Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVII (MISA YUBILEUM MIGRAN DAN DUNIA MISIONER) 5 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Hab. 1:2-3; 2:2-4; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; 2Tim. 1:6-8,13-14; Luk. 17:5-10.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Yubileum Migran dan Dunia Misioner. Ini adalah kesempatan yang luar biasa untuk menghidupkan kembali kesadaran akan panggilan misioner kita, yang muncul dari keinginan untuk membawa sukacita dan penghiburan Injil kepada semua orang, terutama mereka yang sedang mengalami situasi sulit dan menyakitkan. Secara khusus, saya memikirkan saudara-saudari kita para migran, yang harus meninggalkan tanah air mereka, seringkali meninggalkan orang-orang yang mereka kasihi, menanggung malam yang penuh ketakutan dan kesepian, serta mengalami diskriminasi dan kekerasan secara langsung.

 

Kita berada di sini, di makam Rasul Petrus, karena kita masing-masing hendaknya dapat berkata dengan sukacita: seluruh Gereja misioner, dan sangatlah mendesak – sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus – agar kita “pergi keluar dan memberitakan Injil kepada semua orang: ke setiap tempat, dalam segala kesempatan, tanpa ragu-ragu, enggan atau takut.” (Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium, 23).

 

Roh Kudus mengutus kita untuk melanjutkan karya Kristus di pinggiran dunia, yang terkadang ditandai oleh perang, ketidakadilan, dan penderitaan. Menghadapi situasi-situasi yang mengancam ini, teriakan yang begitu sering dalam sejarah telah dikumandangkan kepada Allah telah muncul kembali: Tuhan, mengapa Engkau tidak turun tangan? Mengapa Engkau seolah-olah tidak hadir? Teriakan dukacita ini merupakan bentuk doa yang meresapi seluruh Kitab Suci dan, pagi ini, kita mendengarnya dari Nabi Habakuk: “Berapa lama lagi, ya Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar ...? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, dan memandangi saja kelaliman?” (Hab 1:2-3).

 

Paus Benediktus XVI, yang telah merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini selama kunjungan bersejarahnya ke Auschwitz, kembali ke tema tersebut dalam sebuah katekese, dengan menegaskan: “Allah diam dan keheningan ini menusuk jiwa orang yang berdoa, yang terus-menerus memanggil tetapi tidak menerima jawaban … Allah tampak sangat jauh, sangat pelupa, sangat tidak hadir” (Katekese, 14 September 2011).

 

Namun, tanggapan Tuhan membuka pengharapan kita. Jika nabi mengecam kekuatan jahat yang tak terhindarkan yang tampaknya merajalela, Tuhan, di pihak-Nya, menyatakan kepadanya bahwa semua ini akan berakhir, akan berhenti, karena keselamatan akan datang dan tak akan tertunda: "Sesungguhnya, orang yang membusungkna dadfa tidak lurus hatinya, tetapi orang benar akan hidup oleh percayanya" (Hab 2:4).

 

Oleh karena itu, ada kehidupan, kemungkinan baru untuk kehidupan dan keselamatan yang berasal dari iman, karena iman tidak hanya membantu kita melawan kejahatan dan bertekun dalam berbuat baik, tetapi juga mengubah hidup kita sehingga menjadikannya sarana keselamatan yang bahkan hingga saat ini ingin Allah wujudkan di dunia. Dan, sebagaimana dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil, hal ini tentang kekuatan yang sederhana, karena iman tidak memaksakan diri dengan kekuasaan dan dengan cara-cara yang luar biasa. Sungguh, cukuplah memiliki iman sebesar biji sesawi untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan (bdk. Luk 17:6), karena iman mengandung kekuatan kasih Allah yang membuka jalan menuju keselamatan.

 

Inilah keselamatan yang tergenapi ketika kita mengambil tanggung jawab dan, dengan belas kasih Injil, peduli terhadap penderitaan sesama; inilah keselamatan yang memimpin jalan, secara diam-diam dan tampaknya tanpa hasil, dalam kata-kata dan tindakan sehari-hari, yang menjadi persis seperti benih kecil yang dibicarakan Yesus; inilah keselamatan yang perlahan-lahan bertumbuh ketika kita menjadi "hamba yang tidak layak", yaitu ketika kita menempatkan diri kita dalam pelayanan Injil dan saudara-saudari kita, tidak mencari kepentingan kita sendiri tetapi hanya membawa kasih Allah ke dunia.

 

Dengan meyakini hal ini, kita dipanggil untuk memperbarui api panggilan misioner kita. Sebagaimana ditegaskan Santo Paulus VI, “mewartakan Injil di kurun sejarah manusia yang luar biasa ini, suatu masa yang sungguh belum pernah terjadi sebelumnya, di mana, di puncak kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya, terdapat pula kedalaman kebingungan dan keputusasaan yang juga belum pernah terjadi sebelumnya merupakan tanggung jawab kita” (Pesan untuk Hari Minggu Misi Sedunia, 25 Juni 1971).

 

Saudara-saudari, hari ini sebuah era misioner baru terbuka dalam sejarah Gereja.

 

Jika selama ini kita mengaitkan misi dengan kata "pergi", yaitu pergi ke negeri yang jauh yang belum mengenal Injil atau yang mengalami kemiskinan, kini batas-batas misi tidak lagi geografis, karena kemiskinan, penderitaan, dan kerinduan akan pengharapan yang lebih besar telah menghampiri kita. Kisah begitu banyak saudara-saudari kita para migran menjadi saksi akan hal ini: tragedi pelarian mereka dari kekerasan, penderitaan yang menyertainya, ketakutan akan kegagalan, risiko berbahaya berlayar di sepanjang garis pantai, teriakan duka dan keputusasaan mereka. Saudara-saudari, perahu-perahu yang berharap menemukan pelabuhan yang aman, dan mata yang dipenuhi kesedihan dan pengharapan yang berusaha mencapai pantai, tidak dapat dan tidak boleh menemukan dinginnya ketidakpedulian atau stigma diskriminasi!

 

Misi bukan tentang "pergi", melainkan "tetap tinggal" untuk mewartakan Kristus melalui keramahtamahan dan penyambutan, belas kasih, dan kesetiakawanan. Kita harus tetap tinggal tanpa lari menuju kenyamanan individualisme kita; tetap tinggal untuk memperhatikan mereka yang datang dari negeri yang jauh dan penuh kekerasan; tetap tinggal dan membuka tangan serta hati kita bagi mereka, menyambut mereka sebagai saudara-saudari, dan menjadi penghiburan serta pengharapan bagi mereka.

 

Banyak misionaris, baik pria maupun wanita, tetapi juga umat beriman dan orang-orang beritikad baik, yang bekerja melayani para migran, dan mempromosikan budaya persaudaraan baru dengan tema migrasi, melampaui stereotip dan prasangka. Namun, pelayanan yang berharga ini melibatkan kita masing-masing, dalam batasan kemampuan kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus, inilah saatnya bagi kita semua untuk membiarkan diri kita "berada dalam situasi perutusan yang permanen" (Evangelii Guadium, 25).

 

Hal ini setidaknya mencakup dua tugas misioner yang penting: kerja sama misioner dan panggilan misioner.

 

Pertama-tama, saya memintamu untuk mengembangkan kerja sama misioner yang diperbarui di antara Gereja-Gereja. Dalam komunitas-komunitas tradisi kristiani kuno, seperti di Barat, kehadiran banyak saudara dan saudari dari belahan dunia Selatan hendaknya disambut sebagai sebuah kesempatan, melalui pertukaran yang memperbarui wajah Gereja dan menopang kekristenan yang lebih terbuka, lebih hidup, dan lebih dinamis. Pada saat yang sama, semua misionaris yang berangkat ke negeri-negeri lain dipanggil untuk hidup menghormati budaya yang mereka jumpai, mengarahkan kepada kebaikan segala sesuatu yang dianggap benar dan berharga, dan membawa pesan kenabian Injil ke sana.

 

Saya ingin mengenang keindahan dan pentingnya panggilan misioner. Secara khusus saya merujuk pada Gereja di Eropa: saat ini dibutuhkan upaya misioner baru oleh kaum awam, religius, dan imam yang akan mempersembahkan pelayanan mereka di negeri-negeri misioner. Kita membutuhkan gagasan dan pengalaman panggilan baru yang mampu menopang hasrat ini, terutama di kalangan kaum muda.

 

Sahabat-sahabat terkasih, dengan tulus saya memberikan berkat saya kepada para klerus lokal dari Gereja-Gereja partikular, para misionaris, dan mereka yang sedang menekuni panggilan. Sementara itu, kepada para migran, saya katakan: ketahuilah bahwa kamu selalu diterima! Lautan dan padang gurun yang telah kamu seberangi, Kitab Suci menyebutnya "tempat-tempat keselamatan", di mana Allah hadir untuk menyelamatkan umat-Nya. Saya harap kamu menemukan wajah Allah ini dalam diri para misionaris yang kamu jumpai.

 

Saya memercayakan kamu semua kepada perantaraan Maria, misionaris pertama Putranya, yang bergegas pergi ke daerah perbukitan Yudea, mengandung Yesus dalam rahimnya dan mengabdikan dirinya untuk melayani Elisabet. Semoga Maria menopang kita, agar kita masing-masing dapat menjadi rekan sekerja bagi Kerajaan Kristus, Kerajaan kasih, keadilan, dan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 5 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXVI (MISA YUBILEUM KATEKIS) 28 September 2025

Bacaan Ekaristi : Am 6:1a,4-7; Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10; 1Tim. 6:11-16; Luk. 16:19-31.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sabda Yesus menyampaikan kepada kita bagaimana Allah memandang dunia, setiap saat dan di setiap tempat. Kita mendengar dalam Bacaan Injil (Luk 16:19-31) bahwa mata-Nya mengamati orang miskin dan orang kaya: melihat yang satu mati kelaparan dan yang lain makan dengan lahap, yang satu mengenakan pakaian yang indah dan borok yang lain dijilat anjing (bdk. Luk 16:19-21). Namun Tuhan melihat ke dalam hati manusia, dan melalui mata-Nya, kita juga dapat mengenali orang yang berkekurangan dan orang yang acuh tak acuh. Lazarus dilupakan oleh orang yang ada di hadapannya, tepat di balik pintu rumahnya, namun Allah dekat dengannya dan mengingat namanya. Di sisi lain, orang yang hidup berkelimpahan tidak bernama, karena ia telah kehilangan dirinya sendiri dengan melupakan sesamanya. Ia tersesat dalam pikiran hatinya: penuh dengan harta benda dan hampa kasih. Harta bendanya tidak menjadikannya orang baik.

 

Kisah yang disampaikan Kristus kepada kita, sayangnya, sangat relevan saat ini. Di ambang kemewahan masa kini, terhampar kesengsaraan seluruh bangsa, yang dirusak oleh perang dan eksploitasi. Selama berabad-abad, tampaknya tidak ada yang berubah: betapa banyak Lazarus yang mati di hadapan keserakahan yang melupakan keadilan, di hadapan keuntungan yang menginjak-injak amal kasih, dan di hadapan kekayaan yang buta terhadap penderitaan kaum miskin! Namun Bacaan Injil meyakinkan kita bahwa penderitaan Lazarus akan berakhir. Penderitaannya berakhir sama seperti pesta pora orang kaya itu berakhir, dan Allah memberikan keadilan kepada keduanya: "Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham. Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur" (ayat 22). Gereja tanpa lelah mewartakan sabda Tuhan ini, agar dapat membuat hati kita bertobat.

 

Sahabat-sahabat terkasih, secara kebetulan yang luar biasa, perikop Injil yang sama ini juga diwartakan pada Yubileum Katekis di Tahun Suci Kerahiman. Berbicara kepada para peziarah yang datang ke Roma untuk perayaan tersebut, Paus Fransiskus menekankan bahwa Allah menebus dunia dari segala kejahatan dengan menyerahkan nyawa-Nya demi keselamatan kita. Karya penyelamatan Allah adalah awal dari misi kita karena karya ini mengundang kita untuk memberikan diri kita demi kebaikan semua orang. Paus berkata kepada para katekis: inilah pusat “yang dengannya segala sesuatu berputar, jantung yang berdetak yang memberi hidup kepada segala sesuatu ini adalah pewartaan Paskah, pewartaan pertama: Tuhan Yesus telah bangkit, Tuhan Yesus mengasihimu, dan Ia telah menyerahkan nyawa-Nya bagimu; bangkit dan hidup, Ia dekat denganmu dan menantikanmu setiap hari” (Homili, 25 September 2016). Kata-kata ini membantu kita merenungkan dialog dalam Bacaan Injil antara orang kaya dan Abraham. Permohonan orang kaya untuk menyelamatkan saudara-saudaranya menjadi panggilan kita untuk bertindak.

 

Berbicara kepada Abraham, orang kaya itu berseru: "Jika ada seseorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat" (Luk. 16:30). Abraham menjawab, "Jika mereka tidak mendengarkan Musa dan para nabi, mereka juga tidak akan diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati" (ayat 31). Nah, satu orang telah bangkit dari antara orang mati: Yesus Kristus. Oleh karena itu, sabda Kitab Suci tidak bermaksud mengecewakan atau mengecilkan hati kita, melainkan membangkitkan hati nurani kita. Mendengarkan Musa dan para nabi berarti mengingat perintah dan janji Allah, yang pemeliharaan-Nya tidak pernah meninggalkan siapa pun. Bacaan Injil mewartakan kepada kita bahwa hidup setiap orang dapat berubah karena Kristus bangkit dari antara orang mati. Peristiwa ini adalah kebenaran yang menyelamatkan kita; oleh karena itu, harus dikenal dan diwartakan. Tetapi itu saja tidak cukup; harus juga dikasihi. Kasihlah yang menuntun kita untuk memahami Injil, karena kasih mengubah kita dengan membuka hati kita terhadap sabda Allah dan terhadap wajah sesama kita.

 

Dalam hal ini, sebagai katekis, kamu adalah murid-murid Yesus yang menjadi saksi-saksi-Nya. Nama pelayananmu berasal dari kata kerja Yunani katÄ“chein, yang berarti "mengajar dengan lantang, bergema." Ini berarti seorang katekis adalah pribadi sabda – sabda yang ia ucapkan dengan hidupnya sendiri. Jadi, katekis pertama kita adalah kedua orang tua kita: mereka yang pertama kali berbicara kepada kita dan mengajari kita berbicara. Sebagaimana kita belajar bahasa ibu kita, demikian pula pewartaan iman tidak dapat didelegasikan kepada orang lain; pewartaan iman terjadi di mana kita tinggal, terutama di rumah kita, di sekitar meja keluarga. Ketika ada suara, gestur, wajah yang menuntun kepada Kristus, keluarga mengalami keindahan Injil.

 

Kita semua telah diajar untuk beriman melalui kesaksian mereka yang telah beriman sebelum kita. Sejak masa kanak-kanak, remaja, muda, dewasa, bahkan lanjut usia, para katekis mendampingi kita dalam iman, berbagi dalam perjalanan seumur hidup ini, serupa dengan apa yang telah kamu lakukan pada hari-hari ini dalam ziarah Yubileum. Dinamika ini melibatkan seluruh Gereja. Ketika Umat Allah menuntun pria dan wanita kepada iman, “berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun kata-kata yang diturunkan, baik karena kaum beriman, yang menyimpannya dalam hati (bdk. Luk 2:19, 51), merenungkan serta mempelajarinya, maupun karena mereka menyelami secara mendalam pengalaman-pengalaman rohani mereka, maupun juga berkat pewartaan mereka, yang sebagai pengganti dalam martabat Uskup menerima kurnia kebenaran yang pasti.” (Dei Verbum, 18 November 1965, 8). Dalam persekutuan ini, Katekismus adalah “buku panduan perjalanan” yang melindungi kita dari individualisme dan perselisihan, karena ia menjadi kesaksian iman seluruh Gereja Katolik. Setiap orang percaya bekerja sama dalam karya pastoralnya dengan mendengarkan pertanyaan, ambil bagian dalam pergumulan, dan melayani keinginan akan keadilan dan kebenaran yang bersemayam dalam hati nurani manusia.

 

Beginilah cara para katekis mengajar – secara harfiah dalam bahasa Italia, dengan "meninggalkan jejak." Ketika kita mengajarkan iman, kita tidak sekadar memberi petunjuk, tetapi kita menempatkan sabda kehidupan di dalam hati, agar sabda itu menghasilkan buah-buah kehidupan yang baik. Kepada Diakon Deogratias, yang bertanya kepadanya bagaimana menjadi seorang katekis yang baik, Santo Agustinus menjawab, "Jelaskanlah segala sesuatu sedemikian rupa sehingga orang yang mendengarkanmu, dengan mendengarkan dapat percaya; dengan percaya dapat berharap; dan dengan berharap dapat mengasihi" (Petunjuk Para Pemula dalam Imam, 4, 8).

 

Saudara-saudari terkasih, marilah kita menghayati undangan ini! Marilah kita ingat bahwa tak seorang pun dapat memberi apa yang tidak dimilikinya. Jika orang kaya dalam Bacaan Injil menunjukkan belas kasihan kepada Lazarus, ia akan berbuat baik bukan hanya bagi orang miskin itu, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Jika orang yang tak disebutkan namanya itu beriman, Allah akan menyelamatkannya dari segala siksaan. Namun, keterikatannya pada kekayaan duniawi merampas harapannya akan kebaikan sejati dan kekal. Ketika kita juga tergoda oleh keserakahan dan ketidakpedulian, banyaknya "Lazarus" hari ini mengingatkan kita akan sabda Yesus. Sabda itu menjadi katekese yang efektif bagi kita, terutama selama Yubileum ini, yang bagi kita semua merupakan masa pertobatan dan pengampunan, komitmen pada keadilan, dan pengupayaan yang tulus akan perdamaian.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 28 September 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXV di PAROKI SANTA ANNA VATIKAN 21 September 2025

Bacaan Ekaristi : Am. 8:4-7; Mzm. 113:1-2,4-6,7-8; 1Tim. 2:1-8; Luk. 16:1-13.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Saya sangat senang memimpin Ekaristi di Paroki Kepausan Santa Anna ini. Dengan penuh rasa syukur saya menyapa para rohaniwan Agustinian yang melayani di sini, terutama pastor paroki, Pastor Mario Millardi, serta Prior Jenderal Ordo yang baru, yang hadir bersama kita hari ini, Pastor Joseph Farrell. Saya juga ingin menyapa Pastor Gioele Schiavella, yang baru saja merayakan usianya yang ke-103 tahun.

 

Gereja ini berdiri di lokasi yang istimewa, yang juga menjadi kunci bagi pelayanan pastoral yang dijalankan di sana: kita, bisa dikatakan, berada "di perbatasan," dan hampir semua orang yang masuk dan keluar Kota Vatikan melewati Gereja Santa Anna. Ada yang datang untuk bekerja, ada yang datang sebagai tamu atau peziarah, ada yang terburu-buru, ada yang datang dengan cemas atau dengan tenang. Semoga setiap orang mengalami di sini ada pintu dan hati yang terbuka untuk berdoa, mendengarkan, dan beramal!

 

Dalam hal ini, Bacaan Injil yang baru saja diwartakan menantang kita untuk secara saksama memeriksa hubungan kita dengan Allah dan, oleh karena itu, dengan satu sama lain. Yesus menyajikan alternatif yang tegas antara Allah dan kekayaan, meminta kita untuk mengambil posisi yang jelas dan masuk akal. "Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan," oleh karena itu, "kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon" (bdk. Luk 16:13). Ini bukanlah pilihan yang bersifat kebetulan, seperti banyak pilihan lainnya, juga bukan pilihan yang dapat diubah seiring waktu, tergantung situasinya. Kita perlu memutuskan gaya hidup yang sejati. Tentang memilih di mana kita akan menempatkan hati kita, memperjelas siapa yang kita kasihi dengan tulus, siapa yang kita layani dengan penuh dedikasi, dan apa yang benar-benar menjadi kebaikan kita.

 

Inilah sebabnya Yesus membandingkan kekayaan dengan Tuhan: Tuhan berbicara demikian karena Ia tahu kita adalah makhluk yang berkekurangan, hidup kita penuh dengan kebutuhan. Sejak kita lahir, miskin dan telanjang, kita semua membutuhkan perhatian dan kasih sayang, rumah, pangan, sandang. Rasa haus akan kekayaan berisiko menggantikan Tuhan di hati kita ketika kita percaya itu akan menyelamatkan hidup kita, sebagaimana diyakini oleh bendahara yang tidak jujur ​​dalam perumpamaan (bdk. Luk 16:3-7). Inilah godaannya: berpikir bahwa tanpa Tuhan kita masih bisa hidup dengan baik, sementara tanpa kekayaan kita akan sedih dan tersiksa oleh ribuan kebutuhan. Dihadapkan dengan ujian kebutuhan, kita merasa terancam, tetapi alih-alih meminta bantuan dengan percaya dan berbagi dalam persaudaraan, kita dituntun untuk mencari-cari, menimbun, menjadi curiga dan tidak percaya kepada orang lain.

 

Pikiran ini mengubah sesama kita menjadi pesaing, saingan, atau seseorang yang dapat dieksploitasi. Sebagaimana diperingatkan Nabi Amos, mereka yang ingin menjadikan kekayaan sebagai alat dominasi berhasrat untuk "membeli orang lemah karena uang" (Am 8:6), mengeksploitasi kemiskinan mereka. Sebaliknya, Allah mengalokasikan kekayaan ciptaan kepada setiap orang. Kebutuhan kita sebagai makhluk ciptaan dengan demikian membuktikan sebuah janji dan ikatan, yang diperhatikan Tuhan secara pribadi. Pemazmur menggambarkan gaya pemeliharaan-Nya ini: Allah "melihat ke langit dan ke bumi"; Ia "menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur" (Mzm. 113:6-7). Beginilah cara Bapa yang baik bertindak, senantiasa dan terhadap setiap orang: tidak hanya terhadap mereka yang miskin dalam hal-hal duniawi, tetapi juga terhadap kesengsaraan rohani dan moral yang menimpa mereka yang berkuasa maupun yang lemah, yang miskin maupun yang kaya.

 

Sabda Tuhan, sesungguhnya, tidak mengadu domba manusia dalam kelas-kelas yang bersaing, melainkan mendorong setiap orang untuk melakukan revolusi batin, pertobatan yang dimulai dari hati. Tangan kita akan terbuka: memberi, bukan menerima. Pikiran kita akan terbuka: merencanakan masyarakat yang lebih baik, bukan mencari keuntungan dengan harga terendah. Sebagaimana ditulis Santo Paulus, "Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan semua pembesar" (1 Tim 2:1). Hari ini, khususnya, Gereja berdoa agar para pemimpin bangsa dibebaskan dari godaan untuk menggunakan kekayaan melawan kemanusiaan, mengubahnya menjadi senjata yang menghancurkan rakyat dan monopoli yang mempermalukan kaum buruh. Mereka yang melayani Tuhan terbebas dari kekayaan, tetapi mereka yang melayani kekayaan tetap menjadi hambanya! Mereka yang mencari keadilan mengubah kekayaan menjadi kebaikan bersama; mereka yang mencari kekuasaan mengubah kebaikan bersama menjadi mangsa keserakahan mereka sendiri.

 

Kitab Suci menjelaskan keterikatan pada harta benda ini, yang membingungkan hati kita dan merusak masa depan kita.

 

Sahabat-sahabat terkasih, saya berterima kasih atas kerjasamamu dalam berbagai cara untuk menjaga komunitas paroki ini tetap hidup dan atas karya kerasulan yang murah hati. Saya mendorongmu untuk bertekun dengan pengharapan di masa yang terancam perang. Seluruh bangsa saat ini sedang ditindas oleh kekerasan dan terlebih lagi oleh ketidakpedulian yang tak tahu malu, yang menjerumuskan mereka ke dalam nasib sengsara. Menghadapi tragedi-tragedi ini, kita tidak ingin tunduk, melainkan mewartakan dengan kata-kata dan perbuatan bahwa Yesus adalah Juruselamat dunia, Dia yang membebaskan kita dari segala kejahatan. Semoga Roh-Nya menobatkan hati kita sehingga, dengan dibina oleh Ekaristi, khazanah tertinggi Gereja, kita dapat menjadi saksi kasih dan perdamaian.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 22 September 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXIII (MISA KANONISASI BEATO PIER GIORGIO FRASSATI DAN BEATO CARLO ACUTIS) 7 September 2025

Bacaan Ekaristi : Keb. 9:13-18; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Flm. 9b-10,12-17; Luk. 14:25-33.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam Bacaan Pertama, kita mendengar sebuah pertanyaan: [Tuhan,] "siapakah yang dapat mengetahui rencana-Mu, kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan hikmat dan tidak mengutus Roh-Mu yang kudus dari surga?" (Keb 9:17). Pertanyaan ini muncul setelah dua beato muda, Pier Giorgio Frassati dan Carlo Acutis, dinyatakan sebagai santo, dan ini merupakan penyelenggaraan ilahi karena dalam Kitab Kebijaksanaan, pertanyaan ini dikaitkan dengan seorang pemuda seperti mereka: Raja Salomo. Setelah kematian Daud, ayahnya, ia menyadari bahwa ia memiliki banyak hal: kekuasaan, kekayaan, kesehatan, kemudaan, keindahan, dan seluruh kerajaan. Justru kelimpahan sumber daya inilah yang menimbulkan pertanyaan dalam hatinya: "Apakah yang harus kulakukan supaya tidak ada yang terbuang?" Salomo memahami bahwa satu-satunya cara untuk menemukan jawaban adalah dengan memohon kepada Allah karunia yang semakin besar, karunia hikmat-Nya, agar ia dapat mengetahui rencana Allah dan mengikutinya dengan setia. Sesungguhnya, ia menyadari bahwa hanya dengan cara inilah segala sesuatu akan menemukan tempatnya dalam rencana Tuhan yang agung. Ya, karena risiko terbesar dalam hidup adalah menyia-nyiakannya di luar rencana Allah.

 

Dalam Bacaan Injil Yesus juga berbicara kepada kita tentang sebuah rencana yang harus kita tekuni dengan sepenuh hati. Ia berkata:,"Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku" (Luk. 14:27); dan kemudian, "tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku" (ayat 33). Ia memanggil kita untuk menyerahkan diri kita tanpa ragu kepada petualangan yang Ia tawarkan kepada kita, dengan kecerdasan dan kekuatan yang berasal dari Roh-Nya, yang dapat kita terima sejauh kita mengosongkan diri dari hal dan gagasan yang melekat pada diri kita, agar dapat mendengarkan sabda-Nya.

 

Banyak orang muda, selama berabad-abad, harus menghadapi persimpangan jalan ini dalam hidup mereka. Pikirkanlah Santo Fransiskus dari Asisi, seperti Salomo, ia juga muda dan kaya raya, haus akan kemuliaan dan ketenaran. Itulah sebabnya ia pergi berperang, berharap untuk diberi gelar kebangsawanan dan dihiasi dengan kehormatan. Tetapi Yesus menampakkan diri kepadanya di tengah jalan dan memintanya untuk merenungkan apa yang sedang ia lakukan. Menyadari kembali, ia mengajukan pertanyaan sederhana kepada Allah, "Tuhan, apa yang Engkau inginkan agar aku perbuat?" (Kisah Tiga Sahabat, bab II: Fonti Francescane, 1401). Dari sana, ia mengubah hidupnya dan mulai menulis kisah yang berbeda: kisah indah tentang kekudusan yang kita semua tahu, menanggalkan segalanya untuk mengikut Tuhan (bdk. Luk 14:33), hidup dalam kemiskinan dan lebih memilih mengasihi saudara-saudarinya, terutama yang paling lemah dan kecil, daripada emas, perak, dan kain berharga milik ayahnya.

 

Betapa banyaknya santo-santa serupa yang dapat kita ingat! Terkadang kita menggambarkan mereka sebagai tokoh-tokoh besar, lupa bahwa bagi mereka semuanya berawal ketika, semasa muda, mereka mengatakan "ya" kepada Allah dan menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada-Nya, tanpa menyimpan apa pun untuk diri mereka sendiri. Santo Agustinus menceritakan bahwa, dalam "simpul kehidupan yang berliku-liku dan kusut", sebuah suara di lubuk hatinya berkata, "Aku menginginkan engkau" (Pengakuan-pengakuan, II, 10,18). Allah memberinya arah baru, jalan baru, alasan baru, yang di dalamnya tak ada satu pun dari hidupnya yang terbuang sia-sia.

 

Dalam konteks ini, hari ini kita memandang Santo Pier Giorgio Frassati dan Santo Carlo Acutis: seorang pemuda dari awal abad ke-20 dan seorang remaja dari zaman kita, keduanya mengasihi Yesus dan siap memberikan segalanya bagi-Nya.

 

Pier Giorgio bertemu Tuhan melalui kelompok sekolah dan gereja — Aksi Katolik, Konferensi Santo Vinsensius, FUCI (Federasi Universitas Katolik Italia), Ordo Ketiga Dominikan — dan ia memberikan kesaksian tentang Allah dengan sukacita hidupnya serta menjadi seorang kristiani dalam doa, persahabatan, dan kasih. Hal ini begitu nyata sehingga ketika melihatnya berjalan di jalanan Kota Turin dengan gerobak sarat bantuan untuk kaum miskin, teman-temannya menamainya "Frassati Impresa Trasporti" (Perusahaan Transportasi Frassati)! Bahkan hingga kini, kehidupan Pier Giorgio menjadi mercusuar bagi spiritualitas awam. Baginya, iman bukanlah devosi pribadi, melainkan didorong oleh kuasa Injil dan keanggotaannya dalam perkumpulan-perkumpulan gerejawi. Dengan murah hati ia juga mengabdikan diri kepada masyarakat, berkontribusi dalam kehidupan politik, dan mengabdikan dirinya dengan penuh semangat untuk melayani kaum miskin.

 

Carlo sendiri berjumpa dengan Yesus dalam keluarganya, berkat kedua orang tuanya, Andrea dan Antonia — yang hari ini hadir di sini bersama kedua saudari kandungnya, Francesca dan Michele — dan kemudian di sekolah, dan terutama dalam sakramen-sakramen yang dirayakan dalam komunitas paroki. Ia tumbuh besar dengan memadukan doa, olahraga, studi, dan amal kasih ke dalam kehidupan masa kecil dan masa mudanya.

 

Baik Pier Giorgio maupun Carlo membina kasih mereka kepada Allah dan saudara-saudari mereka melalui tindakan-tindakan sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa pun: Misa harian, doa, dan khususnya Adorasi Ekaristi. Carlo biasa berkata, “Di hadapan matahari, kulitmu menjadi coklat. Di hadapan Ekaristi, engkau menjadi orang kudus!” Dan kemudian, “Kesedihan adalah memandang dirimu sendiri; kebahagiaan adalah memandang Allah. Pertobatan tidak lebih dari sekadar mengalihkan pandangan dari bawah ke atas; gerakan mata yang sederhana saja sudah cukup.” Praktik penting lainnya bagi mereka adalah Pengakuan Dosa yang sering. Carlo menulis: “Satu-satunya hal yang benar-benar perlu kita takuti adalah dosa;” dan ia takjub karena — dalam kata-katanya sendiri — “orang-orang begitu peduli dengan keindahan tubuh mereka dan tidak peduli dengan keindahan jiwa mereka.” Akhirnya, keduanya memiliki devosi yang besar kepada para kudus dan Perawan Maria, dan mereka mempraktikkan amal kasih dengan murah hati. Pier Giorgio berkata, “Di sekitar orang miskin dan orang sakit, saya melihat cahaya yang tidak kita miliki” (Nicola Gori, Al prezzo della vita: L’Osservatore romano, 11 Februari 2021). Ia menyebut amal kasih sebagai “landasan agama kita” dan, seperti Carlo, ia mempraktikkannya terutama melalui gestur kecil dan nyata, yang seringkali tersembunyi, menghidupi apa yang disebut Paus Fransiskus “kekudusan dari pintu sebelah” (Anjuran Apostolik Gaudete et Exsultate, 7).

 

Bahkan ketika penyakit menyerang dan memperpendek usia muda mereka, hal itu tidak menghentikan mereka atau menghalangi mereka untuk mengasihi, mempersembahkan diri kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya untuk diri mereka sendiri dan untuk semua orang. Suatu hari Pier Giorgio berkata, "Hari kematianku akan menjadi hari terindah dalam hidupku" (Irene Funghi, I giovani assieme a Frassati: un compagno nei nostri cammini tortuosi: Avvenire, 2 Agustus 2025). Dalam foto terakhirnya, yang memperlihatkan dirinya sedang mendaki gunung di Val di Lanzo, dengan wajah menghadap ke tujuannya, ia menulis, "Ke atas" (idem). Lebih lanjut, Carlo, yang bahkan lebih muda dari Pier Giorgio, gemar mengatakan bahwa surga selalu menanti kita, dan mencintai hari esok berarti memberikan yang terbaik dari buah kita hari ini.

 

Sahabat-sahabat terkasih, Santo Pier Giorgio Frassati dan Santo Carlo Acutis merupakan undangan bagi kita semua, terutama kaum muda, untuk tidak menyia-nyiakan hidup kita, melainkan mengarahkannya ke atas dan menjadikannya mahakarya. Mereka menyemangati kita dengan kata-kata mereka: "Bukan aku, melainkan Allah," sebagaimana biasa dikatakan Carlo. Dan Pier Giorgio: "Jika engkau menjadikan Allah sebagai pusat segala tindakanmu, maka engkau akan mencapai tujuan." Inilah rumusan sederhana namun jitu dari kekudusan mereka. Inilah juga jenis kesaksian yang harus kita ikuti, agar dapat menikmati hidup sepenuhnya dan bertemu Tuhan dalam perjamuan surgawi.
______

(Peter Suriadi - Bogor, 7 September 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XX DI TEMPAT KUDUS SANTA MARIA DELLA ROTONDA (ALBANO) 17 Agustus 2025

Bacaan Liturgi : Yer. 38:4-6,8-10; Mzm. 39:2-4.18; Ibr. 12:1-4; Luk. 12:49-53.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Sukacita dapat berkumpul bersama merayakan Ekaristi hari Minggu memberi kita sukacita yang lebih mendalam. Sungguh, jika kedekatan hari ini saja sudah merupakan anugerah dan mengatasi jarak dengan saling memandang, sebagai saudara-saudari sejati, anugerah yang lebih besar adalah penaklukkan maut di dalam Tuhan. Yesus telah menaklukkan maut — Hari Minggu adalah hari-Nya, hari Kebangkitan — dan kita sudah mulai menaklukkannya bersama-Nya. Beginilah adanya: kita masing-masing datang ke gereja dengan sedikit rasa lelah dan takut — terkadang kecil, terkadang besar — dan seketika kita tidak lagi sendirian, kita bersama dan kita menemukan sabda dan tubuh Kristus. Dengan demikian, hati kita menerima kehidupan yang melampaui maut. Roh Kudus, Roh Yesus yang Bangkit, yang melakukan hal ini di antara kita dan di dalam diri kita, secara diam-diam, hari Minggu demi hari Minggu, hari demi hari.

 

Kita menemukan diri kita di sebuah tempat suci kuno yang dindingnya merangkul kita. Tempat itu disebut "Rotonda", dan bentuknya yang melingkar, seperti Lapangan Santo Petrus dan gereja-gereja lain, baik yang lama maupun yang baru, membuat kita merasa disambut dalam pangkuan Tuhan. Dari luar, Gereja, seperti setiap realitas manusia, mungkin tampak kasar. Namun, realitas ilahinya terungkap ketika kita melewati ambang pintunya dan menemukan penerimaan. Maka kemiskinan kita, kerentanan kita, dan terutama, kegagalan yang karenanya kita mungkin dihina dan dihakimi — dan terkadang kita membenci dan menghakimi diri kita sendiri — akhirnya disambut dalam kekuatan Tuhan yang lembut, kasih tanpa batas, kasih tanpa syarat. Maria, ibu Yesus, bagi kita adalah tanda dan antisipasi akan keibuan Tuhan. Di dalam dirinya, kita menjadi Gereja induk, yang melahirkan dan meregenerasi bukan berdasarkan kekuatan duniawi, melainkan dengan kebajikan kasih.

 

Barangkali apa yang dikatakan Yesus dalam Bacaan Injil yang baru saja kita baca mengejutkan kita. Kita mencari kedamaian, tetapi kita telah mendengar: "Kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan damai, kata-Ku kepadamu, melainkan pertentangan" (Luk. 12:51). Dan kita hampir menjawab: "Tetapi bagaimana mungkin, Tuhan? Engkau juga? Kita sudah terlalu banyak mengalami pertentangan. Bukankah Engkau yang berkata pada Perjamuan Terakhir: 'Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu'?" "Ya," jawab Tuhan, "Akulah ini." Namun, ingatlah bahwa pada malam itu, malam terakhir-Ku, Aku langsung menambahkan tentang damai sejahtera: "Aku memberi kepadamu tidak seperti dunia memberi. Janganlah gelisah dan gentar hatimu" (bdk. Yoh. 14:27).

 

Sahabat-sahabat terkasih, dunia membiasakan kita menukar kedamaian dengan kenyamanan, kebaikan dengan ketenangan. Oleh karena itu, agar damai-Nya, shalom Allah, dapat hadir di antara kita, Yesus harus berkata, "Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku menginginkan api itu telah menyala!" (Luk. 12:49). Mungkin keluarga kita, sebagaimana dinubuatkan Injil, dan bahkan sahabat-sahabat kita, akan terbagi pendapatnya mengenai hal ini. Dan beberapa orang akan menasihati kita untuk tidak mengambil risiko, melindungi diri kita, karena penting untuk tetap tenang dan orang lain tidak pantas untuk dikasihi. Namun, Yesus dengan berani membenamkan diri-Nya dalam kemanusiaan kita. Inilah "baptisan" yang Ia bicarakan (ayat 50): baptisan salib, pembenaman total dalam risiko yang ditimbulkan oleh kasih. Dan ketika kita, seperti kata mereka, "mengambil komuni," kita dipupuk oleh karunia-Nya yang berani ini. Misa memelihara keputusan ini. Itulah keputusan untuk tidak lagi hidup bagi diri kita sendiri, untuk membawa api ke dunia. Bukan api senjata, bahkan bukan kata-kata yang membakar orang lain. Bukan, bukan itu. Melainkan api kasih, yang merendahkan diri dan melayani, yang melawan ketidakpedulian dengan kepedulian dan kesombongan dengan kelembutan; api kebaikan, yang tidak semahal persenjataan, melainkan memperbarui dunia dengan cuma-cuma. Mungkin saja ia harus menanggung kesalahpahaman, cemoohan, bahkan penganiayaan, tetapi tak ada kedamaian yang lebih besar daripada memiliki api di dalam dirinya sendiri.

 

Oleh karena itu, hari ini saya ingin mengucapkan terima kasih, bersama Uskupmu, Vincenzo, kepada kamu semua yang di Keuskupan Albano berkomitmen untuk membawa api kasih. Dan saya mendorongmu untuk tidak membeda-bedakan di antara mereka yang membantu dan mereka yang dibantu, antara mereka yang tampak memberi dan mereka yang tampak menerima, antara mereka yang tampak miskin dan mereka yang merasa menyumbangkan waktu, keterampilan, dan bantuan. Kita adalah Gereja Tuhan, Gereja kaum miskin, semua berharga, semua subjek, masing-masing pembawa Sabda Allah yang unik. Masing-masing adalah anugerah bagi sesama. Marilah kita meruntuhkan tembok pemisah. Saya berterima kasih kepada mereka yang bekerja di setiap komunitas kristiani untuk memfasilitasi perjumpaan antara orang-orang dari berbagai latar belakang, situasi ekonomi, psikologis, dan emosional: hanya bersama-sama, hanya dengan menjadi satu Tubuh di mana bahkan yang paling rapuh pun berpartisipasi dengan penuh martabat, kitalah Tubuh Kristus, Gereja Allah. Hal ini terjadi ketika api yang dibawa Yesus yang datang membakar habis prasangka, kehati-hatian, dan ketakutan yang masih meminggirkan mereka yang menanggung kemiskinan Kristus yang tertulis dalam sejarah mereka. Janganlah kita mengecualikan Tuhan dari gereja-gereja kita, rumah-rumah kita, dan kehidupan kita. Sebaliknya, marilah kita membiarkan-Nya masuk ke dalam diri orang-orang miskin, dan dengan demikian kita juga akan berdamai dengan kemiskinan kita sendiri, kemiskinan yang kita takuti dan sangkal ketika kita mencari ketenangan dan rasa aman dengan segala cara.

 

Semoga Perawan Maria, yang mendengar Simeon, penatua suci, mengacu Putranya, Yesus, sebagai "tanda perbantahan" (Lukas 2:34), berdoa bagi kita. Semoga pikiran hati kita terungkap, dan semoga api Roh Kudus mengubahnya dari hati batu menjadi hati yang taat.

 

Santa Maria dari Rotonda, doakanlah kami!

_______

 

(Peter Suriadi - Bogor, 17 Agustus 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIANGKAT KE SURGA DI PAROKI SANTO THOMAS DARI VILLANOVA (CASTEL GANDOLFO) 15 Agustus 2025

Bacaan Liturgi : Why. 11:19a;12:1,3-6a,10ab; Mzm. 45:10c-12,16; 1Kor. 15:20-26; Luk. 1:39-56.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini bukan hari Minggu, namun kita merayakan secara lain misteri Paskah Yesus, yang mengubah jalannya sejarah. Dalam diri Maria dari Nazaret, kita mengenali sejarah kita: sejarah Gereja, yang terbenam dalam nasib bersama umat manusia. Dengan mengambil rupa daging dalam diri Maria, Allah kehidupan — Allah kebebasan — telah menaklukkan maut. Ya, hari ini kita merenungkan bagaimana Allah mengalahkan maut — namun tak pernah tanpa kita. Ia meraja, tetapi "ya" kita terhadap kasih-Nya dapat mengubah segalanya. Di kayu salib, Yesus dengan bebas mengucapkan "ya" yang akan melucuti kuasa maut — maut yang masih menjalar di mana pun tangan kita tersalib dan hati kita tetap terpenjara oleh rasa takut dan ketidakpercayaan. Di kayu salib, kepercayaan menang; demikian pula kasih, yang melihat apa yang akan datang; dan pengampunan menang.

 

Maria hadir di sana, bersatu dengan Putranya. Di zaman kita, kita seperti Maria setiap kali kita tidak melarikan diri, setiap kali kita menjadikan "ya" Yesus sebagai "ya" kita. "Ya" itu masih hidup dan menolak maut dalam diri para martir zaman kita, dalam kesaksian iman dan keadilan, kelembutan dan perdamaian. Maka, hari sukacita ini juga menjadi hari yang memanggil kita untuk memilih – bagaimana dan untuk siapa kita akan hidup.

 

Perayaan liturgi Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga menawarkan kita Bacaan Injil tentang kunjungan Maria. Santo Lukas mencatat dalam bacaan ini sebuah momen yang menentukan dalam panggilan Maria. Sungguh indah mengenang hari itu, saat kita merayakan momen puncak kehidupannya. Setiap kisah manusia, bahkan kisah Bunda Allah, singkat di bumi ini dan akan berakhir. Namun tidak ada yang hilang. Ketika sebuah kehidupan berakhir, keunikannya bahkan bersinar lebih jelas. Magnificat, yang dalam Bacaan Injil ditempatkan di bibir Maria yang masih belia, sekarang memancarkan terang seluruh harinya. Satu hari saja — hari ia bertemu sepupunya Elisabet — mengandung benih dari setiap hari lainnya, dari setiap musim lainnya. Dan kata-kata saja tidak cukup; sebuah kidung dibutuhkan, kidung yang terus dinyanyikan dalam Gereja “turun-temurun” (Luk 1:50), di setiap penghujung hari. Kesuburan yang mengejutkan dari Elisabet yang mandul meneguhkan kepercayaan Maria; mengantisipasi kesuburan jawaban "ya"-nya, yang juga mencakup kesuburan Gereja dan seluruh umat manusia setiap kali Sabda Allah yang memperbarui disambut. Hari itu, dua perempuan bertemu dalam iman, lalu tinggal bersama selama tiga bulan untuk saling mendukung, bukan hanya dalam hal-hal praktis tetapi juga cara baru dalam membaca sejarah.

 

Maka, saudara-saudari terkasih, kebangkitan memasuki dunia kita bahkan hingga hari ini. Kata-kata dan pilihan kematian mungkin tampak menang, tetapi kehidupan Allah menerobos keputusasaan kita melalui pengalaman nyata persaudaraan dan gestur solidaritas yang baru. Sebelum menjadi takdir akhir kita, kebangkitan mengubah rupa — dalam jiwa dan raga — tempat tinggal kita di bumi. Kidung Maria, Magnificat, menguatkan pengharapan orang-orang yang rendah hati, lapar, dan hamba-hamba Allah yang setia. Mereka adalah para pria dan wanita Sabda Bahagia yang, bahkan dalam kesengsaraan, sudah melihat yang tak terlihat: orang-orang berkuasa diturunkan dari takhta mereka, orang-orang kaya diusir dengan tangan hampa, janji-janji Allah digenapi. Pengalaman-pengalaman semacam itu seharusnya ditemukan dalam setiap komunitas kristiani. Pengalaman-pengalaman itu mungkin tampak mustahil, tetapi Sabda Allah terus dinyatakan. Ketika ikatan lahir, yang dengannya kita menghadapi kejahatan dengan kebaikan dan kematian dengan kehidupan, kita melihat bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah (bdk. Luk 1:37).

 

Terkadang, sayangnya, ketika kecukupan diri manusia merajalela, ketika kenyamanan materi dan rasa puas diri menumpulkan hati nurani, iman ini dapat menjadi usang. Kemudian kematian datang dalam bentuk kepasrahan dan keluhan, nostalgia dan ketakutan. Alih-alih membiarkan dunia lama berlalu, kita masih berpegang teguh padanya, mencari pertolongan orang kaya dan berkuasa, yang seringkali disertai dengan penghinaan terhadap orang miskin dan kecil. Namun, Gereja hidup dalam anggota-anggotanya yang rapuh, dan diperbarui oleh Magnificat mereka. Bahkan di zaman kita, komunitas-komunitas kristiani yang miskin dan teraniaya, para saksi kelembutan dan pengampunan di tempat-tempat pertikaian, dan para pembawa damai serta pembangun jembatan di dunia yang hancur, adalah sukacita Gereja. Mereka adalah kesuburannya yang abadi, buah-buah sulung Kerajaan yang akan datang. Banyak dari mereka adalah perempuan, seperti Elisabet yang lanjut usia dan Maria yang masih belia — perempuan-perempuan Paskah, para rasul kebangkitan. Marilah kita ditobatkan oleh kesaksian mereka!

 

Saudara-saudari, ketika dalam kehidupan ini kita “memilih kehidupan” (Ul 30:19), kita sungguh melihat dalam diri Maria, yang diangkat ke surga, takdir kita. Ia diberikan kepada kita sebagai tanda bahwa kebangkitan Yesus bukan peristiwa yang terasing, bukan sekadar pengecualian. Di dalam Kristus, kita juga dapat “menelan maut” (bdk. 1 Kor 15:54). Memang, itu adalah karya Allah, bukan karya kita. Namun Maria adalah persatuan rahmat dan kebebasan yang menakjubkan, yang mendorong kita masing-masing untuk memiliki kepercayaan, keberanian, dan partisipasi dalam kehidupan umat Allah. “Yang Maha Kuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku” (Luk 1:49): semoga kita masing-masing mengetahui sukacita ini dan mewartakannya dengan nyanyian baru. Janganlah kita takut memilih kehidupan! Mungkin tampak berisiko dan ceroboh. Banyak suara berbisik: “Untuk apa repot-repot? Lupakan saja. Pikirkan kepentinganmu sendiri.” Ini adalah suara-suara maut. Tetapi kita adalah murid-murid Kristus. Kasih-Nyalah yang menggerakkan kita — jiwa dan raga — di zaman kita. Sebagai individu dan Gereja, kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri. Inilah — dan hanya inilah — yang menyebarkan kehidupan dan memungkinkan kehidupan berjaya. Kemenangan kita atas maut dimulai di sini dan saat ini.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Agustus 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XVIII (MISA YUBILEUM ORANG MUDA) 3 Agustus 2025

Bacaan Ekaristi : Pkh. 1:2; 2:21-23; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Kol. 3:1-5.9-11; Luk. 12:13-21.

 

Orang muda terkasih,

 

Setelah Doa Vigili tadi malam, kita berkumpul kembali hari ini untuk merayakan Ekaristi, sakramen pemberian diri Tuhan sepenuhnya bagi kita. Hari ini kita dapat membayangkan diri kita menelusuri kembali perjalanan yang dilakukan para murid pada malam Paskah di jalan menuju Emaus (bdk. Luk 24:13-35): mereka berangkat dari Yerusalem dengan ketakutan dan kekecewaan, yakin bahwa, setelah kematian Yesus, tidak ada lagi yang bisa diharapkan, tidak ada tempat untuk menaruh pengharapan mereka. Namun mereka kemudian menemukan-Nya di sepanjang jalan, menyambut-Nya sebagai teman seperjalanan, mendengarkan-Nya ketika Ia menjelaskan Kitab Suci, dan kemudian mengenali-Nya saat Ia memecah-mecahkan roti. Mata mereka terbuka, dan kabar penuh sukacita Paskah mendapat tempat di hati mereka.

 

Liturgi hari ini tidak secara langsung menyebut peristiwa ini, tetapi mengajak kita untuk merenungkan apa yang diceritakannya: perjumpaan dengan Kristus yang bangkit, yang mengubah rupa hidup kita dan menerangi kasih sayang, keinginan, dan pikiran kita.

 

Bacaan Pertama, yang diambil dari Kitab Pengkhotbah, mengajak kita, seperti kedua murid itu, untuk berdamai dengan pengalaman keterbatasan kita dan sifat fana dari segala sesuatu yang sekejab (bdk. Pkh. 1:2; 2:21-23). Senada dengan itu, Mazmur Tanggapan menyajikan kepada kita gambaran tentang "rumput yang akan binasa, di waktu pagi bersemi dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu" (Mzm. 90:5-6). Ini adalah dua pengingat kuat yang mungkin sedikit mengejutkan, tetapi seharusnya tidak membuat kita takut seolah-olah keduanya merupakan isu "tabu" yang harus dihindari. Kerapuhan yang dibicarakan keduanya, sesungguhnya, merupakan bagian dari keajaiban ciptaan. Bayangkan gambaran rumput: bukankah lahan bunga yang indah? Tentu saja, ia rapuh, terdiri dari batang-batang kecil yang rapuh, rentan mengering, bengkok, dan patah. Namun, di saat yang sama, bunga-bunga ini segera digantikan oleh bunga-bunga lain yang tumbuh setelahnya, diberi nutrisi dan pupuk berlimpah oleh bunga-bunga pertama saat mereka membusuk di tanah. Beginilah cara lahan ini bertahan: melalui regenerasi yang terus menerus. Bahkan selama bulan-bulan musim dingin yang menusuk tulang, ketika segalanya tampak sunyi, energinya bergejolak di bawah tanah, bersiap untuk mekar menjadi ribuan warna saat musim semi tiba.

 

Kita juga, sahabat-sahabat terkasih, diciptakan seperti ini, kita diciptakan untuk ini. Kita tidak diciptakan untuk kehidupan di mana segala sesuatunya dianggap biasa dan statis, melainkan untuk keberadaan yang terus diperbarui melalui pemberian diri dalam kasih. Inilah sebabnya kita senantiasa mendambakan sesuatu yang "lebih" yang tak dapat diberikan oleh realitas ciptaan mana pun; kita merasakan dahaga yang mendalam dan membara yang tak dapat dipuaskan oleh minuman apa pun di dunia ini. Mengetahui hal ini, janganlah kita menipu hati kita dengan mencoba memuaskannya dengan tiruan murahan! Marilah kita lebih baik mendengarkan mereka! Marilah kita ubah dahaga ini menjadi pijakan, seperti anak-anak yang berjinjit, untuk mengintip melalui jendela perjumpaan dengan Allah. Kita kemudian akan menemukan diri kita di hadapan-Nya, yang sedang menunggu kita, mengetuk lembut jendela jiwa kita (bdk. Why 3:20). Sungguh indah, terutama di usia muda, membuka lebar-lebar hati kita, memperkenankan Dia masuk, dan memulai petualangan ini bersama-Nya menuju kekekalan.

 

Santo Agustinus, merenungkan pencariannya yang mendalam akan Allah, bertanya pada dirinya sendiri: “Lalu, apa objek pengharapan kita [...]? Apakah bumi? Tidak. Apakah sesuatu yang berasal dari bumi, seperti emas, perak, pohon, tanaman, atau air [...]? Hal-hal ini menyenangkan, hal-hal ini indah, hal-hal ini baik” (Sermo 313/F, 3). Dan kesimpulan yang ia capai adalah: “Carilah Dia yang menciptakannya, Dialah pengharapanmu” (idem). Merenungkan perjalanannya sendiri, ia berdoa, katanya: “Engkau [Tuhan] ada di dalam diriku, tetapi aku ada di luar, dan di sanalah aku mencari-Mu […] Engkau memanggil, Engkau berseru, dan Engkau menembus ketulianku. Engkau bersinar, Engkau bersinar dan Engkau menghalau kebutaanku. Engkau menghembuskan keharuman-Mu kepadaku; aku menghirup napas dan sekarang aku merintih merindukan-Mu. Aku telah mengecap Engkau (bdk. Mzm 34:9; 1Ptr 2:3) sekarang aku lapar dan haus akan lebih banyak lagi (bdk. Mat 5:6; 1 Kor 4:11); Engkau menjamahku, dan aku terbakar oleh damai-Mu” (Pengakuan-pengakuan, 10, 27).

 

Saudari-saudari, kata-kata ini indah dan mengingatkan kita pada apa yang disampaikan Paus Fransiskus bagi orang muda sepertimu di Lisbon pada Hari Orang Muda Sedunia: “Kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak memiliki jawaban sederhana atau langsung, tetapi menantang kita untuk melanjutkan perjalanan, untuk bangkit melampaui diri kita serta melampaui apa yang ada di sini dan saat ini. [...] Kita dipanggil untuk sesuatu yang lebih tinggi, dan kita tidak akan pernah bisa terbang tinggi kecuali kita terbang terlebih dahulu. Maka, kita tidak perlu khawatir jika kita merasakan dahaga batin, kerinduan yang gelisah dan tak terpenuhi akan makna dan masa depan [...] Kita tidak boleh lesu, tetapi tetap hidup!” (Wejangan kepada Mahasiswa, 3 Agustus 2023).

 

Ada pertanyaan yang membara di hati kita, kebutuhan akan kebenaran yang tidak dapat kita abaikan, yang membuat kita bertanya pada diri sendiri: apa itu kebahagiaan sejati? Apa arti hidup yang sebenarnya? Apa yang dapat membebaskan kita dari jerat ketidakbermaknaan, kebosanan, dan biasa-biasa saja?

 

Dalam beberapa hari terakhir, kamu telah mengalami banyak pengalaman yang indah. Kamu telah bertemu dengan orang muda lainnya dari berbagai belahan dunia dan beragam budaya. Kamu telah bertukar pengetahuan, berbagi pengharapan, dan berdialog dengan kota melalui seni, musik, teknologi, dan olahraga. Di Circus Maximus, kamu juga menerima Sakramen Tobat dan menerima pengampunan Allah, memohon pertolongan-Nya untuk menjalani hidup yang baik.

 

Melalui semua ini, kamu dapat memahami sebuah poin penting: kepenuhan keberadaan kita tidak bergantung pada apa yang kita timbun atau, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Injil, pada apa yang kita miliki (bdk. Luk 12:13-21). Sebaliknya, kepenuhan berkaitan dengan apa yang kitaterima dan bagikan dengan sukacita (bdk. Mat 10:8-10; Yoh 6:1-13). Membeli, menimbun, dan mengonsumsi saja tidak cukup. Kita perlu menengadah, memandang ke atas, kepada "hal-hal yang di atas" (Kol 3:2), untuk menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki makna hanya sejauh hal itu berfungsi untuk mempersatukan kita dengan Allah dan dengan saudara-saudari kita dalam kasih, membantu kita untuk bertumbuh dalam "belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran" (Kol 3:12), pengampunan (bdk. idem, ayat 13) dan damai sejahtera (bdk. Yoh 14:27), semuanya dalam meneladani Kristus (bdk. Flp 2:5). Dan dengan cara ini kita akan bertumbuh dalam pemahaman yang semakin dalam tentang apa artinya pengharapan yang tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (bdk. Rm 5:5).

 

Orang muda terkasih, Yesus adalah pengharapan kita. Dialah, sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II, “yang membangkitkan dalam dirimu hasrat untuk melakukan sesuatu yang besar dengan hidupmu [...] untuk berkomitmen ... memperbaiki diri dan masyarakat, menjadikan dunia semakin manusiawi dan bersaudara.” (Hari Orang Muda Sedunia XV, Doa Vigili, 19 Agustus 2000). Marilah kita tetap bersatu dengan-Nya, marilah kita tetap bersahabat dengan-Nya, senantiasa, memupuknya melalui doa, adorasi, Komuni Ekaristi, Pengakuan Dosa yang sering, dan kasih yang murah hati, mengikuti teladan Beato Piergiorgio Frassati dan Beato Carlo Acutis yang akan segera diangkat menjadi santo. Bercita-citalah untuk hal-hal yang besar, untuk kekudusan, di mana pun kamu berada. Jangan puas dengan yang kurang. Kamu akan melihat terang Injil bertumbuh setiap hari, di dalam dirimu dan di sekitarmu.

 

Saya memercayakan kalian kepada Perawan Maria, Bunda Pengharapan. Dengan pertolongannya, saat kamu kembali ke negaramu masing-masing dalam beberapa hari mendatang, di setiap belahan dunia, teruslah berjalan dengan penuh sukacita mengikuti jejak Sang Juruselamat, serta sebarkanlah antusiasme dan kesaksian imanmu kepada setiap orang yang kamu temui! Semoga perjalanan pulangmu menyenangkan!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 3 Agustus 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XVI DI GEREJA KATEDRAL ALBANO 20 Juli 2025

Bacaan Ekaristi : Kej. 18:1-10a; Mzm. 15:2-3ab,3cd-4ab,5; Kol. 1:24-28; Luk. 10:38-42.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini saya sangat bahagia berada di sini, di Gereja Katedral yang indah ini, untuk merayakan Ekaristi. Sebagaimana kamu ketahui, saya seharusnya berada di sini pada tanggal 12 Mei, tetapi Roh Kudus bekerja dengan cara yang berbeda. Namun, saya sungguh senang berada bersamamu serta dalam semangat persaudaraan dan sukacita kristiani, saya menyapa kamu semua yang hadir di sini, Yang Mulia, serta para uskup Keuskupan, dan para pemimpin yang hadir.

 

Dalam Misa ini, baik Bacaan Pertama maupun Bacaan Injil mengajak kita untuk merenungkan keramahtamahan, pelayanan, dan mendengarkan (bdk. Kej 18:1-10; Luk 10:38-42).

 

Pertama, Allah mengunjungi Abraham dalam sosok "tiga orang" yang tiba di kemahnya "pada saat hari panas terik" (bdk. Kej 18:1-2). Adegannya mudah dibayangkan: cahaya matahari yang menyengat, keheningan padang gurun, panas terik, dan ketiga orang asing yang mencari perlindungan. Abraham duduk "di pintu kemahnya," posisi tuan rumah, dan sungguh menggugah melihat bagaimana ia menjalankan peran ini. Menyadari kehadiran Allah dalam diri para tamu, ia bangkit, berlari menyongsong mereka, dan bersujud sampai ke tanah memohon agar mereka tetap tinggal. Dengan demikian, seluruh adegan menjadi hidup. Keheningan senja dipenuhi dengan gestur kasih yang tidak hanya melibatkan Sang Bapa Bangsa, tetapi juga istrinya, Sara, dan para hamba. Abraham tidak lagi duduk, tetapi berdiri “di bawah pohon di dekat mereka” (Kej 18:8), dan di sanalah Allah memberinya kabar terbaik yang mungkin ia harapkan: “Sara, istrimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki” (Kej 18:10).

 

Dinamika perjumpaan ini membawa kita untuk merenungkan bagaimana Allah memilih jalan keramahtamahan untuk masuk ke dalam kehidupan Sara dan Abraham serta menyampaikan bahwa mereka akan memiliki seorang anak, yang telah lama mereka dambakan meski mereka telah putus asa. Setelah mengunjungi mereka sebelumnya dalam banyak momen penuh rahmat, Allah kembali mengetuk pintu mereka, memohon keramahtamahan dan kepercayaan. Pasutri yang telah lanjut usia itu menanggapi dengan positif, meskipun belum memahami apa yang akan terjadi. Mereka menyadari berkat dan kehadiran Allah dalam diri para tamu misterius itu, dan menawarkan apa yang mereka miliki: makanan, kebersamaan, pelayanan, dan naungan pohon. Sebagai balasannya, mereka menerima janji kehidupan baru dan keturunan.

 

Meskipun situasinya berbeda, Bacaan Injil juga mengajarkan kita tentang cara Allah bertindak. Di sini pun, Yesus menampakkan diri sebagai tamu di rumah Marta dan Maria. Namun, kali ini, Ia bukanlah orang asing: Ia datang ke rumah sahabat-sahabat-Nya di tengah suasana pesta. Salah satu saudari menyambut-Nya dengan melayani-Nya, sementara yang lain duduk di kaki-Nya, mendengarkan seperti seorang murid mendengarkan gurunya. Sebagaimana kita ketahui, Yesus menanggapi keluhan saudari pertama yang membutuhkan bantuan untuk tugas-tugas yang ada dengan mengajaknya untuk menyadari pentingnya mendengarkan (bdk. Luk 10:41-42).

 

Akan tetapi, tidaklah tepat jika kita menganggap kedua sikap ini saling eksklusif, atau membandingkan jasa kedua perempuan ini. Melayani dan mendengarkan, sesungguhnya, merupakan dimensi kembar dari keramahtamahan.

 

Hubungan kita dengan Allah adalah yang utama. Meskipun benar bahwa kita harus menghidupi iman kita melalui tindakan nyata, dengan setia menjalankan tugas kita sesuai dengan status hidup dan panggilan kita, penting bagi kita untuk melakukannya hanya setelah merenungkan Sabda Allah dan mendengarkan apa yang dikatakan Roh Kudus dalam hati kita. Untuk tujuan ini, kita hendaknya menyisihkan saat-saat hening, saat-saat doa, saat-saat di mana, dengan meredam kebisingan dan gangguan, kita merenungkan diri kita di hadapan Allah dalam kesederhanaan hati. Inilah dimensi kehidupan kristiani yang khususnya perlu kita pulihkan saat ini, baik sebagai nilai bagi individu maupun komunitas, maupun sebagai tanda kenabian bagi zaman kita. Kita harus menyediakan ruang untuk hening, untuk mendengarkan Bapa yang berbicara dan "melihat yang tersembunyi" (Mat. 6:6). Musim panas dapat menjadi waktu yang tepat untuk mengalami keindahan dan pentingnya hubungan kita dengan Allah, dan betapa hal itu dapat membantu kita menjadi lebih terbuka, lebih ramah terhadap orang lain.

 

Selama musim panas, kita memiliki lebih banyak waktu luang untuk berpikir dan merenung, serta bepergian dan menghabiskan waktu bersama. Marilah kita manfaatkan waktu ini sebaik-baiknya, dengan meninggalkan hiruk-pikuk komitmen dan kekhawatiran untuk menikmati sejenak kedamaian, refleksi, dan meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat lain serta ambil bagian dalam sukacita bertemu orang lain — seperti yang saya lakukan di sini hari ini. Marilah kita jadikan musim panas sebagai kesempatan untuk peduli terhadap sesama, saling mengenal, dan menawarkan nasihat serta mendengarkan, karena semua itu adalah ungkapan kasih, dan itulah yang kita semua butuhkan. Marilah kita melakukannya dengan berani. Dengan demikian, melalui solidaritas, dalam berbagi iman dan kehidupan, kita akan membantu mempromosikan budaya damai, membantu orang-orang di sekitar kita mengatasi perpecahan dan permusuhan, serta membangun persekutuan antarindividu, bangsa, dan agama.

 

Paus Fransiskus berkata, “Jika kita ingin menikmati hidup dengan sukacita, kita harus mengaitkan dua pendekatan ini: di satu sisi, ‘berada di kaki’ Yesus, untuk mendengarkan-Nya saat Ia menyingkapkan rahasia segala sesuatu kepada kita; di sisi lain, bersikap penuh perhatian dan siap sedia dalam keramahtamahan, ketika Ia lewat dan mengetuk pintu kita, dengan wajah seorang sahabat yang membutuhkan waktu istirahat dan persaudaraan” (Doa Malaikat Tuhan, 21 Juli 2019). Kata-kata ini diucapkan hanya beberapa bulan sebelum pandemi melanda; pengalaman panjang dan sulit itu, yang masih kita ingat, mengajarkan kita banyak hal tentang kebenarannya.

 

Tentu saja semua ini membutuhkan usaha. Melayani dan mendengarkan tidak selalu mudah; keduanya membutuhkan kerja keras dan kemampuan untuk berkorban. Misalnya, dibutuhkan usaha dalam mendengarkan dan melayani agar dapat menjadi ibu dan ayah yang setia dan penuh kasih dalam membesarkan keluarga, demikian juga dibutuhkan usaha bagi anak-anak untuk menanggapi kerja keras orang tua mereka di rumah dan di sekolah. Juga dibutuhkan usaha untuk saling memahami ketika terjadi perselisihan, mengampuni ketika seseorang berbuat salah, menolong ketika seseorang sakit, dan saling menghibur di saat sedih. Namun, justru dengan berusaha, sesuatu yang berharga dapat dibangun dalam hidup; itulah satu-satunya cara untuk membentuk dan memelihara hubungan yang kuat dan tulus antarmanusia. Dengan demikian, dengan fondasi kehidupan sehari-hari, Kerajaan Allah bertumbuh dan menyatakan kehadirannya (bdk. Luk 7:18-22).

 

Santo Agustinus, merenungkan kisah Marta dan Maria dalam salah satu homilinya, berkata: “Kedua perempuan ini melambangkan dua kehidupan: masa kini dan masa depan; kehidupan yang dijalani dengan jerih payah dan kehidupan yang penuh ketenangan; yang satu penuh masalah dan yang lainnya penuh berkat; yang satu sementara, yang lainnya abadi” (Khotbah 104, 4). Dan merenungkan pekerjaan Marta, Agustinus berkata, “Siapakah yang terbebas dari kewajiban merawat sesama? Siapakah yang dapat beristirahat dari tugas-tugas ini? Marilah kita berusaha melaksanakannya dengan kasih dan sedemikian rupa sehingga tak seorang pun akan dapat menemukan kesalahan pada kita... Kelelahan akan berlalu dan ketenangan akan datang, tetapi ketenangan hanya akan datang melalui usaha yang dilakukan. Perahu akan berlayar dan mencapai tanah airnya; tetapi tanah air tidak akan tercapai kecuali melalui perahu” (idem, 6-7).

 

Hari ini, Abraham, Marta, dan Maria mengingatkan kita bahwa mendengarkan dan melayani adalah dua sikap yang saling melengkapi yang memampukan kita untuk membuka diri dan hidup kita bagi berkat-berkat Tuhan. Teladan mereka mengajak kita untuk menyelaraskan kontemplasi dan tindakan, istirahat dan kerja keras, keheningan dan kesibukan hidup kita sehari-hari dengan kebijaksanaan dan keseimbangan, senantiasa menjadikan kasih Yesus sebagai ukuran kita, Sabda-Nya sebagai terang kita, dan anugerah-Nya sebagai sumber kekuatan kita, yang menopang kita melampaui batas kemampuan kita (bdk. Flp. 4:13).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 20 Juli 2025)