Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XVIII (MISA YUBILEUM ORANG MUDA) 3 Agustus 2025

Bacaan Ekaristi : Pkh. 1:2; 2:21-23; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Kol. 3:1-5.9-11; Luk. 12:13-21.

 

Orang muda terkasih,

 

Setelah Doa Vigili tadi malam, kita berkumpul kembali hari ini untuk merayakan Ekaristi, sakramen pemberian diri Tuhan sepenuhnya bagi kita. Hari ini kita dapat membayangkan diri kita menelusuri kembali perjalanan yang dilakukan para murid pada malam Paskah di jalan menuju Emaus (bdk. Luk 24:13-35): mereka berangkat dari Yerusalem dengan ketakutan dan kekecewaan, yakin bahwa, setelah kematian Yesus, tidak ada lagi yang bisa diharapkan, tidak ada tempat untuk menaruh pengharapan mereka. Namun mereka kemudian menemukan-Nya di sepanjang jalan, menyambut-Nya sebagai teman seperjalanan, mendengarkan-Nya ketika Ia menjelaskan Kitab Suci, dan kemudian mengenali-Nya saat Ia memecah-mecahkan roti. Mata mereka terbuka, dan kabar penuh sukacita Paskah mendapat tempat di hati mereka.

 

Liturgi hari ini tidak secara langsung menyebut peristiwa ini, tetapi mengajak kita untuk merenungkan apa yang diceritakannya: perjumpaan dengan Kristus yang bangkit, yang mengubah rupa hidup kita dan menerangi kasih sayang, keinginan, dan pikiran kita.

 

Bacaan Pertama, yang diambil dari Kitab Pengkhotbah, mengajak kita, seperti kedua murid itu, untuk berdamai dengan pengalaman keterbatasan kita dan sifat fana dari segala sesuatu yang sekejab (bdk. Pkh. 1:2; 2:21-23). Senada dengan itu, Mazmur Tanggapan menyajikan kepada kita gambaran tentang "rumput yang akan binasa, di waktu pagi bersemi dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu" (Mzm. 90:5-6). Ini adalah dua pengingat kuat yang mungkin sedikit mengejutkan, tetapi seharusnya tidak membuat kita takut seolah-olah keduanya merupakan isu "tabu" yang harus dihindari. Kerapuhan yang dibicarakan keduanya, sesungguhnya, merupakan bagian dari keajaiban ciptaan. Bayangkan gambaran rumput: bukankah lahan bunga yang indah? Tentu saja, ia rapuh, terdiri dari batang-batang kecil yang rapuh, rentan mengering, bengkok, dan patah. Namun, di saat yang sama, bunga-bunga ini segera digantikan oleh bunga-bunga lain yang tumbuh setelahnya, diberi nutrisi dan pupuk berlimpah oleh bunga-bunga pertama saat mereka membusuk di tanah. Beginilah cara lahan ini bertahan: melalui regenerasi yang terus menerus. Bahkan selama bulan-bulan musim dingin yang menusuk tulang, ketika segalanya tampak sunyi, energinya bergejolak di bawah tanah, bersiap untuk mekar menjadi ribuan warna saat musim semi tiba.

 

Kita juga, sahabat-sahabat terkasih, diciptakan seperti ini, kita diciptakan untuk ini. Kita tidak diciptakan untuk kehidupan di mana segala sesuatunya dianggap biasa dan statis, melainkan untuk keberadaan yang terus diperbarui melalui pemberian diri dalam kasih. Inilah sebabnya kita senantiasa mendambakan sesuatu yang "lebih" yang tak dapat diberikan oleh realitas ciptaan mana pun; kita merasakan dahaga yang mendalam dan membara yang tak dapat dipuaskan oleh minuman apa pun di dunia ini. Mengetahui hal ini, janganlah kita menipu hati kita dengan mencoba memuaskannya dengan tiruan murahan! Marilah kita lebih baik mendengarkan mereka! Marilah kita ubah dahaga ini menjadi pijakan, seperti anak-anak yang berjinjit, untuk mengintip melalui jendela perjumpaan dengan Allah. Kita kemudian akan menemukan diri kita di hadapan-Nya, yang sedang menunggu kita, mengetuk lembut jendela jiwa kita (bdk. Why 3:20). Sungguh indah, terutama di usia muda, membuka lebar-lebar hati kita, memperkenankan Dia masuk, dan memulai petualangan ini bersama-Nya menuju kekekalan.

 

Santo Agustinus, merenungkan pencariannya yang mendalam akan Allah, bertanya pada dirinya sendiri: “Lalu, apa objek pengharapan kita [...]? Apakah bumi? Tidak. Apakah sesuatu yang berasal dari bumi, seperti emas, perak, pohon, tanaman, atau air [...]? Hal-hal ini menyenangkan, hal-hal ini indah, hal-hal ini baik” (Sermo 313/F, 3). Dan kesimpulan yang ia capai adalah: “Carilah Dia yang menciptakannya, Dialah pengharapanmu” (idem). Merenungkan perjalanannya sendiri, ia berdoa, katanya: “Engkau [Tuhan] ada di dalam diriku, tetapi aku ada di luar, dan di sanalah aku mencari-Mu […] Engkau memanggil, Engkau berseru, dan Engkau menembus ketulianku. Engkau bersinar, Engkau bersinar dan Engkau menghalau kebutaanku. Engkau menghembuskan keharuman-Mu kepadaku; aku menghirup napas dan sekarang aku merintih merindukan-Mu. Aku telah mengecap Engkau (bdk. Mzm 34:9; 1Ptr 2:3) sekarang aku lapar dan haus akan lebih banyak lagi (bdk. Mat 5:6; 1 Kor 4:11); Engkau menjamahku, dan aku terbakar oleh damai-Mu” (Pengakuan-pengakuan, 10, 27).

 

Saudari-saudari, kata-kata ini indah dan mengingatkan kita pada apa yang disampaikan Paus Fransiskus bagi orang muda sepertimu di Lisbon pada Hari Orang Muda Sedunia: “Kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak memiliki jawaban sederhana atau langsung, tetapi menantang kita untuk melanjutkan perjalanan, untuk bangkit melampaui diri kita serta melampaui apa yang ada di sini dan saat ini. [...] Kita dipanggil untuk sesuatu yang lebih tinggi, dan kita tidak akan pernah bisa terbang tinggi kecuali kita terbang terlebih dahulu. Maka, kita tidak perlu khawatir jika kita merasakan dahaga batin, kerinduan yang gelisah dan tak terpenuhi akan makna dan masa depan [...] Kita tidak boleh lesu, tetapi tetap hidup!” (Wejangan kepada Mahasiswa, 3 Agustus 2023).

 

Ada pertanyaan yang membara di hati kita, kebutuhan akan kebenaran yang tidak dapat kita abaikan, yang membuat kita bertanya pada diri sendiri: apa itu kebahagiaan sejati? Apa arti hidup yang sebenarnya? Apa yang dapat membebaskan kita dari jerat ketidakbermaknaan, kebosanan, dan biasa-biasa saja?

 

Dalam beberapa hari terakhir, kamu telah mengalami banyak pengalaman yang indah. Kamu telah bertemu dengan orang muda lainnya dari berbagai belahan dunia dan beragam budaya. Kamu telah bertukar pengetahuan, berbagi pengharapan, dan berdialog dengan kota melalui seni, musik, teknologi, dan olahraga. Di Circus Maximus, kamu juga menerima Sakramen Tobat dan menerima pengampunan Allah, memohon pertolongan-Nya untuk menjalani hidup yang baik.

 

Melalui semua ini, kamu dapat memahami sebuah poin penting: kepenuhan keberadaan kita tidak bergantung pada apa yang kita timbun atau, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Injil, pada apa yang kita miliki (bdk. Luk 12:13-21). Sebaliknya, kepenuhan berkaitan dengan apa yang kitaterima dan bagikan dengan sukacita (bdk. Mat 10:8-10; Yoh 6:1-13). Membeli, menimbun, dan mengonsumsi saja tidak cukup. Kita perlu menengadah, memandang ke atas, kepada "hal-hal yang di atas" (Kol 3:2), untuk menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki makna hanya sejauh hal itu berfungsi untuk mempersatukan kita dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita dalam kasih, membantu kita untuk bertumbuh dalam "belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran" (Kol 3:12), pengampunan (bdk. idem, ayat 13) dan damai sejahtera (bdk. Yoh 14:27), semuanya dalam meneladani Kristus (bdk. Flp 2:5). Dan dengan cara ini kita akan bertumbuh dalam pemahaman yang semakin dalam tentang apa artinya pengharapan yang tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (bdk. Rm 5:5).

 

Orang muda terkasih, Yesus adalah pengharapan kita. Dialah, sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II, “yang membangkitkan dalam dirimu hasrat untuk melakukan sesuatu yang besar dengan hidupmu [...] untuk berkomitmen ... memperbaiki diri dan masyarakat, menjadikan dunia semakin manusiawi dan bersaudara.” (Hari Orang Muda Sedunia XV, Doa Vigili, 19 Agustus 2000). Marilah kita tetap bersatu dengan-Nya, marilah kita tetap bersahabat dengan-Nya, senantiasa, memupuknya melalui doa, adorasi, Komuni Ekaristi, Pengakuan Dosa yang sering, dan kasih yang murah hati, mengikuti teladan Beato Piergiorgio Frassati dan Beato Carlo Acutis yang akan segera diangkat menjadi santo. Bercita-citalah untuk hal-hal yang besar, untuk kekudusan, di mana pun kamu berada. Jangan puas dengan yang kurang. Kamu akan melihat terang Injil bertumbuh setiap hari, di dalam dirimu dan di sekitarmu.

 

Saya memercayakan kalian kepada Perawan Maria, Bunda Pengharapan. Dengan pertolongannya, saat kamu kembali ke negaramu masing-masing dalam beberapa hari mendatang, di setiap belahan dunia, teruslah berjalan dengan penuh sukacita mengikuti jejak Sang Juruselamat, serta sebarkanlah antusiasme dan kesaksian imanmu kepada setiap orang yang kamu temui! Semoga perjalanan pulangmu menyenangkan!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 Agustus 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XVI DI GEREJA KATEDRAL ALBANO 20 Juli 2025

Bacaan Ekaristi : Kej. 18:1-10a; Mzm. 15:2-3ab,3cd-4ab,5; Kol. 1:24-28; Luk. 10:38-42.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini saya sangat bahagia berada di sini, di Gereja Katedral yang indah ini, untuk merayakan Ekaristi. Sebagaimana kamu ketahui, saya seharusnya berada di sini pada tanggal 12 Mei, tetapi Roh Kudus bekerja dengan cara yang berbeda. Namun, saya sungguh senang berada bersamamu serta dalam semangat persaudaraan dan sukacita kristiani, saya menyapa kamu semua yang hadir di sini, Yang Mulia, serta para uskup Keuskupan, dan para pemimpin yang hadir.

 

Dalam Misa ini, baik Bacaan Pertama maupun Bacaan Injil mengajak kita untuk merenungkan keramahtamahan, pelayanan, dan mendengarkan (bdk. Kej 18:1-10; Luk 10:38-42).

 

Pertama, Allah mengunjungi Abraham dalam sosok "tiga orang" yang tiba di kemahnya "pada saat hari panas terik" (bdk. Kej 18:1-2). Adegannya mudah dibayangkan: cahaya matahari yang menyengat, keheningan padang gurun, panas terik, dan ketiga orang asing yang mencari perlindungan. Abraham duduk "di pintu kemahnya," posisi tuan rumah, dan sungguh menggugah melihat bagaimana ia menjalankan peran ini. Menyadari kehadiran Allah dalam diri para tamu, ia bangkit, berlari menyongsong mereka, dan bersujud sampai ke tanah memohon agar mereka tetap tinggal. Dengan demikian, seluruh adegan menjadi hidup. Keheningan senja dipenuhi dengan gestur kasih yang tidak hanya melibatkan Sang Bapa Bangsa, tetapi juga istrinya, Sara, dan para hamba. Abraham tidak lagi duduk, tetapi berdiri “di bawah pohon di dekat mereka” (Kej 18:8), dan di sanalah Allah memberinya kabar terbaik yang mungkin ia harapkan: “Sara, istrimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki” (Kej 18:10).

 

Dinamika perjumpaan ini membawa kita untuk merenungkan bagaimana Allah memilih jalan keramahtamahan untuk masuk ke dalam kehidupan Sara dan Abraham serta menyampaikan bahwa mereka akan memiliki seorang anak, yang telah lama mereka dambakan meski mereka telah putus asa. Setelah mengunjungi mereka sebelumnya dalam banyak momen penuh rahmat, Allah kembali mengetuk pintu mereka, memohon keramahtamahan dan kepercayaan. Pasutri yang telah lanjut usia itu menanggapi dengan positif, meskipun belum memahami apa yang akan terjadi. Mereka menyadari berkat dan kehadiran Allah dalam diri para tamu misterius itu, dan menawarkan apa yang mereka miliki: makanan, kebersamaan, pelayanan, dan naungan pohon. Sebagai balasannya, mereka menerima janji kehidupan baru dan keturunan.

 

Meskipun situasinya berbeda, Bacaan Injil juga mengajarkan kita tentang cara Allah bertindak. Di sini pun, Yesus menampakkan diri sebagai tamu di rumah Marta dan Maria. Namun, kali ini, Ia bukanlah orang asing: Ia datang ke rumah sahabat-sahabat-Nya di tengah suasana pesta. Salah satu saudari menyambut-Nya dengan melayani-Nya, sementara yang lain duduk di kaki-Nya, mendengarkan seperti seorang murid mendengarkan gurunya. Sebagaimana kita ketahui, Yesus menanggapi keluhan saudari pertama yang membutuhkan bantuan untuk tugas-tugas yang ada dengan mengajaknya untuk menyadari pentingnya mendengarkan (bdk. Luk 10:41-42).

 

Akan tetapi, tidaklah tepat jika kita menganggap kedua sikap ini saling eksklusif, atau membandingkan jasa kedua perempuan ini. Melayani dan mendengarkan, sesungguhnya, merupakan dimensi kembar dari keramahtamahan.

 

Hubungan kita dengan Allah adalah yang utama. Meskipun benar bahwa kita harus menghidupi iman kita melalui tindakan nyata, dengan setia menjalankan tugas kita sesuai dengan status hidup dan panggilan kita, penting bagi kita untuk melakukannya hanya setelah merenungkan Sabda Allah dan mendengarkan apa yang dikatakan Roh Kudus dalam hati kita. Untuk tujuan ini, kita hendaknya menyisihkan saat-saat hening, saat-saat doa, saat-saat di mana, dengan meredam kebisingan dan gangguan, kita merenungkan diri kita di hadapan Allah dalam kesederhanaan hati. Inilah dimensi kehidupan kristiani yang khususnya perlu kita pulihkan saat ini, baik sebagai nilai bagi individu maupun komunitas, maupun sebagai tanda kenabian bagi zaman kita. Kita harus menyediakan ruang untuk hening, untuk mendengarkan Bapa yang berbicara dan "melihat yang tersembunyi" (Mat. 6:6). Musim panas dapat menjadi waktu yang tepat untuk mengalami keindahan dan pentingnya hubungan kita dengan Allah, dan betapa hal itu dapat membantu kita menjadi lebih terbuka, lebih ramah terhadap orang lain.

 

Selama musim panas, kita memiliki lebih banyak waktu luang untuk berpikir dan merenung, serta bepergian dan menghabiskan waktu bersama. Marilah kita manfaatkan waktu ini sebaik-baiknya, dengan meninggalkan hiruk-pikuk komitmen dan kekhawatiran untuk menikmati sejenak kedamaian, refleksi, dan meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat lain serta ambil bagian dalam sukacita bertemu orang lain — seperti yang saya lakukan di sini hari ini. Marilah kita jadikan musim panas sebagai kesempatan untuk peduli terhadap sesama, saling mengenal, dan menawarkan nasihat serta mendengarkan, karena semua itu adalah ungkapan kasih, dan itulah yang kita semua butuhkan. Marilah kita melakukannya dengan berani. Dengan demikian, melalui solidaritas, dalam berbagi iman dan kehidupan, kita akan membantu mempromosikan budaya damai, membantu orang-orang di sekitar kita mengatasi perpecahan dan permusuhan, serta membangun persekutuan antarindividu, bangsa, dan agama.

 

Paus Fransiskus berkata, “Jika kita ingin menikmati hidup dengan sukacita, kita harus mengaitkan dua pendekatan ini: di satu sisi, ‘berada di kaki’ Yesus, untuk mendengarkan-Nya saat Ia menyingkapkan rahasia segala sesuatu kepada kita; di sisi lain, bersikap penuh perhatian dan siap sedia dalam keramahtamahan, ketika Ia lewat dan mengetuk pintu kita, dengan wajah seorang sahabat yang membutuhkan waktu istirahat dan persaudaraan” (Doa Malaikat Tuhan, 21 Juli 2019). Kata-kata ini diucapkan hanya beberapa bulan sebelum pandemi melanda; pengalaman panjang dan sulit itu, yang masih kita ingat, mengajarkan kita banyak hal tentang kebenarannya.

 

Tentu saja semua ini membutuhkan usaha. Melayani dan mendengarkan tidak selalu mudah; keduanya membutuhkan kerja keras dan kemampuan untuk berkorban. Misalnya, dibutuhkan usaha dalam mendengarkan dan melayani agar dapat menjadi ibu dan ayah yang setia dan penuh kasih dalam membesarkan keluarga, demikian juga dibutuhkan usaha bagi anak-anak untuk menanggapi kerja keras orang tua mereka di rumah dan di sekolah. Juga dibutuhkan usaha untuk saling memahami ketika terjadi perselisihan, mengampuni ketika seseorang berbuat salah, menolong ketika seseorang sakit, dan saling menghibur di saat sedih. Namun, justru dengan berusaha, sesuatu yang berharga dapat dibangun dalam hidup; itulah satu-satunya cara untuk membentuk dan memelihara hubungan yang kuat dan tulus antarmanusia. Dengan demikian, dengan fondasi kehidupan sehari-hari, Kerajaan Allah bertumbuh dan menyatakan kehadirannya (bdk. Luk 7:18-22).

 

Santo Agustinus, merenungkan kisah Marta dan Maria dalam salah satu homilinya, berkata: “Kedua perempuan ini melambangkan dua kehidupan: masa kini dan masa depan; kehidupan yang dijalani dengan jerih payah dan kehidupan yang penuh ketenangan; yang satu penuh masalah dan yang lainnya penuh berkat; yang satu sementara, yang lainnya abadi” (Khotbah 104, 4). Dan merenungkan pekerjaan Marta, Agustinus berkata, “Siapakah yang terbebas dari kewajiban merawat sesama? Siapakah yang dapat beristirahat dari tugas-tugas ini? Marilah kita berusaha melaksanakannya dengan kasih dan sedemikian rupa sehingga tak seorang pun akan dapat menemukan kesalahan pada kita... Kelelahan akan berlalu dan ketenangan akan datang, tetapi ketenangan hanya akan datang melalui usaha yang dilakukan. Perahu akan berlayar dan mencapai tanah airnya; tetapi tanah air tidak akan tercapai kecuali melalui perahu” (idem, 6-7).

 

Hari ini, Abraham, Marta, dan Maria mengingatkan kita bahwa mendengarkan dan melayani adalah dua sikap yang saling melengkapi yang memampukan kita untuk membuka diri dan hidup kita bagi berkat-berkat Tuhan. Teladan mereka mengajak kita untuk menyelaraskan kontemplasi dan tindakan, istirahat dan kerja keras, keheningan dan kesibukan hidup kita sehari-hari dengan kebijaksanaan dan keseimbangan, senantiasa menjadikan kasih Yesus sebagai ukuran kita, Sabda-Nya sebagai terang kita, dan anugerah-Nya sebagai sumber kekuatan kita, yang menopang kita melampaui batas kemampuan kita (bdk. Flp. 4:13).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Juli 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XV DI PAROKI KEPAUSAN SANTO THOMAS DARI VILLANOVA (CASTEL GANDOLFO) 13 JulI 2025

Bacaan Ekaristi : Ul. 30:10-14; Mzm. 69:14,17,30-31,33-34,36ab,37 atau Mzm. 19:8,9,10,11; Kol. 1:15-20; Luk. 10:25-37.

 

Saudara-saudari,

 

Saya bersukacita merayakan Ekaristi ini bersamamu. Saya menyapa semua yang hadir, komunitas paroki, para imam, dan yang mulia, para uskup keuskupan, serta para pejabat sipil dan militer.

 

Dalam Injil hari Minggu ini, kita telah mendengar salah satu perumpamaan Yesus yang paling indah dan menggerakkan. Kita semua tahu perumpamaan tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Luk 10:25-37).

 

Perumpamaan itu senantiasa menantang kita untuk merenungkan hidup kita sendiri. Perumpamaan itu menyusahkan hati nurani kita yang terlena atau terganggu, dan memperingatkan kita tentang risiko iman yang berpuas diri, yang puas dengan ketaatan lahiriah terhadap Hukum Taurat tetapi tidak mampu merasakan dan bertindak dengan belas kasihan yang murah hati seperti Allah.

 

Perumpamaan itu sesungguhnya tentang belas kasihan. Memang, kisah Injil berbicara tentang belas kasihan yang menggerakkan seorang Samaria untuk bertindak, tetapi pertama-tama kisah itu berbicara tentang bagaimana orang lain memandang orang yang terluka yang tergeletak di pinggir jalan setelah diserang penyamun. Kita diberitahu bahwa ketika seorang imam dan seorang Lewi "melihat orang itu, ia melewatinya" (ayat 32). Namun, tentang orang Samaria itu, Bacaan Injil mengatakan, "Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan" (ayat 33).

 

Saudara-saudari terkasih, cara kita memandang orang lainlah yang terpenting, karena itu menunjukkan isi hati kita. Kita bisa melihat dan melewati begitu saja, atau kita bisa melihat dan tersentuh oleh belas kasihan. Ada jenis cara melihat yang dangkal, teralihkan, dan tergesa-gesa, cara melihat sambil berpura-pura tidak melihat. Kita bisa melihat tanpa tersentuh atau tertantang oleh penglihatan itu. Lalu, ada pula cara melihat dengan mata hati, melihat lebih dekat, berempati dengan orang lain, ambil bagian dalam pengalamannya, membiarkan diri kita tersentuh dan tertantang. Cara melihat ini mempertanyakan cara kita menjalani hidup dan tanggung jawab yang kita rasakan terhadap orang lain.

 

Perumpamaan ini berbicara kepada kita pertama-tama tentang cara Allah memandang kita, sehingga kita pada gilirannya dapat belajar bagaimana melihat situasi dan orang-orang dengan mata-Nya, yang penuh kasih dan belas kasihan. Orang Samaria yang murah hati sungguh merupakan gambaran Yesus, Putra kekal yang diutus Bapa ke dalam sejarah kita justru karena Ia memandang umat manusia dengan belas kasihan dan tidak melewati begitu saja. Seperti orang dalam Bacaan Injil yang turun dari Yerusalem ke Yerikho, umat manusia sedang terjerumus ke jurang kematian; di zaman kita juga, kita harus menghadapi kegelapan kejahatan, penderitaan, kemiskinan, dan teka-teki kematian. Namun, Allah telah memandang kita dengan belas kasihan; Ia ingin menapaki jalan yang sama dan turun di antara kita. Dalam diri Yesus, Orang Samaria yang murah hati, Ia datang untuk menyembuhkan luka-luka kita serta mencurahkan balsem kasih dan kemurahhatian-Nya kepada kita.

 

Paus Fransiskus, yang sering mengingatkan kita bahwa Allah adalah kemurahan hati dan belas kasihan, pernah menyebut Yesus sebagai "belas kasihan Bapa kepada kita" (Doa Malaikat Tuhan, 14 Juli 2029). Santo Agustinus memberitahu kita bahwa, sebagai Orang Samaria yang murah hati yang datang menolong kita, Yesus "ingin dikenal sebagai sesama kita. Sungguh, Tuhan Yesus Kristus menyadarkan kita bahwa Dialah yang peduli kepada orang yang hampir meninggal karena dipukuli para penyamun dan ditinggalkan di pinggir jalan (De Doctrina Christiana, I, 30.33).

 

Maka, kita dapat memahami mengapa perumpamaan ini begitu menantang bagi kita masing-masing. Jika Kristus menunjukkan kepada kita wajah Allah yang penuh belas kasihan, maka percaya kepada-Nya dan menjadi murid-Nya berarti membiarkan diri kita diubah dan memiliki perasaan yang sama seperti Dia. Itu berarti belajar memiliki hati yang tergerak, mata yang melihat dan tak berpaling, tangan yang membantu orang lain dan menyembuhkan luka mereka, bahu yang memikul beban mereka yang membutuhkan.

 

Dalam Bacaan Pertama hari ini, kita mendengar perkataan Musa, yang memberitahu kita bahwa menaati perintah-perintah Tuhan serta mengarahkan pikiran dan hati kita kepada-Nya tidak berarti memperbanyak tindakan lahiriah, melainkan melihat ke dalam hati kita dan menemukan bahwa di sanalah Allah telah menuliskan hukum kasih-Nya. Jika kita menyadari jauh di lubuk hati bahwa Kristus, Orang Samaria yang murah hati, mengasihi kita dan peduli kepada kita, kita juga akan tergerak untuk mengasihi dengan cara yang sama dan menjadi penuh belas kasihan seperti Dia. Setelah kita disembuhkan dan dikasihi oleh Kristus, kita juga dapat menjadi saksi kasih dan belas kasihan-Nya di dunia kita.

 

Saudara-saudari, hari ini kita membutuhkan "revolusi kasih" ini. Hari ini, jalan yang membentang dari Yerusalem ke Yerikho adalah jalan yang dilalui oleh semua orang yang jatuh ke dalam dosa, penderitaan, dan kemiskinan. Jalan yang dilalui oleh semua orang yang terbebani oleh masalah atau terluka oleh kehidupan. Jalan yang dilalui oleh semua orang yang jatuh, kehilangan arah, dan mencapai titik terendah. Jalan yang dilalui oleh semua orang yang dilucuti, dirampok, dan dijarah, korban sistem politik tirani, ekonomi yang memaksa mereka jatuh miskin, dan perang yang menghancurkan impian dan kehidupan mereka.

 

Apa yang kita lakukan? Apakah kita hanya melihat dan berjalan melewati, atau apakah kita membuka hati kita kepada orang lain, seperti orang Samaria itu? Apakah kita terkadang hanya puas melakukan tugas kita, atau menganggap sebagai sesama kita hanya mereka yang merupakan bagian dari kelompok kita, yang berpikir seperti kita, yang memiliki kebangsaan atau agama yang sama dengan kita? Yesus menjungkirbalikkan cara berpikir ini dengan menyajikan dirinya kepada kita sebagai seorang Samaria, orang asing atau orang yang tidak seagama, yang bertindak sebagai sesama bagi orang yang terluka itu. Dan Ia meminta kita melakukan hal yang sama.

 

Orang Samaria, tulis Benediktus XVI, “tidak bertanya sejauh mana kewajiban solidaritasnya. Ia juga tidak bertanya tentang jasa yang dibutuhkan untuk kehidupan kekal. Sesuatu yang lain terjadi: hatinya terluka... Jika diajukan pertanyaan ‘Apakah orang Samaria juga sesamaku?’ kepadanya, ia pasti menjawab tidak, mengingat situasi saat itu. Namun Yesus kini membalikkan seluruh masalah: orang Samaria, orang asing itu, menjadikan dirinya sesama dan menunjukkan kepada saya bahwa saya harus belajar menjadi sesama di lubuk hati dan bahwa saya sudah memiliki jawabannya dalam diri saya. Saya harus menjadi seperti seseorang yang sedang jatuh cinta, seseorang yang hatinya terbuka diguncang oleh kebutuhan orang lain” (Yesus dari Nazaret, 197).

 

Memandang tanpa berjalan, menghentikan laju kehidupan kita yang sangat menggelisahkan, membiarkan kehidupan orang lain, siapa pun mereka, dengan kebutuhan dan masalah mereka, menyentuh hati kita. Itulah yang menjadikan kita sesama bagi satu sama lain, yang melahirkan persaudaraan sejati dan meruntuhkan tembok serta penghalang. Pada akhirnya, kasih menang, dan terbukti lebih berkuasa daripada kejahatan dan maut.

 

Sahabat-sahabat terkasih, marilah kita memandang Kristus, Orang Samaria yang murah hati. Marilah kita mendengarkan kembali suara-Nya hari ini. Karena Ia berkata kepada kita masing-masing, "Pergilah dan perbuatlah demikian" (ayat 37).

 

[Kata-kata Bapa Suci di akhir Misa Kudus]

 

Pada saat ini, saya ingin mempersembahkan sebuah hadiah kecil kepada pastor paroki kepausan ini, untuk mengenang perayaan kita hari ini. Patena dan sibori yang kita gunakan untuk merayakan Ekaristi adalah sarana persekutuan, dan keduanya dapat menjadi undangan bagi kita semua untuk hidup dalam persekutuan, dan sungguh-sungguh mengembangkan persaudaraan ini, persekutuan yang kita hidupi dalam Yesus Kristus ini.

_____________________

(Peter Suriadi - Bogor, 13 Juli 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PEDULI CIPTAAN DI BORGO LAUDATO SI’, CASTEL GANDOLFO 9 Juli 2025

Bacaan Ekaristi : Kol. 1:15-20, Mzm. 103:1-2a.5-6.10.12.24.35c; Mat 8:23-27.

 

Pada hari yang indah ini, pertama-tama saya ingin mengajak semua orang, dimulai dari diri saya sendiri, untuk mengalami apa yang sedang kita rayakan dalam keindahan sebuah katedral yang dapat kita sebut "alami", dengan berbagai tanaman dan begitu banyak unsur ciptaan yang telah mengumpulkan kita di sini untuk merayakan Ekaristi, yang berarti mengucap syukur kepada Tuhan.

 

Ada berbagai alasan untuk Ekaristi mengucap syukur kepada Tuhan ini: perayaan ini dapat menjadi rumusan baru pertama untuk Misa Kudus peduli ciptaan, yang juga merupakan hasil kerja beberapa dikasteri Vatikan.

 

Secara pribadi, saya mengucapkan terima kasih kepada banyak orang yang hadir di sini yang telah bekerja dalam hal ini untuk liturgi. Sebagaimana kamu ketahui, liturgi melambangkan kehidupan, dan kamu adalah kehidupan Pusat Laudato Si’ ini. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepadamu pada saat ini, pada kesempatan ini, atas semua yang kamu lakukan, mengikuti inspirasi yang indah dari Paus Fransiskus, yang menyumbangkan ruang kecil ini, taman-taman ini, untuk melanjutkan misi yang sangat penting yang, sepuluh tahun setelah penerbitan Laudato Si’, terus mengingatkan kita akan perlunya peduli ciptaan, rumah kita bersama.

 

Di sini kita berada seperti di gereja-gereja kuno pada abad-abad awal, di mana seseorang harus melewati kolam pembaptisan untuk memasuki gereja. Saya tidak ingin dibaptis dalam air ini ... tetapi simbol melewati air, dibersihkan dari dosa-dosa dan kelemahan kita untuk memasuki misteri agung Gereja, adalah sesuatu yang juga kita jalani hari ini. Pada awal Misa, kita berdoa untuk pertobatan, pertobatan kita. Saya ingin menambahkan bahwa kita harus berdoa untuk pertobatan begitu banyak orang, di dalam dan di luar Gereja, yang masih belum menyadari kemendesakan untuk merawat rumah kita bersama.

 

Begitu banyak bencana alam yang masih kita saksikan di seluruh dunia, hampir setiap hari, di begitu banyak tempat dan negara, sebagian disebabkan oleh gaya hidup dan perilaku manusia yang berlebihan. Itulah sebabnya kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita sedang mengalami pertobatan ini. Betapa kita membutuhkannya!

 

Karena itu, saya juga telah mempersiapkan homili, yang akan saya bagikan sekarang. Saya mohon kamu sedikit bersabar: homili ini mengandung beberapa unsur yang sungguh membantu kita untuk terus merenungkan pagi ini, berbagi momen yang akrab dan tenteram ini, di tengah dunia yang sedang terbakar, baik akibat pemanasan global maupun pertikaian bersenjata. Hal ini membuat pesan Paus Fransiskus dalam ensikliknya Laudato Si’ dan Fratelli Tutti semakin relevan. Kita dapat mengenali diri kita dalam Bacaan Injil yang telah kita dengar ini, merenungkan ketakutan para murid di tengah angin ribut, ketakutan yang juga dialami oleh sebagian besar umat manusia. Namun, di hati Tahun Yubileum, kita mengakui— dan kita dapat mengulanginya berkali-kali — ada pengharapan! Kita telah menemukannya di dalam Yesus. Ia terus meredakan angin ribut. Kuasa-Nya tidak menghancurkan, tetapi menciptakan; Ia tidak menghancurkan, tetapi memberi kehidupan baru. Dan kita pun bertanya pada diri kita sendiri: "Orang seperti apa Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" (Mat 8:27).

 

Keajaiban yang terungkap dalam pertanyaan ini adalah langkah pertama yang menuntun kita melampaui rasa takut. Yesus hidup dan berdoa di sekitar Danau Galilea. Di sana, Ia memanggil murid-murid-Nya yang pertama ke tempat-tempat kehidupan dan pekerjaan mereka. Perumpamaan yang Ia gunakan untuk mewartakan Kerajaan Allah mengungkapkan hubungan yang mendalam dengan tanah itu, dengan air itu, dengan irama musim, dan dengan kehidupan ciptaan.

 

Penginjil Matius menggambarkan angin ribut sebagai "gempa bumi" (ia menggunakan kata seismós), istilah yang sama yang akan ia gunakan untuk gempa bumi pada saat kematian Yesus dan pada fajar kebangkitan-Nya. Di atas pergolakan ini, Kristus bangkit, berdiri: di sini Bacaan Injil sudah menunjukkan kepada kita Tuhan yang bangkit, hadir dalam sejarah kita yang penuh gejolak. Hardikan yang disampaikan Yesus kepada angin dan danau menunjukkan kuasa hidup dan keselamatan-Nya, yang menguasai kekuatan-kekuatan itu yang di hadapannya ciptaan merasa kehilangan.

 

Marilah kita bertanya lagi kepada diri kita sendiri: "Orang seperti apa Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" (Mat 8:27). Madah pujian dari Surat kepada Jemaat di Kolose yang telah kita dengar tampaknya menjawab pertanyaan ini: "Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama daripada segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi" (Kol 1:15-16). Para murid, pada hari itu, di tengah badai, belum dapat mengakui pengetahuan tentang Yesus ini. Hari ini kita, dalam iman yang telah kita terima, dapat melanjutkan: "Dialah kepala tubuh, yaitu gereja. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu" (ayat 18). Ini adalah kata-kata yang mengikat kita sepanjang sejarah, yang menjadikan kita tubuh yang hidup, yang kepalanya adalah Kristus. Misi kita untuk melindungi ciptaan, mendatangkan kedamaian dan rekonsiliasi, adalah misi-Nya: misi yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita. Kita mendengar jeritan bumi, kita mendengar jeritan orang miskin, karena jeritan itu telah mencapai hati Allah. Kemarahan kita adalah kemarahan-Nya, pekerjaan kita adalah pekerjaan-Nya.

 

Nyanyian pemazmur memberi inspirasi kepada kita: "Suara Tuhan di atas air, Allah yang mulia mengguntur, Tuhan di atas air yang besar. Suara Tuhan penuh kekuatan, suara Tuhan penuh semarak" (Mzm 29:3-4). Suara ini membuat Gereja berkomitmen untuk bernubuat, bahkan saat ia menuntut keberanian untuk menentang kekuatan menghancurkan para penguasa dunia ini. Perjanjian yang tidak dapat dihancurkan antara Sang Pencipta dan ciptaan menggerakkan pikiran dan upaya kita untuk mengubah kejahatan menjadi kebaikan, ketidakadilan menjadi keadilan, dan keserakahan menjadi persekutuan.

 

Dengan kasih yang tak terbatas, Allah yang esa menciptakan segala sesuatu, memberi kita kehidupan: inilah sebabnya Santo Fransiskus dari Asisi menyebut ciptaan sebagai saudara, saudari, dan ibu. Hanya tatapan kontemplatif yang dapat mengubah hubungan kita dengan ciptaan dan menyelamatkan kita dari krisis ekologis, yang disebabkan oleh putusnya hubungan dengan Allah, sesama, dan bumi, yang disebabkan oleh dosa (bdk. Paus Fransiskus, Laudato Si’, 66).

 

Saudara-saudari terkasih, Borgo Laudato Si’, tempat kiita berada, bertujuan untuk dijadikan, sesuai intuisi Paus Fransiskus, sebuah "laboratorium" tempat kita dapat menghidupi harmoni dengan ciptaan yang bagi kita merupakan penyembuhan dan rekonsiliasi, mengembangkan cara-cara baru dan efektif untuk menjaga alam yang dipercayakan kepada kita. Kepadamu, yang dengan penuh dedikasi mendedikasikan diri untuk mewujudkan proyek ini, saya memastikan doa dan dorongan saya.

 

Ekaristi yang sedang kita rayakan memberi makna dan menopang pekerjaan kita. Sebagaiman ditulis Paus Fransiskus, “Dalam Ekaristi, dunia ciptaan menemukan keagungannya yang terbesar. Anugerah yang biasanya menyatakan diri secara konkret, diungkapkan secara luar biasa ketika Allah yang telah menjadi manusia, menjadikan diri-Nya santapan bagi makhluk ciptaan-Nya. Tuhan, pada puncak misteri Inkarnasi, hendak menggapai lubuk hati kita melalui sepotong materi; bukan dari atas tapi dari dalam, sehingga kita dapat menjumpai-Nya dalam dunia kita sendiri.” (Paus Fransiskus, Laudato Si’, 236). Dari tempat ini saya ingin mengakhiri refleksi ini, memercayakan kepadamu kata-kata yang dengannya Santo Agustinus, di halaman terakhir "Pengakuan-pengakuan"-nya, mengaitkan segenap ciptaan dan manusia dalam pujian kosmis: “Karya-karya-Mu memuji Engkau sehingga kami dapat menngasihi-Mu, dan kami mengasihi-Mu sehingga karya-karya-Mu memuji Engkau” (Pengakuan-pengakuan, XIII, 33, 48). Semoga ini menjadi harmoni yang kita sebarkan ke seluruh dunia.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 10 Juli 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SANTO PETRUS DAN SANTO PAULUS 29 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat. 16:13-19.


Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan dua saudara seiman, Petrus dan Paulus, yang kita hormati sebagai pilar Gereja dan junjung tinggi sebagai santo pelindung Keuskupan dan Kota Roma.


Kisah kedua Rasul ini menyampaikan banyak hal kepada kita, komunitas murid-murid Tuhan, saat kita menjalani perziarahan kita di dunia saat ini. Setelah merenungkannya, saya ingin menekankan dua aspek khusus iman mereka: persekutuan gerejawi dan vitalitas iman.

 

Pertama, persekutuan gerejawi. Liturgi hari ini mengingatkan kita bagaimana Petrus dan Paulus dipanggil untuk ambil bagian dalam nasib yang sama, yaitu kemartiran, yang secara definitif mempersatukan mereka dengan Kristus. Dalam Bacaan Pertama, kita melihat Petrus mendekam di dalam penjara sambil menanti keputusan pengadilan (bdk. Kis 12:1-11). Dalam Bacaan Kedua, Rasul Paulus, yang juga dirantai, memberitahu kita, dalam semacam wasiat terakhir, bahwa darahnya akan segera dicurahkan dan dipersembahkan kepada Allah (bdk. 2Tim 4:6-8,17-18). Petrus dan Paulus sama-sama siap mengorbankan nyawa mereka demi Injil.

 

Namun persekutuan kedua Rasul dalam satu pengakuan iman ini merupakan kesimpulan dari perjalanan panjang di mana masing-masing memeluk iman dan menjalani kerasulannya dengan caranya sendiri. Persaudaraan mereka dalam Roh tidak meniadakan perbedaan latar belakang mereka. Simon adalah seorang nelayan dari Galilea, sementara Saulus berpendidikan tinggi dan anggota kelompok Farisi. Petrus segera meninggalkan segalanya untuk mengikuti Tuhan, sementara Paulus menganiaya orang-orang kristiani sebelum perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit mengubah hidupnya. Petrus berkhotbah terutama kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus terdorong untuk membawa Kabar Baik kepada orang-orang bukan Yahudi.

 

Sebagaimana kita ketahui, keduanya berselisih pendapat tentang cara yang tepat untuk menghadapi orang-orang bukan Yahudi yang bertobat, sedemikian rupa sehingga Paulus memberitahu kita bahwa, "ketika Kefas datang ke Antiokhia, aku terang-terangan menentangnya, sebab ia salah" (Gal 2:11). Dalam Konsili Yerusalem, kedua Rasul itu kembali memperdebatkan masalah tersebut.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kisah Petrus dan Paulus menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan memanggil kita untuk mengikuti persekutuan yang berupa kesesuaian antara ucapan dan kepribadian yang tidak meniadakan kebebasan siapa pun. Kedua santo pelindung kita mengikuti jalan yang berbeda, memiliki gagasan yang berbeda dan kadang-kadang saling berdebat dengan keterusterangan injili. Namun, ini tidak menghalangi mereka untuk menjalani concordia apostolorum, yaitu, persekutuan yang hidup dalam Roh, keselarasan yang berbuah dalam keberagaman. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, “pesta kedua Rasul itu dirayakan pada satu hari. Keduanya juga satu. Karena meskipun keduanya menjadi martir pada hari yang berbeda, keduanya satu” (Khotbah 295, 7.7).

 

Semua ini mengajak kita untuk merenungkan hakikat persekutuan gerejawi. Dibangkitkan oleh inspirasi Roh Kudus, persekutuan itu menyatukan perbedaan dan membangun jembatan persatuan berkat kekayaan berragam karisma, karunia, dan pelayanan. Penting bagi kita untuk belajar mengalami persekutuan dengan cara ini — sebagai kesatuan dalam keberagaman — sehingga berbagai karunia, yang disatukan dalam satu pengakuan iman, dapat mengembangkan pewartaan Injil. Kita dipanggil untuk bertekun di sepanjang jalan ini, mengikuti teladan Petrus dan Paulus, karena kita semua membutuhkan persaudaraan semacam itu. Seluruh Gereja membutuhkan persaudaraan, yang harus hadir dalam semua hubungan kita, baik antara kaum awam dan para imam, para imam dan para uskup, para uskup dan Paus. Persaudaraan juga dibutuhkan dalam pelayanan pastoral, dialog ekumenis, dan hubungan persahabatan yang ingin dipertahankan Gereja dengan dunia. Oleh karena itu, marilah kita berupaya mengubah perbedaan kita menjadi tempat kerja persatuan dan persekutuan, persaudaraan dan rekonsiliasi, sehingga setiap orang dalam Gereja, masing-masing dengan sejarah pribadinya, dapat belajar untuk berjalan berdampingan.

 

Santo Petrus dan Santo Paulus juga menantang kita untuk berpikir tentang vitalitas iman kita. Dalam kehidupan kita sebagai murid, kita selalu dapat berisiko jatuh ke dalam kebiasaan, rutinitas, kecenderungan untuk mengikuti rencana pastoral lama yang sama tanpa mengalami pembaruan batin dan kemauan untuk menanggapi tantangan baru. Namun, kedua Rasul itu dapat menginspirasi kita melalui teladan keterbukaan mereka terhadap perubahan, terhadap peristiwa baru, perjumpaan, dan situasi nyata dalam kehidupan komunitas mereka, dan melalui kesiapan mereka untuk mempertimbangkan pendekatan baru terhadap penginjilan dalam menanggapi masalah dan kesulitan yang diajukan oleh saudara-saudari seiman kita.

 

Inti Bacaan Injil hari ini adalah pertanyaan yang diajukan Yesus kepada para murid-Nya. Hari ini, Ia mengajukan pertanyaan yang sama kepada kita, menantang kita untuk memeriksa apakah kehidupan iman kita tetap berenergi dan bersemangat, serta apakah api hubungan kita dengan Tuhan masih menyala terang: "Menurutmu, siapakah Aku ini?" (Mat 16:15).

 

Setiap hari, di setiap momen dalam sejarah, kita harus selalu mengingat pertanyaan ini. Jika kita ingin menjaga jatidiri kita sebagai orang kristiani agar tidak terpuruk menjadi peninggalan masa lalu, sebagaimana sering diingatkan Paus Fransiskus, melangkah maju melampaui iman yang lelah dan stagnan penting. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: Siapakah Yesus Kristus bagi kita saat ini? Di mana tempat yang ditempati-Nya dalam kehidupan kita dan dalam kehidupan Gereja? Bagaimana kita dapat memberi kesaksian tentang pengharapan ini dalam kehidupan kita sehari-hari dan mewartakannya kepada orang-orang yang kita jumpai?

 

Saudara-saudari, penerapan pembedaan roh yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat memampukan iman kita dan iman Gereja untuk terus diperbarui dan menemukan jalan-jalan baru serta pendekatan-pendekatan baru untuk mewartakan Injil. Hal ini, bersama dengan persekutuan, harus menjadi keinginan kita yang terbesar. Hari ini saya ingin berbicara kepada Gereja di Roma khususnya, karena Gereja terutama dipanggil untuk menjadi tanda kesatuan dan persekutuan, Gereja yang berapi-api dengan iman yang hidup, komunitas para murid yang memberi kesaksian tentang sukacita dan penghiburan Injil di mana pun mereka berada.

 

Seraya kehidupan Santo Petrus dan Santo Paulus mengajak kita untuk mengembangkan sukacita persekutuan, saya menyapa saudara-saudara para uskup agung yang hari ini menerima pallium. Saudara-saudara terkasih, tanda tanggung jawab pastoral yang dipercayakan kepadamu ini juga mengungkapkan persekutuanmu dengan Uskup Roma, sehingga dalam kesatuan iman Katolik, kamu masing-masing dapat membangun persekutuan itu dalam Gereja-gereja lokalmu.

 

Saya juga ingin menyapa para anggota Sinode Gereja Katolik Yunani Ukraina. Saya berterima kasih atas kehadiranmu di sini dan atas semangat pastoralmu. Semoga Tuhan menganugerahkan kedamaian bagi umatmu!

 

Dan dengan rasa syukur yang mendalam, saya menyapa Delegasi Patriarkat Ekumenis, yang diutus ke sini oleh saudara saya terkasih, Yang Mulia Bartolomeus.

 

Saudara-saudari terkasih, dikuatkan oleh kesaksian rasul kudus Petrus dan Paulus, marilah kita berjalan bersama dalam iman dan persekutuan serta memohon pengantaraan mereka bagi diri kita sendiri, kota Roma, Gereja, dan seluruh dunia.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHA KUDUS (YUBILEUM IMAM) 27 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Yeh 34:11-16; Mzm 23:1-3a,3b-4,5,6; Rm. 5:5b-11; Luk. 15:3-7.

 

Hari ini, Hari Raya Hati Yesus Yang Maha Kudus, Hari Doa untuk Pengudusan Para Imam, kita merayakan Ekaristi ini dengan penuh sukacita sebagai bagian dari Yubileum Imam.

 

Sebelumnya, saudara-saudara para imam terkasih, saya ingin menyampaikan sepatah kata kepadamu, yang telah melewati Pintu Suci untuk berdoa di makam Rasul Petrus serta sekali lagi membenamkan busana baptis dan imamatmu ke dalam hati Sang Juruselamat. Bagi sebagian dari kamu, ini terjadi pada hari yang unik dalam hidupmu: hari tahbisanmu.

 

Berbicara tentang hati Kristus dalam konteks ini berarti merenungkan seluruh misteri penjelmaan, wafat, dan kebangkitan Tuhan, yang dipercayakan secara khusus kepada kita, sehingga kita dapat menghadirkannya di dunia kita. Dalam terang bacaan-bacaan yang baru saja kita dengar, marilah kita merenungkan bagaimana kita dapat berkontribusi pada karya keselamatan ini.

 

Dalam Bacaan Pertama, Nabi Yehezkiel menggambarkan Allah sebagai seorang gembala yang menjaga kawanan dombanya, menghitung domba-dombanya satu per satu. Ia mencari yang hilang, membalut yang terluka, serta menguatkan yang lemah dan sakit (bdk. Yeh 34:11-16). Dengan demikian, ia mengingatkan kita, di zaman pertikaian yang luas dan menghancurkan ini, kasih Allah tak terbatas. Kita dipanggil untuk membiarkan diri kita dipeluk dan dibentuk oleh kasih itu, serta menyadari bahwa di mata Allah – dan juga mata kita – tidak ada tempat untuk perpecahan dan kebencian dalam bentuk apa pun.

 

Dalam Bacaan Kedua (bdk. Rm 5:5-11), Santo Paulus mengingatkan kita bahwa Allah telah mendamaikan kita dengan diri-Nya “waktu kita masih lemah” (ayat 6) dan “ketika kita masih berdosa” (ayat 8), dan menasihati kita untuk memercayakan diri kita, di sepanjang jalan pertobatan setiap hari, kepada kuasa Roh-Nya yang mengubah rupa yang tinggal di dalam hati kita. Pengharapan kita didasarkan pada pengetahuan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita: Ia selalu berada di sisi kita. Pada saat yang sama, kita dipanggil untuk bekerja sama dengan-Nya, terutama dengan menempatkan Ekaristi di pusat kehidupan kita, karena Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 11). Kemudian juga, “melalui penerimaan sakramen-sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima sakramen tobat” (Dekrit Presbyterorum Ordinis, 18), dan akhirnya melalui doa, meditasi atas sabda Allah, dan pelaksanaan amal, yang semakin menyelaraskan hati kita dengan hati “Bapa yang penuh belas kasihan” (Presbyterorum Ordinis, 18).

 

Hal ini mengantarkan kita kepada Bacaan Injil hari ini (bdk. Luk 15:3-7), yang berbicara tentang sukacita Allah – dan setiap gembala yang mengasihi dengan cara hati-Nya – bahkan saat kepulangan seekor domba-Nya ke dalam kandang. Kita dipanggil untuk melaksanakan amal pastoral dengan kasih yang murah hati, seperti kasih Bapa, dan menumbuhkan dalam hati kita keinginan agar tidak seorang pun hilang (bdk. Yoh 6:39) tetapi agar setiap orang, juga melalui pelayanan kita, dapat mengenal Kristus dan memperoleh hidup yang kekal di dalam Dia (bdk. Yoh 6:40). Kita dipanggil untuk memperdalam kedekatan kita dengan Yesus (bdk. Presbyterorum Ordinis, 14) dan menjadi sumber kerukunan di tengah-tengah para imam saudara kita. Kita melakukannya dengan memikul beban mereka yang tersesat, memberikan pengampunan kepada mereka yang telah berbuat salah, mencari mereka yang telah tersesat atau tertinggal, dan merawat mereka yang menderita secara jasmani maupun rohani. Dan melakukan semua ini dalam pertukaran kasih yang agung, yang mengalir dari lambung tertikam Tuhan yang tersalib, merangkul semua orang dan memenuhi seluruh dunia. Sebab, mengutip kata-kata Paus Fransiskus, “dari luka lambung Kristus terus mengalir aliran yang tidak pernah habis, tidak pernah surut, yang terus menerus menawarkan diri kepada mereka yang ingin mengasihi. Hanya kasih-Nya yang memungkinkan menghasilkan kemanusiaan yang baru.” (Ensiklik Dilexit Nos, 219).

 

Pelayanan imamat adalah pelayanan pengudusan dan rekonsiliasi untuk membangun tubuh Kristus dalam kesatuan (bdk. Lumen Gentium, 7). Karena alasan ini, Konsili Vatikan II mendesak para imam untuk melakukan segala upaya untuk “mengantarkan semua kepada kesatuan cinta kasih” (Presbyterorum Ordinis, 9), menyelaraskan perbedaan-perbedaan sehingga “tidak seorang pun merasa diri terasing” (Presbyterorum Ordinis, 9). Konsili juga mendorong para imam untuk tetap bersatu dengan uskup mereka dan dalam presbiterium (Presbyterorum Ordinis, 7-8). Karena semakin kita bersatu di antara kita, semakin kita akan mampu membawa orang lain kepada kawanan Gembala yang baik, dan hidup sebagai saudara-saudari dalam satu rumah Bapa.

 

Santo Agustinus, dalam homili yang disampaikan pada peringatan tahbisannya, berbicara tentang buah persekutuan yang menggembirakan yang menyatukan umat beriman, para imam dan uskup, yang didasarkan pada pengakuan bahwa kita semua ditebus dan diselamatkan oleh belas kasihan Allah yang sama. Dalam konteks itulah ia mengucapkan kata-kata yang terkenal: “Bagimu aku adalah uskup, bersamamu aku adalah umat kristiani” (Khotbah 340, 1).

 

Dalam Misa meriah inagurasi pontifikasi saya, saya menyuarakan di hadapan umat Allah keinginan besar saya akan “Gereja yang bersatu, tanda persatuan dan persekutuan, yang menjadi ragi bagi dunia yang diperdamaikan” (18 Mei 2025). Hari ini, saya menyatakan kembali keinginan ini kepada kamu semua. Berdamai satu sama lain, bersatu dan diubah oleh kasih yang mengalir berlimpah dari hati Kristus, marilah kita berjalan bersama dengan rendah hati dan tegas mengikuti jejak langkah-Nya, teguh dalam iman dan terbuka kepada semua orang dalam kasih. Marilah kita membawa damai Tuhan yang bangkit ke dunia kita, dengan kebebasan yang lahir dari pengetahuan bahwa kita telah dikasihi, dipilih dan diutus oleh Bapa.

 

Sekarang, sebelum mengakhiri, saya ingin menyampaikan sepatah kata kepadamu, para calon imam yang terkasih, yang dalam beberapa saat, dengan penumpangan tangan uskup dan sekali lagi pencurahan Roh Kudus, akan menjadi imam. Apa yang harus saya katakan sederhana, tetapi saya menganggapnya penting bagi masa depanmu dan masa depan jiwa-jiwa yang dipercayakan kepada pemeliharaanmu. Kasihilah Allah dan saudara-saudarimu, dan berikanlah dirimu kepada mereka dengan murah hati. Bersungguh-sungguhlah dalam perayaan sakramen-sakramen, dalam doa, terutama dalam adorasi di hadapan Ekaristi, dan dalam pelayananmu. Tetaplah dekat dengan kawananmu, berikanlah waktu dan tenagamu dengan cuma-cuma kepada setiap orang, tanpa syarat dan tanpa pilih kasih, sebagaimana lambung tertikam Yesus yang tersalib dan teladan para kudus mengajarkan kita untuk melakukannya. Ingatlah bahwa Gereja, dalam dua ribu tahun sejarahnya, telah memiliki – dan saat ini terus memiliki – teladan kekudusan imami yang luar biasa. Sejak komunitas-komunitas perdana, Gereja telah membangkitkan para imam yang telah menjadi martir, rasul yang tak kenal lelah, misionaris, dan pejuang kasih. Hargailah khazanah ini: pelajarilah kisah-kisah mereka, belajarlah dari kehidupan dan karya mereka, teladanilah kebajikan-kebajikan mereka, dapatkan inspirasi dari semangat mereka, dan mohonlah pengantaraan mereka dengan sering dan terus-menerus! Terlalu sering, dunia saat ini menawarkan model-model keberhasilan dan prestise yang meragukan dan berumur pendek. Jangan biarkan dirimu terbuai oleh mereka! Lihatlah teladan nyata dan keberhasilan kerasulan, yang seringkali tersembunyi dan sederhana, dari orang-orang yang, dengan iman dan dedikasi, telah mengabdikan hidup mereka untuk melayani Tuhan dan saudara-saudari mereka. Jagalah kenangan mereka tetap hidup melalui teladan kesetiaanmu.

 

Sekarang marilah kita memercayakan diri kita kepada perlindungan penuh kasih Santa Perawan Maria, Bunda para imam dan Bunda pengharapan. Semoga ia mengarahkan dan menopang langkah-langkah kita, sehingga setiap hari kita dapat menyelaraskan hati kita semakin dekat dengan hati Kristus, Sang Gembala yang agung dan kekal.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS 22 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kej. 14:18-20; Mzm. 110:1,2,3,4; 1Kor. 11:23-26; Luk. 9:11b-17.


Saudara-saudari terkasih, sungguh luar biasa berada di hadirat Yesus. Bacaan Injil yang baru saja kita dengar membuktikan hal ini; Bacaan Injil menceritakan bagaimana orang banyak menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan Dia berbicara tentang Kerajaan Allah dan melihat Dia menyembuhkan orang sakit (bdk. Luk 9:11). Belas kasihan Yesus terhadap penderitaan menunjukkan kepada kita kedekatan Allah yang penuh kasih, yang datang ke dunia kita untuk menyelamatkan kita. Di mana Allah berkuasa, kita dibebaskan dari segala kejahatan. Namun bahkan bagi mereka yang menerima kabar baik yang dibawa oleh Yesus, saat pencobaan pun datang. Di tempat yang sunyi itu, di mana orang banyak mendengarkan Sang Guru, hari sudah malam dan tidak ada yang bisa dimakan (bdk. ayat 12). Kelaparan orang-orang dan terbenamnya matahari berbicara kepada kita tentang batas yang membayangi dunia dan setiap ciptaan: hari berakhir, seperti halnya kehidupan setiap manusia. Pada saat penuh kebutuhan dan kumpulan bayangan itu, Yesus tetap hadir di tengah-tengah kita.

 

Tepatnya ketika hari hampir berakhir dan rasa lapar mulai terasa, ketika para Rasul sendiri meminta-Nya untuk membubarkan orang banyak, Kristus mengejutkan kita dengan belas kasihan-Nya. Ia merasa kasihan kepada mereka yang lapar dan Ia mengundang para murid-Nya untuk menyediakan bagi mereka. Rasa lapar bukanlah hal yang asing bagi pemberitaan Kerajaan Allah dan pesan keselamatan. Sebaliknya, rasa lapar berbicara kepada kita tentang hubungan kita dengan Allah. Pada saat yang sama, lima roti dan dua ikan tampaknya sama sekali tidak cukup untuk memberi makan orang banyak. Perhitungan para murid, yang tampaknya sangat masuk akal, mengungkapkan kurangnya iman mereka. Karena di mana Tuhan hadir, kita menemukan semua yang kita butuhkan untuk memberi kekuatan dan makna bagi hidup kita.

 

Yesus menanggapi permintaan rasa lapar dengan tanda berbagi: Ia menengadah, mengucapkan syukur, memecah-mecahkan roti, dan memberi makan semua yang hadir (bdk. ayat 16). Tindakan Tuhan bukan semacam ritual magis yang rumit; tindakan itu hanya menunjukkan rasa syukur-Nya kepada Bapa, doa-Nya sebagai anak, dan persekutuan persaudaraan yang ditopang oleh Roh Kudus. Yesus menggandakan roti dan ikan dengan membagikan apa yang tersedia. Hasilnya, cukup untuk semua orang. Bahkan, lebih dari cukup. Setelah semua orang makan sampai kenyang, terkumpul dua belas bakul penuh (bdk. ayat 17).

 

Begitulah cara Yesus memuaskan rasa lapar orang banyak: Ia melakukan apa yang dilakukan Allah, dan Ia mengajar kita untuk melakukan hal yang sama. Dewasa ini, sebagai ganti orang banyak yang disebutkan dalam Bacaan Injil, seluruh bangsa lebih menderita sebagai akibat dari keserakahan orang lain daripada karena rasa lapar mereka. Sangat kontras dengan kemiskinan yang dialami banyak orang, penimbunan kekayaan oleh segelintir orang merupakan tanda ketidakpedulian yang arogan yang menghasilkan penderitaan dan ketidakadilan. Alih-alih berbagi, malah menghambur-hamburkan hasil bumi dan kerja manusia. Khususnya di Tahun Yubileum ini, teladan Tuhan menjadi tolok ukur yang seharusnya membimbing tindakan dan pelayanan kita: kita dipanggil untuk berbagi roti, menggandakan harapan dan mewartakan kedatangan Kerajaan Allah.

 

Dengan menyelamatkan orang banyak dari kelaparan, Yesus menyatakan bahwa Ia akan menyelamatkan semua orang dari kematian. Itulah misteri iman, yang kita rayakan dalam sakramen Ekaristi. Karena sama seperti kelaparan merupakan tanda kebutuhan mendasar kita dalam hidup ini, memecah-mecahkan roti merupakan tanda karunia keselamatan Allah.

 

Sahabat-sahabat terkasih, Kristus adalah jawaban Allah atas rasa lapar manusiawi kita, karena tubuh-Nya adalah roti kehidupan kekal: Ambillah ini dan makanlah, kamu semua! Undangan Yesus mencerminkan pengalaman kita sehari-hari: agar tetap hidup, kita perlu memelihara diri kita dengan kehidupan, mengambilnya dari tumbuhan dan hewan. Namun memakan sesuatu yang mati mengingatkan kita bahwa kita juga, tidak peduli seberapa banyak kita makan, suatu hari akan mati. Di sisi lain, ketika kita mengambil bagian dari Yesus, Roti yang hidup dan sejati, kita hidup untuk-Nya. Dengan mempersembahkan diri-Nya sepenuhnya, Tuhan yang tersalib dan bangkit menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan kita, dan kita menyadari bahwa kita diciptakan untuk mengambil bagian dari Allah. Sifat lapar kita menunjukkan tanda kebutuhan yang dipuaskan oleh rahmat Ekaristi. Sebagaimana ditulis Santo Agustinus, Kristus benar-benar “panis qui reficit, et non deficit; panis qui sumi potest, consumi non potest” (Serm. 130, 2): Dia adalah roti yang memulihkan dan tidak akan habis; roti yang dapat dimakan tetapi tidak akan habis. Ekaristi, sesungguhnya, adalah kehadiran Juruselamat yang sejati, nyata, dan hakiki (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1413), yang mengubah roti menjadi diri-Nya untuk mengubah kita menjadi diri-Nya. Corpus Domini yang hidup dan memberi hidup menjadikan kita, Gereja itu sendiri, tubuh Tuhan.

 

Karena alasan ini, dengan menggemakan Rasul Paulus (bdk. 1 Kor 10:17), Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “dalam sakramen roti Ekaristi, kesatuan umat beriman, yang membentuk satu tubuh dalam Kristus, diungkapkan dan dicapai. Semua orang dipanggil kepada persatuan ini dengan Kristus, yang adalah terang dunia, dari-Nya kita berasal, melalui-Nya kita hidup, dan kepada-Nya kita mengarahkan hidup kita” (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 3). Perarakan yang akan kita lakukan adalah tanda perjalanan itu. Bersama-sama, sebagai gembala dan kawanan domba, kita akan menyantap Sakramen Mahakudus, menyembah dan membawa-Nya melalui jalan-jalan. Dengan melakukan hal itu, kita akan menghadirkan-Nya di hadapan mata dan hati nurani umat. Kepada hati mereka yang percaya, sehingga mereka dapat semakin percaya teguh; kepada hati mereka yang tidak percaya, sehingga mereka dapat merenungkan rasa lapar yang ada di dalam diri mereka dan roti yang hanya dapat memuaskannya.

 

Dikuatkan oleh makanan yang diberikan Allah kepada kita, marilah kita membawa Yesus ke dalam hati semua orang, karena Yesus melibatkan setiap orang dalam karya keselamatan-Nya dengan memanggil kita masing-masing untuk duduk di meja-Nya. Berbahagialah orang-orang yang dipanggil, karena mereka menjadi saksi kasih ini!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Juni 2025)