDINAL COMASTRI) DALAM MISA HARI RAYA PASKAH KEBANGKITAN TUHAN 20 April 2025 : PASKAH MEMACU KITA UNTUK BERLARI

Bacaan Ekaristi : Kis. 10:34a,37-43; Mzm. 118:1-2,16ab-17,22-23; Kol. 3:1-4; Yoh. 20:1-9.

 

Maria Magdalena, melihat batu penutup kubur telah terguling, berlari-lari memberitahu Petrus dan Yohanes. Setelah menerima berita yang mengejutkan itu, kedua murid itu juga berangkat dan — seperti dikatakan Injil — “keduanya berlari bersama-sama” (Yoh 20:4). Semua tokoh utama dalam kisah Paskah berlari! Di satu sisi, “berlari” dapat mengungkapkan kekhawatiran bahwa tubuh Tuhan telah dibawa pergi; tetapi, di sisi lain, ketergesaan Maria Magdalena, Petrus, dan Yohanes mengungkapkan keinginan, kerinduan hati, sikap batin orang-orang yang berangkat untuk mencari Yesus. Dia, pada kenyataannya, telah bangkit dari antara orang mati dan karena itu tidak lagi berada di dalam kubur. Kita harus mencari-Nya di tempat lain.

 

Inilah pesan Paskah: kita harus mencari-Nya di tempat lain. Kristus telah bangkit, Ia hidup! Ia tidak lagi menjadi tawanan kematian, Ia tidak lagi terbungkus kain kafan, dan karena itu kita tidak dapat membatasi-Nya pada dongeng, kita tidak dapat menjadikan-Nya pahlawan dunia kuno, atau menganggap-Nya patung dalam museum! Sebaliknya, kita harus mencari-Nya dan inilah sebabnya kita tidak dapat tinggal diam. Kita harus bertindak, berangkat untuk mencari-Nya: mencari-Nya dalam kehidupan, mencari-Nya dalam wajah saudara-saudari kita, mencari-Nya dalam kegiatan sehari-hari, mencari-Nya di mana-mana selain dalam kubur.

 

Kita harus mencari-Nya tanpa henti. Karena jika Ia telah bangkit dari kematian, maka Ia hadir di mana-mana, Ia tinggal di antara kita, Ia menyembunyikan diri-Nya dan menyatakan diri-Nya bahkan hari ini dalam diri saudara-saudari yang kita temui di sepanjang jalan, dalam situasi yang paling biasa dan tidak terduga dalam hidup kita. Ia hidup dan selalu bersama kita, meneteskan air mata orang-orang yang menderita dan menambah keindahan hidup melalui tindakan sederhana kecil yang kita masing-masing lakukan.

 

Karena alasan ini, iman Paskah kita, yang membuka kita untuk berjumpa Tuhan yang bangkit dan mempersiapkan kita untuk menyambut-Nya dalam hidup kita, sama sekali bukan sekadar berpuas diri dengan semacam "keyakinan religius." Sebaliknya, Paskah memacu kita untuk bertindak, berlari seperti Maria Magdalena dan para murid; Paskah mengundang kita untuk memiliki mata yang dapat "melihat lebih jauh," memahami Yesus, Dia yang hidup, sebagai Allah yang menyatakan diri-Nya dan membuat diri-Nya hadir bahkan hari ini, yang berbicara kepada kita, berjalan di depan kita, mengejutkan kita. Seperti Maria Magdalena, setiap hari kita dapat mengalami kehilangan Tuhan, tetapi setiap hari kita juga dapat berlari untuk mencari-Nya lagi, dengan kepastian bahwa Ia akan membiarkan diri-Nya ditemukan dan akan memenuhi diri kita dengan terang kebangkitan-Nya.

 

Saudara-saudari, inilah pengharapan terbesar dalam hidup kita: kita dapat menjalani keberadaan yang miskin, rapuh, dan terluka ini dengan berpegang teguh pada Kristus, karena Ia telah menaklukkan kematian, Ia menaklukkan kegelapan kita dan Ia akan menaklukkan bayang-bayang dunia, membuat kita hidup bersama-Nya dalam sukacita, selamanya. Inilah arah tujuan kita, seperti dikatakan Rasul Paulus, melupakan apa yang telah di belakang kita dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapan (lih. Flp. 3:12-14). Seperti Maria Magdalena, Petrus dan Yohanes, kita bergegas untuk bertemu Kristus.

 

Yubileum mengajak kita untuk memperbarui karunia pengharapan dalam diri kita, menyerahkan penderitaan dan kekhawatiran kita kepada pengharapan, membagikannya kepada mereka yang kita temui di sepanjang perjalanan kita dan mempercayakan kepada pengharapan masa depan hidup kita dan takdir keluarga umat manusia. Maka dari itu kita tidak dapat puas dengan hal-hal yang fana di dunia ini atau menyerah pada kesedihan; kita harus berlari, dipenuhi dengan sukacita. Marilah kita berlari kepada Yesus, marilah kita menemukan kembali anugerah yang tak ternilai dengan menjadi sahabat-Nya. Marilah kita membiarkan Sabda kehidupan dan kebenaran-Nya bersinar dalam hidup kita. Sebagaimana dikatakan teolog besar Henri de Lubac, “Seharusnya cukup untuk memahami ini: kekristenan adalah Kristus. Tidak, sungguh, tidak ada yang lain selain ini. Di dalam Kristus kita memiliki segalanya” (Les responsabilités doctrinales des catholiques dans le monde d'aujourd'hui, Paris 2010, 276).

 

Dan “segalanya” ini yaitu Kristus yang bangkit membuka hidup kita kepada pengharapan. Ia hidup, Ia masih ingin memperbarui hidup kita hari ini. Kepada-Nya, sang penakluk dosa dan maut, kita ingin berkata:

 

“Tuhan, pada hari raya ini kami mohon karunia ini: agar kami juga diperbarui, agar dapat mengalami kebaruan abadi ini. Bersihkanlah kami, ya Allah, dari debu kebiasaan yang menyedihkan, rasa lelah, dan ketidakpedulian; berikanlah kami sukacita untuk bangun setiap pagi dengan rasa takjub, dengan mata yang siap untuk melihat warna-warni baru pagi ini, yang unik dan tidak seperti yang lain. […] Segalanya baru, Tuhan, dan tidak ada yang sama, tidak ada yang lama” (A. Zarri, Quasi una preghiera).

 

Saudari-saudari, dalam keheranan iman Paskah, dengan membawa dalam hati kita setiap pengharapan akan kedamaian dan pembebasan, kita dapat berkata: bersama-Mu, ya Tuhan, segalanya baru. Bersama-Mu, segalanya dimulai lagi.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 April 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH GIOVANNI BATTISTA KARDINAL RE) DALAM MISA VIGILI PASKAH 19 April 2025

Bacaan Ekaristi : Kej. 1:1-2:2; Kej. 22:1-18; Kel. 14:15-15:1; Yes. 54:5-14; Yes. 55:1-11; Bar. 3:9-15,32-4:4; Yeh. 36:16-17a,18-28; Rm. 6:3-11; Mzm. 118:1-2,16ab-17,22-23; Luk. 24:1-12.

 

Malam telah tiba, saat lilin Paskah perlahan bergerak menuju altar. Malam telah tiba, saat madah pujian Paskah mengundang kegembiraan yang tulus, “Bergiranglah, umat seluruh dunia: Terhalaukan kegelapan dosa: bersinar cahaya ilahi: Yesus Kristus, Junjungan kita.” (Exsultet). Pada jam-jam terakhir malam itulah peristiwa yang diceritakan dalam Injil yang baru saja kita dengar terjadi (lih. Luk 24:1-12). Cahaya ilahi kebangkitan mulai bersinar dan Paskah Tuhan dari kematian menuju kehidupan terjadi saat matahari akan terbit. Cahaya pertama fajar menyingkapkan bahwa batu besar yang diletakkan di depan kubur Yesus telah terguling, saat beberapa perempuan, berpakaian duka, berjalan menuju kubur. Kebingungan dan ketakutan para murid masih diselimuti oleh kegelapan. Semuanya terjadi di malam hari.

 

Dengan demikian, Misa Malam Paskah mengingatkan kita bahwa terang kebangkitan menerangi jalan kita selangkah demi selangkah; terang yang meneduhkan itu menerobos kegelapan sejarah dan bersinar dalam hati kita, menyerukan tanggapan iman yang rendah hati, tanpa segala bentuk kemenangan. Perjalanan Tuhan dari kematian menuju kehidupan bukan peristiwa spektakuler yang dengannya Allah menunjukkan kuasa-Nya dan memaksa kita untuk percaya kepada-Nya. Bagi Yesus, perjalanan melewati Kalvari bukan akhir yang mudah. Kita juga tidak boleh mengalaminya seperti itu, dengan santai dan tanpa berpikir. Sebaliknya, kebangkitan seperti benih-benih kecil cahaya yang perlahan-lahan dan tanpa bersuara berakar dalam hati kita, terkadang masih menjadi mangsa kegelapan dan ketidakpercayaan.

 

“Gaya” Allah ini membebaskan kita dari kesalehan tanpa tubuh yang secara keliru membayangkan kebangkitan Tuhan menyelesaikan segalanya seolah-olah disihir. Mengatasinya: kita tidak dapat merayakan Paskah tanpa terus menghadapi malam-malam yang bersemayam dalam hati kita dan bayang-bayang kematian yang begitu sering membayangi dunia kita. Kristus memang menaklukkan dosa dan menghancurkan kematian, namun dalam sejarah duniawi kita, kuasa kebangkitan-Nya masih terus digenapi. Dan penggenapan itu, seperti benih-benih cahaya kecil, telah dipercayakan kepada kita, perlu kita lindungi dan jadikan bertumbuh.

 

Saudara-saudari, khususnya selama Tahun Yubileum ini, kita hendaknya merasakan dengan kuat dalam diri kita panggilan untuk membiarkan pengharapan Paskah bersemi dalam hidup kita dan dunia!

 

Ketika pikiran tentang kematian terasa berat di hati kita, ketika kita melihat bayang-bayang gelap kejahatan yang merajalela di dunia kita, ketika kita merasakan luka-luka keegoisan atau kekerasan yang bernanah dalam tubuh dan masyarakat kita, janganlah kita putus asa, tetapi kembalilah kepada pesan malam ini. Cahaya bersinar teduh, meskipun kita berada dalam kegelapan; janji kehidupan baru dan dunia yang akhirnya terbebas menanti kita; dan awal yang baru, betapapun mustahilnya, dapat mengejutkan kita, karena Kristus telah mengatasi kematian.

 

Pesan ini memenuhi hati kita dengan pengharapan baru. Karena dalam diri Yesus yang bangkit, kita memiliki kepastian bahwa sejarah pribadi kita dan keluarga manusiawi kita, meskipun masih terbenam dalam kegelapan malam di mana cahaya tampak jauh dan redup, tetap berada di tangan Allah. Dalam keagungan kasih-Nya, Ia tidak akan membiarkan kita goyah, atau membiarkan kejahatan mengambil alih. Pada saat yang sama, pengharapan ini, yang telah tergenapi dalam diri Kristus, tetap menjadi tujuan yang harus kita capai. Namun, kita dipercaya supaya kita dapat memberikan kesaksian yang dapat dipercaya, sehingga Kerajaan Allah dapat menemukan jalannya ke dalam hati orang-orang di zaman kita.

 

Santo Agustinus mengingatkan kita, “Kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus adalah hidup baru bagi mereka yang percaya kepada-Nya; misteri sengsara dan kebangkitan-Nya ini harus kamu ketahui dengan baik dan kamu teladani dalam hidupmu” (Khotbah 231, 2). Kita harus merefleksikan Paskah dalam hidup kita dan menjadi pembawa pesan pengharapan, pembangun pengharapan, bahkan saat begitu banyak angin kematian masih menerpa kita.

 

Kita dapat melakukan ini melalui perkataan kita, melalui perbuatan sederhana kita sehari-hari, melalui keputusan yang diilhami oleh Injil. Seluruh hidup kita dapat menjadi kehadiran pengharapan. Kita ingin menghadirkannya bagi mereka yang kurang beriman kepada Tuhan, bagi mereka yang telah kehilangan jalan, bagi mereka yang telah menyerah atau terbebani oleh kehidupan; bagi mereka yang sendirian atau kewalahan oleh penderitaan mereka; bagi semua orang miskin dan tertindas di dunia kita; bagi banyak perempuan yang dihina dan dibunuh; bagi mereka yang masih berada dalam kandungan dan bagi anak-anak yang dianiaya; dan bagi para korban perang. Bagi mereka semua dan masing-masing, marilah kita membawa pengharapan Paskah!

 

Saya suka memikirkan seorang mistikus abad ketiga belas, Hadewijch dari Antwerp, yang, terinspirasi oleh Kidung Agung, menggambarkan penderitaannya karena ketidakhadiran orang terkasih dan memohon kembalinya cinta sehingga — sebagaimana dikatakannya — “memungkinkan adanya titik balik bagi kegelapanku” (Poesie, Visioni, Lettere, Genoa 2000, 23).

 

Kristus yang bangkit adalah titik balik definitif dalam sejarah umat manusia. Ia adalah pengharapan yang tidak pudar. Ia adalah kasih yang menyertai dan menopang kita. Ia adalah masa depan sejarah, tujuan akhir yang kita tuju, yang harus disambut ke dalam kehidupan baru di mana Tuhan sendiri akan menghapus segala air mata kita dan “tidak akan ada lagi maut, perkabungan, ratap tangis dan dukacita” (Why 21:4). Dan tanggung jawab kita adalah mewartakan pengharapan Paskah ini, “titik balik” kegelapan menjadi terang.

 

Saudari-saudari, masa Paskah adalah masa pengharapan. “Masih ada ketakutan, masih ada kesadaran yang menyakitkan akan dosa, tetapi juga ada cahaya yang bersinar... Paskah membawa kabar baik bahwa meskipun keadaan dunia tampaknya semakin buruk, Si Jahat telah dikalahkan. Paskah memungkinkan kita untuk menegaskan bahwa meskipun Allah tampak sangat jauh dan meskipun kita tetap disibukkan dengan banyak hal kecil, Tuhan kita berjalan bersama kita di jalan ... Dengan demikian ada banyak terang pengharapan yang memancarkan cahayanya di jalan hidup kita” (H. Nouwen, Seruan Memohon Kerahiman, Doa dari Umat Genesee).

 

Marilah kita memberi ruang bagi terang Tuhan yang bangkit! Dan kita akan menjadi pembangun pengharapan bagi dunia.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 April 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH DOMENICO KARDINAL CALCAGNO) DALAM MISA KRISMA 17 April 2025 : DUA “KEBIASAAN” YESUS

Bacaan Ekaristi : Yes. 61:1-3a,6a,8b-9; Mzm. 89:21-22,25,27; Why. 1:5-8; Luk. 4:16-21.

 

Para uskup dan para imam terkasih,

Saudara-saudari terkasih!

 

“Alfa dan Omega, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Maha Kuasa” (Why 1:8), adalah Yesus sendiri. Yesus inilah yang diperkenalkan Lukas kepada kita di rumah ibadat Nazaret, di antara orang-orang yang telah mengenal-Nya sejak ia masih kanak-kanak, dan sekarang merasa takjub kepada-Nya. Wahyu — “apokaliptik” — terjadi dalam batasan ruang dan waktu: ia memiliki daging sebagai tumpuannya, yang menopang pengharapan kita. Daging Yesus adalah daging kita. Kitab terakhir dalam Kitab Suci berbicara tentang pengharapan ini. Ia melakukannya dengan cara yang luar biasa, dengan melenyapkan semua ketakutan akan kiamat dalam terang kasih yang tersalib. Dalam Yesus, kitab sejarah dibuka, dan dapat dibaca.

 

Kita, para imam, memiliki sejarah sendiri. Pada Hari Kamis Putih, ketika kita memperbarui janji yang dibuat pada saat tahbisan, kita mengakui bahwa kita dapat membaca sejarah itu hanya dalam terang Yesus dari Nazaret. Yesus, “yang mengasihi kita dan telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya” (Why 1:5) membuka gulungan kitab kehidupan kita dan mengajar kita untuk menemukan bagian-bagian yang mengungkapkan makna dan perutusannya. Jika saja kita memperkenankan Ia mengajar kita, pelayanan kita menjadi salah satu pengharapan, karena dalam setiap kisah kita, Allah membuka sebuah Yubileum : masa dan oasis rahmat. Marilah kita bertanya: Apakah aku belajar bagaimana membaca kisah hidupku? Atau apakah aku takut membacanya?

 

Seluruh umat menemukan kesegaran ketika Yubileum dimulai dalam hidup kita: bukan hanya sekali setiap dua puluh lima tahun — kita berharap! — tetapi dalam kedekatan sehari-hari para imam dengan umatnya, di mana nubuat tentang keadilan dan perdamaian digenapi. Yesus telah “membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya” (Why 1:6): demikianlah umat Allah. Kerajaan imam ini tidak sama dengan klerus. “Kita” yang dibentuk Yesus adalah umat yang batas-batasnya tidak dapat kita lihat, di mana tembok dan penghalang telah runtuh. Ia yang berkata kepada kita, “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru” (Why 21:5), telah merobek tabir Bait Suci dan telah mempersiapkan bagi umat manusia sebuah kota taman, Yerusalem baru yang pintu gerbangnya selalu terbuka (bdk. Wahyu 21:25). Begitulah cara Yesus “membaca”, dan mengajar kita untuk membaca, imamat pelayanan: sebagai pelayanan murni kepada umat imami, yang akan segera mendiami kota yang tidak membutuhkan bait suci.

 

Bagi kita para imam, tahun Yubelium merupakan panggilan khusus untuk memulai awal baru dalam perjalanan pertobatan kita. Sebagai peziarah pengharapan, kita dipanggil untuk meninggalkan klerikalisme dan menjadi pewarta pengharapan. Tentu saja, jika Yesus adalah Alfa dan Omega dalam hidup kita, kita juga dapat menghadapi perbedaan pendapat yang Ia alami di Nazaret. Gembala yang mengasihi umat-Nya tidak mencari kesepakatan dan persetujuan dengan cara apa pun. Namun kesetiaan kasih mengubah hati. Orang miskin adalah yang pertama melihat hal ini, tetapi perlahan-lahan hal itu meresahkan dan menarik orang lain juga. “Lihatlah, setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia. Semua suku di bumi akan meratapi Dia. Ya. Amin” (Why 1:7).

 

Kita berkumpul di sini, saudara-saudara terkasih, untuk menyatakan pengakuan kita dan mengulangi ucapan “Amin” itu. Pengakuan iman segenap umat Allah: “Ya, memang demikian, kokoh seperti batu karang!” Sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus, yang akan kita hidupi kembali, adalah tanah yang dengan kokoh menopang Gereja dan, di dalamnya, pelayanan imamat kita. Dan tanah macam apakah ini? Jenis humus apakah yang memungkinkan kita tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berkembang? Untuk memahami hal ini, kita perlu kembali ke Nazaret, sebagaimana disadari dengan sangat cermat oleh Santo Charles de Foucauld.

 

“Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri untuk membaca.” (Luk 4:16). Di sini kita melihat setidaknya dua “kebiasaan” Yesus: kebiasaan mengunjungi rumah ibadat dan kebiasaan membaca. Hidup kita ditopang oleh kebiasaan-kebiasaan baik. Kebiasaan-kebiasaan itu mungkin menjadi rutinitas, tetapi kebiasaan-kebiasaan itu menyingkapkan di mana hati kita berada. Hati Yesus jatuh cinta pada sabda Allah: pada usia dua belas tahun, hal itu sudah jelas, dan sekarang, sebagai orang dewasa, Kitab Suci adalah rumah-Nya. Itulah tanah yang sama, humus yang penting, yang kita temukan, begitu kita menjadi murid-murid-Nya. “Kepada-Nya diberikan gulungan kitab Nabi Yesaya. Ia membukanya dan menemukan nas.” (Luk 4:17). Yesus tahu apa yang sedang Ia cari. Ritual rumah ibadat memungkinkan hal ini: setelah membaca Taurat, setiap rabi dapat membaca kata-kata nubuat untuk menerapkan pesan itu pada kehidupan orang-orang yang mendengarkan. Namun, ada hal lain di sini: Yesus memilih untuk membaca halaman kehidupan-Nya sendiri. Itulah yang ingin disampaikan Lukas kepada kita: di antara sekian banyak nubuat, Yesus memilih satu nubuat yang harus digenapi-Nya.

 

Para imam terkasih, kita masing-masing memiliki sabda yang harus digenapi. Kita masing-masing memiliki hubungan yang sudah berjalan lama dengan sabda Allah. Kita menempatkannya untuk melayani sesama hanya jika Kitab Suci tetap menjadi rumah pertama kita. Di dalamnya, kita masing-masing memiliki beberapa halaman yang lebih menyentuh kita daripada yang lain. Itu indah dan penting! Kita juga membantu sesama untuk menemukan halaman-halaman yang menyentuh hidup mereka: seperti pasangan pengantin baru, ketika mereka memilih bacaan untuk pernikahan mereka; atau mereka yang sedang berduka dan mencari bagian-bagian untuk mempercayakan orang terkasih yang telah meninggal kepada belas kasihan Allah dan doa komunitas. Ada halaman untuk panggilan, biasanya di awal setiap perjalanan kita. Setiap kali kita membaca halaman ini, Allah masih memanggil kita, asalkan kita menghargainya dan tidak membiarkan cinta kita menjadi dingin.

 

Bagi kita masing-masing, halaman yang dipilih Yesus memiliki makna tertentu. Kita mengikuti-Nya, dan karena alasan itu, perutusan-Nya berkaitan langsung dengan kita. “Ia membuka gulungan kitab itu dan menemukan nas, di mana tertulis:

 

‘Roh Tuhan ada pada-Ku,

karena Ia telah mengurapi Aku,

untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin.

Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,

dan penglihatan bagi orang-orang buta,

untuk membebaskan orang-orang yang tertindas,

untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan.’

Ia menutup gulungan itu, memberikannya kembali kepada petugas, lalu duduk” (Luk 4:17-20).

 

Mata semua orang kini tertuju pada Yesus. Ia baru saja mengumumkan yubileum. Ia melakukannya, bukan sebagai seseorang yang berbicara tentang orang lain, melainkan tentang diri-Nya sendiri. Ia berkata: “Roh Tuhan ada pada-Ku”, sebagai seseorang yang mengenal Roh yang Ia bicarakan. Bahkan, ia menambahkan: “Pada hari ini genaplah nas ini ketika kamu mendengarkannya.” Ini adalah sesuatu yang ilahi: sabda menjadi kenyataan. Fakta kini berbicara; sabda digenapi. Sesuatu yang baru dan penuh kuasa sedang terjadi. “Lihat, Aku menjadikan segala sesuatu baru.” Tidak ada kasih karunia, tidak ada Mesias, jika janji tetap tinggal janji, jika janji tidak menjadi kenyataan di bumi ini. Segala sesuatu kini telah berubah.

 

Sekarang kita memohon Roh yang sama ini atas imamat kita. Kita telah menerima Roh itu, Roh Yesus, dan Ia terus menjadi tokoh utama yang tinggal dalam pelayanan kita. Umat merasakan napas-Nya ketika kata-kata kita menjadi kenyataan dalam hidup kita. Bukan hanya orang-orang miskin di hadapan semua orang, anak-anak, remaja, perempuan, tetapi juga siapa pun yang telah mengalami luka-luka dalam Gereja: semua ini memiliki "perasaan" akan kehadiran Roh Kudus; mereka dapat membedakan-Nya dari roh-roh duniawi, mereka mengenali-Nya dalam titik temu antara apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan. Kita dapat menjadi nubuat yang tergenapi, dan ini adalah sesuatu yang indah! Krisma suci yang kita konsekrasikan hari ini memetereikan misteri transformasi ini yang bekerja dalam berbagai tahap kehidupan kristiani. Maka, berhati-hatilah, jangan pernah berkecil hati, karena itu semua karya Allah. Jadi percayalah! Percayalah bahwa Allah tidak berbuat salah terhadap saya! Allah tidak pernah berbuat salah. Marilah kita selalu mengingat kata-kata yang diucapkan pada saat penahbisan kita: "Semoga Allah yang telah memulai pekerjaan baik di dalam dirimu, menyelesaikannya." Ya, Ia melakukannya.

 

Karya Allah, bukan karya kita, adalah menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, dan pembebasan bagi orang-orang yang tertindas. Jika Yesus pernah menemukan nas ini dalam gulungan kitab, hari ini Ia terus membacanya dalam kisah hidup kita masing-masing. Pertama dan terutama, karena sampai hari terakhir kita, Ia terus menyampaikan kabar baik kepada kita, membebaskan kita dari penjara, membuka mata kita, dan mengangkat beban dari pundak kita. Namun juga, karena dengan memanggil kita untuk ambil bagian dalam perutusan-Nya dan secara sakramental memberi kita bagian dalam hidup-Nya, Ia membebaskan orang lain melalui kita, sering kali tanpa kita sadari. Imamat kita menjadi pelayanan yubileum, seperti imamat-Nya, yang dilaksanakan tanpa gembar-gembor tetapi melalui pengabdian yang tidak mencolok, namun radikal dan cuma-cuma. Itulah Kerajaan Allah, yang diceritakan dalam perumpamaan, efektif dan tanpa diketahui seperti ragi, diam-diam seperti benih. Seberapa sering anak-anak kecil mengenalinya dalam diri kita? Dan apakah kita mampu mengucap syukur?

 

Hanya Allah yang tahu akan betapa melimpahnya panenan. Kita para pekerja mengalami jerih payah dan sukacita panenan. Kita hidup setelah Kristus, di zaman mesianik. Keputusasaan tidak memiliki tempat, melainkan pemulihan dan pengampunan utang; pembagian kembali tanggung jawab dan sumber daya. Inilah apa yang diharapkan umat Allah. Mereka ingin ambil bagian dalam hal ini dan, berdasarkan baptisan, mereka adalah umat imami yang agung. Minyak yang kita konsekrasikan dalam perayaan khidmat ini adalah untuk penghiburan dan sukacita mesianik mereka.

 

Ladang adalah dunia. Rumah kita bersama, yang begitu terluka, dan persaudaraan manusia, yang begitu sering ditolak namun tak terhapuskan, memanggil kita untuk memihak. Panenan Allah adalah untuk semua orang: ladang yang subur yang menghasilkan seratus kali lipat daripada yang ditabur. Semoga sukacita Kerajaan, yang mengganjar semua usaha kita, memacu kita dalam perutusan kita. Setiap petani tahu musim-musim ketika tampaknya tidak ada yang tumbuh. Ada juga saat-saat seperti ini dalam hidup kita. Allahlah yang memberikan pertumbuhan dan yang mengurapi hamba-hamba-Nya dengan minyak kegembiraan.

 

Umat ​​beriman terkasih, umat yang penuh pengharapan, berdoalah hari ini untuk sukacita para imam. Semoga kamu semua mengalami pembebasan yang dijanjikan oleh Kitab Suci dan dipupuk oleh sakramen-sakramen. Banyak ketakutan dapat bersemayam dalam diri kita dan ketidakadilan yang mengerikan mengelilingi kita, tetapi dunia baru telah lahir. Allah sangaqt mengasihi dunia ini sehingga Ia memberikan kita Putra-Nya, Yesus. Ia menuangkan balsem pada luka-luka kita dan menghapus air mata kita. “Lihatlah, Ia datang dengan awan-awan” (Why 1:7). Kerajaan dan kemuliaan-Nya selama-lamanya. Amin.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 17 April 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH LEONARDO KARDINAL SANDRI) DALAM MISA HARI MINGGU PALMA MENGENANGKAN SENGSARA TUHAN 13 April 2025 : MENJADI SIMON DARI KIRENE

“Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan” (Luk 19:38). Demikianlah orang banyak menyambut Yesus ketika Ia memasuki Yerusalem. Sang Mesias masuk melalui pintu gerbang kota suci itu, yang terbuka lebar untuk menyambut Dia yang, beberapa hari kemudian, akan keluar melalui pintu gerbang yang sama, kali ini dikutuk dan dihukum, seraya memanggul salib.

 

Hari ini kita juga telah mengikuti Yesus, pertama dalam perarakan meriah dan kemudian di sepanjang jalan yang penuh dengan penderitaan dan duka, saat kita memasuki Pekan Suci ini sebagai persiapan untuk memperingati sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan.

 

Saat kita melihat wajah para prajurit dan air mata para perempuan di tengah kerumunan orang, perhatian kita tertuju pada seseorang yang tak dikenal yang namanya tiba-tiba muncul dalam Injil: Simon dari Kirene. Dialah orang yang ditangkap oleh para prajurit yang kemudian "meletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus" (Luk 23:26). Saat itu, ia datang dari pedesaan. Ia kebetulan lewat ketika tiba-tiba ia mendapati dirinya terjebak dalam drama yang membuatnya kewalahan, karena kayu yang berat yang diletakkan di bahunya.

 

Saat kita berjalan menuju Kalvari, marilah kita merenungkan sejenak tindakan Simon, mencoba melihat ke dalam hatinya, dan mengikuti jejaknya di samping Yesus.

 

Pertama-tama, tindakan Simon bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia dipaksa untuk memikul salib. Ia tidak menolong Yesus karena keyakinannya, tetapi karena paksaan. Di sisi lain, ia kemudian terlibat secara pribadi dalam sengsara Tuhan. Salib Yesus menjadi salib Simon. Ia bukan Simon, yang disebut Petrus, yang telah berjanji untuk mengikuti Sang Guru setiap saat. Simon tersebut menghilang pada malam pengkhianatan, bahkan setelah ia berkata, "Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau" (Luk 22:33). Orang yang sekarang mengikuti Yesus bukan murid itu, melainkan orang dari Kirene ini. Namun dengan jelas Sang Guru telah mengajarkan, "Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku" (Luk 9:23). Simon dari Galilea berbicara tetapi tidak bertindak. Simon dari Kirene bertindak tetapi tidak berbicara. Antara dia dan Yesus, tidak ada dialog; tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Antara dia dan Yesus, hanya ada kayu salib.

 

Jika kita ingin tahu apakah Simon dari Kirene menolong atau membenci Yesus, yang penderitaan-Nya kini harus ia tanggung, apakah ia “memikul” salib Tuhan atau sekadar membawanya, kita harus melihat ke dalam hatinya. Sementara hati Allah selalu terbuka, tertusuk oleh penderitaan yang menyingkapkan belas kasihan-Nya, hati manusia tetap tertutup. Kita tidak tahu apa yang terjadi dalam hati Simon. Marilah kita bayangkan diri kita berada di tempatnya: apakah kita akan merasa marah atau kasihan, iba atau kesal? Ketika kita memikirkan apa yang dilakukan Simon bagi Yesus, kita juga harus memikirkan apa yang dilakukan Yesus bagi Simon — apa yang Ia lakukan bagi saya, bagimu, bagi kita masing-masing: Ia menebus dunia. Salib kayu yang dipikul Simon dari Kirene adalah salib Kristus, yang sendirian menanggung dosa seluruh umat manusia. Ia menanggungnya karena Ia mengasihi kita, dalam ketaatan kepada Bapa (bdk. Luk 22:42); Ia menderita bersama kita dan demi kita. Dengan cara yang tak terduga dan menakjubkan ini, Simon dari Kirene menjadi bagian dari sejarah keselamatan, di mana tidak seorang pun menjadi orang yang tak dikenal, tidak seorang pun menjadi orang asing.

 

Marilah kita mengikuti jejak Simon, karena ia mengajarkan kita bahwa Yesus datang untuk menemui setiap orang, dalam setiap situasi. Ketika kita melihat banyak orang yang didorong oleh kebencian dan kekerasan untuk berjalan menuju Kalvari, marilah kita ingat bahwa Allah telah menjadikan jalan ini sebagai tempat penebusan, karena Ia sendiri yang menjalaninya, menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Berapa banyak Simon dari Kirene yang ada di zaman kita, memikul salib Kristus di bahu mereka! Dapatkah kita mengenali mereka? Dapatkah kita melihat Tuhan di wajah mereka, yang dirusak oleh beban perang dan perampasan? Dihadapkan dengan ketidakadilan kejahatan yang mengerikan, kita tidak pernah memikul salib Kristus secara sia-sia; sebaliknya, merupakan cara yang paling nyata bagi kita untuk ambil bagian dalam kasih penebusan-Nya.

 

Kesengsaraan Yesus berubah menjadi belas kasih setiap kali kita mengulurkan tangan kepada mereka yang merasa tidak dapat melanjutkan, ketika kita mengangkat mereka yang telah jatuh, ketika kita merangkul mereka yang putus asa. Saudara-saudari, untuk mengalami mukjizat belas kasih yang luar biasa ini, marilah kita putuskan bagaimana kita harus memikul salib kita selama Pekan Suci ini: jika tidak di bahu kita, pikullah di dalam hati kita. Dan bukan hanya salib kita, tetapi juga salib orang-orang yang menderita di sekitar kita; bahkan mungkin salib orang yang tidak kita kenal yang kebetulan — namun apakah benar-benar kebetulan? — telah ditempatkan di jalan kita. Marilah kita mempersiapkan diri untuk misteri Paskah Tuhan dengan menjadi, bagi satu sama lain, Simon dari Kirene.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 13 April 2025)

HOMILI PAUS FRANSISKUS (DIBACAKAN OLEH MGR. RINO FISICHELLA) DALAM MISA HARI MINGGU PRAPASKAH V (MISA YUBILEUM ORANG SAKIT DAN TENAGA KESEHATAN) 6 April 2025

Bacaan Liturgi : Yes. 43:16-21; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Flp. 3:8-14; Yoh. 8:1-11.

 

“Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?” (Yes 43:19). Allah menyampaikan firman ini kepada umat Israel melalui Nabi Yesaya ketika mereka berada di pembuangan Babel. Bagi umat Israel, masa itu adalah masa yang sulit: segalanya tampak sudah berakhir. Yerusalem telah ditaklukkan dan dihancurkan oleh tentara Raja Nebukadnezar II, dan orang-orang yang sekarang dideportasi, tidak mempunyai apa-apa lagi. Masa depan suram dan setiap harapan tampaknya terhalang. Semua itu dapat menggoda orang-orang di pembuangan untuk menyerah, menjadi getir dan merasa bahwa mereka tidak lagi diberkati oleh Allah.

 

Namun, dalam situasi ini, Tuhan mengundang mereka untuk menerima sesuatu yang baru sedang berkembang. Bukan sesuatu yang akan terjadi di masa depan, tetapi sesuatu yang sudah sedang terjadi, sesuatu yang muncul seperti tunas. Apakah itu? Apa yang mungkin muncul, atau bahkan sudah tumbuh, di bentangan darat yang tandus dan menyedihkan seperti itu?

 

Suatu bangsa baru tengah lahir. Suatu bangsa yang, setelah mengalami kegagalan karena rasa aman palsu di masa lalu, kini menemukan apa yang penting: tetap bersatu dan berjalan bersama dalam terang Tuhan (bdk. Yes 2:5). Suatu bangsa yang akan mampu membangun kembali Yerusalem karena, jauh dari Kota Suci tempat bait suci telah hancur dan tempat liturgi yang khidmat tidak dapat lagi dirayakan, mereka telah belajar untuk berjumpa dengan Tuhan dengan cara lain: melalui pertobatan hati (bdk. Yer 4:4), melalui penerapan hukum dan keadilan, melalui kepedulian terhadap orang miskin dan membutuhkan (bdk. Yer 22:3), melalui karya belas kasih.

 

Pesan yang sama juga kita temukan, secara berbeda, dalam Bacaan Injil hari ini (bdk. Yoh 8:1-11). Di sini juga ada seorang pribadi — seorang perempuan — yang hidupnya telah hancur, bukan oleh pengasingan fisik, tetapi oleh kutukan moral. Ia adalah seorang pendosa, dan karenanya jauh dari hukum serta dikutuk untuk dikucilkan dan dibunuh. Tampaknya tidak ada harapan baginya juga. Namun, Allah tidak meninggalkannya. Bahkan, pada saat para penuduhnya siap untuk melemparinya dengan batu — tepat pada saat itu — Yesus memasuki hidupnya, membela dan menyelamatkannya dari kekerasan mereka, dengan demikian memberinya kesempatan untuk memulai hidup baru. “Pergilah,” kata Yesus kepadanya, “engkau bebas,” “engkau diselamatkan” (bdk. ayat 11).

 

Melalui kisah dramatis dan mengharukan ini, liturgi hari ini mengajak kita, di tengah perjalanan Prapaskah kita, untuk memperbarui kepercayaan kita kepada Allah, yang selalu dekat dengan kita dan siap menyelamatkan kita. Tidak ada situasi pengasingan, tidak ada kekerasan, tidak ada dosa, tidak ada kenyataan hidup yang dapat mencegah Dia berdiri di depan pintu kita dan mengetuk, siap segera masuk setelah kita membukakan pintu bagi-Nya (lih. Why 3:20). Sungguh, justru ketika pencobaan menjadi semakin sulit, kasih karunia dan cinta-Nya semakin merangkul kita untuk membangkitkan kita.

 

Saudara-saudari, kita membaca teks-teks ini saat kita merayakan Yubileum Orang Sakit dan Tenaga Kesehatan. Penyakit tentu saja merupakan salah satu cobaan hidup yang paling berat dan sulit, saat kita mengalami sendiri kelemahan manusiawi kita pada umumnya. Penyakit dapat membuat kita merasa seperti orang-orang yang diasingkan, atau seperti perempuan dalam Bacaan Injil: kehilangan harapan untuk masa depan. Namun, itu bukan persoalannya. Bahkan di masa-masa ini, Allah tidak meninggalkan kita sendirian, dan jika kita menyerahkan hidup kita kepada-Nya, justru saat kekuatan kita melemah, kita akan mampu mengalami penghiburan dari kehadiran-Nya. Dengan menjadi manusia, Ia ingin ambil bagian dalam kelemahan kita dalam segala hal (bdk. Flp. 2:6-8). Ia tahu apa artinya menderita (bdk. Yes. 53:3). Oleh karena itu, kita dapat berpaling kepada-Nya dan mempercayakan rasa sakit kita kepada-Nya, yakin bahwa kita akan menemukan belas kasih, kedekatan, dan kelembutan.

 

Namun tidak hanya itu. Dalam kasih setia-Nya, Tuhan mengundang kita untuk menjadi "malaikat" bagi satu sama lain, pembawa pesan kehadiran-Nya, sampai pada titik di mana ranjang orang sakit dapat menjadi "tempat suci" keselamatan dan penebusan, baik bagi orang sakit maupun para perawatnya.

 

Para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan yang terkasih, dalam merawat pasienmu, terutama yang paling rentan, Tuhan senantiasa memberimu kesempatan untuk memperbarui hidupmu melalui rasa syukur, belas kasih, dan harapan (bdk. Spes Non Confundit, 11). Ia memanggilmu untuk menyadari dengan kerendahan hati bahwa tidak ada hal dalam hidup yang dapat dianggap remeh dan segala sesuatu adalah karunia Allah; memperkaya hidupmu dengan rasa kemanusiaan yang kita alami ketika, di balik penampilan, hanya hal-hal yang penting yang tersisa: tanda-tanda kasih yang kecil dan besar. Biarkan kehadiran orang sakit memasuki hidupmu sebagai karunia, menyembuhkan hatimu, memurnikannya dari semua yang bukan amal kasih, dan menghangatkannya dengan api bela rasa yang membara dan lembut.

 

Saya memiliki banyak kesamaan denganmu di masa hidup saya ini, saudara-saudari terkasih yang sedang sakit: pengalaman sakit, kelemahan, harus bergantung pada orang lain dalam banyak hal, dan membutuhkan dukungan mereka. Ini tidak selalu mudah, tetapi ini adalah sekolah tempat kita belajar mengasihi setiap hari dan membiarkan diri kita dikasihi, tanpa menuntut atau menolak, tanpa penyesalan dan putus asa, tetapi dengan rasa syukur kepada Allah dan saudara-saudari kita atas kebaikan yang kita terima, menatap masa depan dengan penerimaan dan kepercayaan. Kamar rumah sakit dan ranjang orang sakit juga dapat menjadi tempat di mana kita mendengar suara Tuhan berbicara kepada kita: "Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya?" (Yes 43:19). Dengan cara ini, kita memperbarui dan memperkuat iman kita.

 

Paus Benediktus XVI — yang memberi kita kesaksian indah tentang ketenangan di masa sakitnya — menulis bahwa, “ukuran sejati kemanusiaan pada dasarnya ditentukan dalam hubungannya dengan penderitaan” dan “masyarakat yang tidak dapat menerima anggotanya yang menderita... adalah masyarakat yang kejam dan tidak manusiawi” (Spe Salvi, 38). Memang benar: menghadapi penderitaan bersama membuat kita lebih manusiawi, dan kemampuan untuk ambil bagian dalam rasa sakit orang lain merupakan langkah maju yang penting dalam setiap perjalanan kekudusan.

 

Sahabat-sahabat terkasih, janganlah kita menyingkirkan mereka yang lemah dari kehidupan kita, seperti yang kadang-kadang, sayangnya, dilakukan mentalitas tertentu saat ini. Janganlah kita menyingkirkan penderitaan dari lingkungan kita. Sebaliknya, marilah kita mengubahnya menjadi kesempatan untuk bertumbuh bersama dan menumbuhkan harapan, berkat kasih yang pertama-tama dicurahkan Allah ke dalam hati kita (bdk. Rm 5:5), kasih yang, terutama, tetap untuk selamanya (bdk. 1 Kor 13:8-10,13).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 6 April 2025)