Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXXIII (MISA YUBILEUM ORANG MISKIN - HARI ORANG MISKIN SEDUNIA IX) 16 November 2025

Bacaan Ekaristi : Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari-hari Minggu terakhir tahun liturgi mengundang kita untuk melihat akhir sejarah. Dalam Bacaan Pertama, Nabi Maleakhi melihat kedatangan "hari Tuhan" sebagai awal dari sebuah era baru. Hari itu digambarkan sebagai waktu Allah, ketika, bagaikan fajar yang memancarkan surya kebenaran, pengharapan orang-orang miskin dan rendah hati akan menerima jawaban akhir dan definitif dari Tuhan, dan perbuatan orang fasik serta ketidakadilan mereka, terutama terhadap orang-orang yang tak berdaya dan miskin, akan ditumpas dan dibakar seperti jerami.

 

Surya kebenaran yang terbit ini, sebagaimana kita ketahui, adalah Yesus sendiri. Hari Tuhan, sesungguhnya, bukan hanya hari terakhir sejarah; hari Tuhan adalah semakin mendekatnya Kerajaan Allah bagi setiap orang dalam kedatangan Putra Allah. Dalam Bacaan Injil, dengan menggunakan bahasa apokaliptik yang khas pada zaman-Nya, Yesus mewartakan dan menginagurasikan Kerajaan ini. Dia sendiri adalah kuasa Allah, yang hadir dan berperan aktif dalam peristiwa-peristiwa dramatis sejarah. Peristiwa-peristiwa ini hendaknya tidak menakutkan para murid, melainkan memampukan mereka untuk bertekun dalam kesaksian mereka, karena mereka tahu bahwa janji Yesus selalu hidup dan setia: "Tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang" (Luk. 21:18).

 

Saudara-saudari, kita berlabuh dalam pengharapan ini, terlepas dari peristiwa-peristiwa kehidupan yang terkadang malang. Bahkan dewasa ini, "dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju. Gereja mewartakan salib dan wafat Tuhan, hingga Ia datang" (Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, 8). Dan ketika segenap pengharapan manusia tampaknya padam, keyakinan ini, yang lebih teguh daripada langit dan bumi, menjadi semakin kuat, karena Tuhan tidak akan membiarkan sehelai pun dari rambut kepala kita hilang.

 

Di tengah penganiayaan, penderitaan, pergumulan, dan penindasan dalam kehidupan pribadi kita dan dalam masyarakat, Allah tidak meninggalkan kita. Ia menyatakan diri-Nya sebagai yang berada di pihak kita. Kitab Suci dijalin dengan benang emas yang menceritakan kisah Allah, yang selalu berpihak kepada orang kecil, anak yatim, pendatang, dan janda (bdk. Ul. 10:17-19). Dan dalam Yesus, Putra-Nya, kedekatan Allah mencapai puncak kasih. Karena itu, kehadiran dan sabda Kristus menjadi kegembiraan dan yubileum bagi orang yang paling miskin, karena Ia datang untuk mewartakan kabar baik kepada orang-orang miskin dan memberitakan tahun rahmat Tuhan (bdk. Luk 4:18-19).

 

Secara istimewa hari ini kita juga sedang berpartisipasi dalam tahun rahmat ini, saat kita merayakan Yubileum Orang Miskin pada Hari Orang Miskin Sedunia ini. Selagi seluruh Gereja bergembira dan bersukacita, khususnya kepadamu, saudara-saudari terkasih, saya ingin mewartakan sabda Tuhan Yesus sendiri yang tak terbantahkan: "Dilexi te, Aku mengasihi engkau" (Why 3:9). Ya, di hadapan kekecilan dan kemiskinan kita, Allah memandang kita tiada taranya dan mencintai kita dengan kasih yang kekal. Dan Gereja-Nya, bahkan hingga saat ini, mungkin khususnya di zaman kita, yang masih terluka oleh bentuk kemiskinan lama dan baru, berharap untuk menjadi "bunda orang miskin, tempat penyambutan dan keadilan" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 39).

 

Sangat banyak bentuk kemiskinan menindas dunia kita! Pertama dan terutama adalah bentuk-bentuk kemiskinan materi, tetapi ada juga banyak situasi kemiskinan moral dan spiritual, yang seringkali memengaruhi orang muda dengan cara tertentu. Tragedi yang melanda mereka semua adalah kesepian. Kita ditantang untuk memandang kemiskinan secara menyeluruh, karena meskipun terkadang memang perlu untuk menanggapi kebutuhan mendesak, kita juga harus mengembangkan budaya perhatian, justru untuk meruntuhkan tembok kesepian. Maka, marilah kita memperhatikan sesama, setiap orang, di mana pun kita berada, di mana pun kita tinggal, menularkan sikap ini dalam keluarga kita, menghidupinya di tempat kerja dan lingkungan akademis, di berbagai komunitas, di dunia digital, di mana pun, menjangkau mereka yang terpinggirkan dan menjadi saksi kelembutan Allah.

 

Dewasa ini, skenario perang, yang sayangnya terjadi di berbagai wilayah di dunia, tampaknya semakin menegaskan bahwa kita berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Namun, globalisasi ketidakberdayaan muncul dari sebuah kebohongan, dari keyakinan bahwa sejarah selalu seperti ini dan tidak dapat diubah. Bacaan Injil, di sisi lain, mengingatkan kita bahwa justru dalam pergolakan sejarahlah Tuhan datang untuk menyelamatkan kita. Dan dewasa ini, sebagai komunitas kristiani, bersama orang miskin, kita harus menjadi tanda yang hidup keselamatan ini.

 

Kemiskinan menantang umat kristiani, tetapi juga menantang semua orang yang bertanggung jawab dalam masyarakat. Saya mendesak para kepala negara dan para pemimpin bangsa untuk mendengarkan jeritan orang yang paling miskin. Tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan, dan orang miskin mengingatkan kita akan hal ini dalam banyak cara, melalui migrasi maupun melalui jeritan mereka, yang seringkali diredam oleh mitos kesejahteraan dan kemajuan yang tidak mempertimbangkan semua orang, dan justru melupakan banyak individu, membiarkan mereka menghadapi nasib mereka sendiri.

 

Kepada para pekerja amal, begitu banyak relawan, dan orang-orang yang berupaya meringankan beban hidup orang-orang yang paling miskin, saya menyampaikan rasa terima kasih, sekaligus mendorong untuk terus menjadi suara hati yang kritis bagi masyarakat. Kamu semua tahu betul persoalan orang miskin berpangkal pada hakikat iman kita, karena mereka adalah daging Kristus sendiri dan bukan sekadar kategori sosiologis (bdk. Dilexi Te, 110). Karena itulah, “Gereja, bagaikan seorang ibu, mendampingi mereka yang sedang berjalan. Di mana dunia melihat ancaman, ia melihat anak-anak; di mana tembok dibangun, ia membangun jembatan” (idem, 75).

 

Marilah kita semua bersatu dalam komitmen ini. Sebagaimana ditulis Rasul Paulus kepada umat kristiani di Tesalonika (bdk. 2Tes. 3:6-13): sambil menantikan kedatangan Tuhan yang mulia, kita tidak boleh hidup tertutup, dalam keterasingan religius yang mengasing kita dari sesama dan sejarah. Sebaliknya, mencari Kerajaan Allah menyiratkan keinginan untuk mengubah hidup berdampingan manusiawi menjadi ruang persaudaraan dan martabat bagi semua orang, tanpa terkecuali. Selalu ada bahaya hidup seperti pendatang yang kehilangan arah, tidak peduli dengan tujuan akhir dan pada orang-orang yang ambil bagian dalam perjalanan bersama kita.

 

Dalam Yubileum Orang Miskin ini, marilah kita terinspirasi oleh kesaksian para kudus yang melayani Kristus dalam diri orang-orang yang paling membutuhkan dan mengikuti-Nya di jalan kerendahan hati dan penyangkalan diri. Secara khusus, saya ingin menyebut Santo Benediktus Joseph Labre, yang hidup sebagai "pengembara Allah", mencirikannya sebagai santo pelindung para tunawisma. Perawan Maria, melalui Magnificat-nya, terus mengingatkan kita akan pilihan-pilihan Allah dan telah menjadi suara bagi orang-orang yang tak bersuara. Semoga Maria membantu kita merangkul cara berpikir baru Kerajaan Allah, sehingga dalam kehidupan kristiani kita, kasih Allah, yang menyambut, membalut luka, mengampuni, menghibur, dan menyembuhkan, senantiasa hadir.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 16 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PERINGATAN WAJIB SANTO MARTINUS DARI TOURS (MISA 125 TAHUN PEMBERKATAN GEREJA SANTO ANSELMUS ROMA) 11 November 2025

Bacaan Ekaristi : Yeh 43:1-2,4-7a; 1Ptr 2:4-9; Mat. 16:13-20.

 

"Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku" (Mat 16:18). Saudara-saudari terkasih, kita telah mendengar sabda Yesus ini saat kita memperingati 125 tahun pemberkatan gereja ini, yang sangat dinantikan oleh Paus Leo XIII, yang mendukung pembangunannya.

 

Ia bermaksud agar bangunan ini, beserta bangunan Kolese Internasional yang diambil alih, berkontribusi dalam memperkuat kehadiran Benediktin dalam Gereja dan dunia, melalui persatuan yang semakin erat dalam Konfederasi Benediktin. Inilah tujuan dibentuknya pelayanan rahib utama. Ia percaya tarekatmu yang telah lama didirikan dapat memberikan pelayanan yang luar biasa bagi kesejahteraan seluruh umat Allah di masa yang penuh tantangan, seperti peralihan dari abad ke-19 menuju abad ke-20.

 

Memang, monastisisme, sejak awal, telah menjadi kenyataan "perbatasan", yang mendorong para manusia pemberani untuk mendirikan pusat doa, karya, dan amal di tempat-tempat paling terpencil dan sulit dijangkau, yang seringkali mengubah daerah-daerah terpencil menjadi tanah yang subur dan kaya, baik secara pertanian maupun ekonomi, tetapi terutama secara rohani. Dengan demikian, biara semakin menjadi tempat pertumbuhan, kedamaian, keramahtamahan, dan persatuan, bahkan di masa-masa tergelap dalam sejarah.

 

Zaman kita pun tak luput dari tantangan. Perubahan mendadak yang kita saksikan menantang dan mempertanyakan kita, memunculkan isu-isu yang sebelumnya tak terlihat. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa, seperti Rasul Petrus, dan bersamanya Benediktus dan begitu banyak orang lainnya, kita juga dapat menanggapi tuntutan panggilan yang telah kita terima hanya dengan menempatkan Kristus di pusat keberadaan dan perutusan kita, dimulai dengan tindakan iman yang membuat kita mengakui-Nya sebagai Juruselamat dan menerjemahkannya ke dalam doa, studi, dan komitmen untuk hidup kudus.

 

Di sini, semua ini dicapai dengan berbagai cara: pertama dalam liturgi, kemudian dalam lectio divina, dalam penelitian, dalam reksa pastoral, dengan melibatkan para rahib dari seluruh dunia dan dengan keterbukaan terhadap para klerus, biarawan dan biarawati, serta kaum awam dari berbagai latar belakang dan keadaan. Biara, Athenaeum, Institut Liturgi, dan kegiatan-kegiatan pastoral yang terkait dengan Gereja, sesuai dengan ajaran Santo Benediktus, harus semakin bertumbuh dalam sinergi sebagai "sekolah pelayanan kepada Allah" yang sejati (Santo Benediktus, Peraturan, Pendahuluan, 45).

 

Karena alasan ini, saya merenungkan kerumitan yang kita temukan sebagai kenyataan yang harus bercita-citakan menjadi jantung yang berdetak dalam tubuh agung dunia Benediktin, yang berpusat, menurut ajaran Santo Benediktus, pada Gereja.

 

Bacaan Pertama (bdk. Yeh 43:1-2,4-7a) menyajikan kepada kita gambaran sungai yang mengalir dari Bait Suci. Gambaran ini selaras dengan gambaran jantung yang memompa darah kehidupan ke seluruh tubuh, sehingga setiap anggota dapat menerima makanan dan kekuatan untuk kepentingan yang lain (bdk. 1Kor 12:20-27); serta dengan gambaran bangunan rohani yang dibicarakan dalam Bacaan Kedua, yang didirikan di atas batu karang yang kokoh yaitu Kristus (bdk. 1Ptr 2:4-9).

 

Dalam sarang Santo Anselmus yang penuh semangat, semoga inilah tempat dari mana segala sesuatu bermula dan ke mana segala sesuatu kembali untuk menemukan verifikasi, konfirmasi, dan pendalaman di hadapan Allah, sebagaimana dianjurkan Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya ke Athenaeum Kepausan dalam rangka peringatan seratus tahun berdirinya. Merujuk pada santo pelindungnya, ia berkata: "Santo Anselmus mengingatkan semua orang [...] bahwa pengetahuan akan misteri ilahi bukanlah sekadar pencapaian kejeniusan manusia, melainkan anugerah yang diberikan Allah kepada orang-orang yang rendah hati dan umat beriman" (Pidato, 1 Juni 1986).

 

Sebagaimana telah disebutkan, ia merujuk pada ajaran Doktor Aosta, tetapi kita berharap bahwa ini juga akan menjadi pesan kenabian yang dibawa lembaga ini kepada Gereja dan dunia, sebagai pemenuhan misi yang telah kita semua terima, untuk menjadi umat yang diperoleh Allah agar kita dapat mewartakan karya-karya agung Dia yang telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (bdk. 1 Ptr 2:9).

 

Pemberkatan sebuah bangunan suci, yang di dalamnya ia dikuduskan sebagai tempat pertemuan antara ruang dan waktu, antara yang terbatas dan yang tak terbatas, antara manusia dan Allah: sebuah pintu terbuka menuju keabadian, tempat jiwa menemukan jawaban atas "tegangan antara segala kejadian saat ini dan cahaya waktu, cakrawala yang lebih luas [...] yang terbuka pada masa depan sebagai sebab akhir yang menarik kita pada dirinya" (Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 222) dalam perjumpaan antara kepenuhan dan keterbatasan yang menyertai perjalanan duniawi kita adalah momen khidmat dalam sejarah.

 

Konsili Vatikan II menggambarkan semua ini dalam salah satu bagian terindahnya, ketika mendefinisikan Gereja bersifat "sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir […] sedemikian rupa sehingga dalam Gereja apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari" (Sacrosanctum Concilium, 2).

 

Itulah pengalaman hidup kita dan hidup manusia di dunia ini, dalam pencarian jawaban hakiki dan mendasar yang dapat dinyatakan "bukan oleh daging maupun darah", melainkan hanya oleh Bapa yang di surga (bdk. Mat 16:17); yang pada akhirnya membutuhkan Yesus, "Kristus, Anak Allah yang hidup" (ayat 16). Kita dipanggil untuk mencari Dia dan kepada-Nya kita dipanggil untuk membawa semua orang yang kita jumpai, bersyukur atas karunia yang telah Ia berikan kepada kita, dan terutama atas kasih yang telah lebih dulu Ia berikan kepada kita (bdk. Rm 5:6). Bait suci ini kemudian akan semakin menjadi tempat sukacita, tempat kita mengalami keindahan berbagi dengan orang lain apa yang telah kita terima dengan cuma-cuma (bdk. Mat 10:8).

______

(Peter Suriadi - Bogor, 12 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PESTA PEMBERKATAN BASILIKA LATERAN 9 November 2025

Bacaan Ekaristi : Yeh. 47:1-2.8-9,12; Mzm. 46:2-3,5-6,8-9; 1Kor. 3:9c-11,16-17; Luk. 19:1-10.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan Pesta Pemberkatan Basilika Santo Yohanes Lateran, yang berlangsung pada abad keempat oleh Paus Silvester I. Basilika ini, yang kemudian dikenal sebagai Katedral Roma, dibangun atas perintah Kaisar Konstantinus, setelah ia memberikan kebebasan kepada umat kristiani untuk menganut iman dan menjalankan agama mereka pada tahun 313.

 

Mengapa kita memperingati peristiwa ini hingga saat ini? Tentu saja untuk mengenang, dengan penuh sukacita dan rasa syukur, sebuah peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi kehidupan Gereja, tetapi ini bukan satu-satunya alasan. Basilika ini, sesungguhnya, "Bunda segala Gereja," lebih dari sekadar monumen atau tugu peringatan bersejarah. Basilika ini adalah "tanda Gereja yang hidup, yang dibangun dengan batu-batu pilihan dan berharga di dalam Kristus Yesus, sang batu penjuru (bdk. 1 Ptr 2:4-5)" (Konferensi Wali Gereja Italia, Ritus Pemberkatan Minyak dan Pemberkatan Gereja dan Altar, Pendahuluan). Dengan demikian, Basilika ini mengingatkan kita bahwa kita juga bagaikan "batu-batu yang hidup dibangun di dunia ini ... yang dibangun menjadi" bait rohani (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 6). Karena alasan ini, sebagaimana dicatat Santo Paulus VI, komunitas kristen perdana segera mulai menerapkan "nama Gereja, yang berarti perkumpulan umat beriman, terhadap bait yang menghimpun mereka" (Doa Malaikat Tuhan, 9 November 1969). Komunitas gerejawi, "Gereja, persekutuan umat beriman, [yang] memberi Basilika Santo Yohanes Lateran struktur eksternalnya yang paling kokoh dan mencolok" (idem). Oleh karena itu, saat kita memandang bangunan ini, marilah kita merenungkan apa artinya menjadi Gereja dalam terang bacaan-bacaan hari ini.

 

Pertama-tama, marilah kita membahas dasarnya. Pentingnya dasar ini jelas, bahkan agak meresahkan. Jika para pembangun tidak menggali cukup dalam untuk menemukan dasar yang kokoh untuk membangun sisanya, seluruh bangunan pasti sudah runtuh sejak lama atau berisiko runtuh kapan saja, yang akan menempatkan kita dalam bahaya besar. Untungnya, para pendahulu kita telah meletakkan dasar yang kokoh bagi Katedral kita, menggali dalam-dalam dengan susah payah sebelum membangun tembok-tembok yang menyambut kita, dan ini membuat kita merasa jauh lebih tenang.

 

Hal ini patut direnungkan. Sebagai pekerja di dalam Gereja yang hidup, kita juga harus terlebih dahulu menggali dalam-dalam diri kita dan di sekitar kita sebelum kita dapat membangun struktur yang mengesankan. Kita harus menyingkirkan material yang tidak stabil yang akan menghalangi kita mencapai batu karang Kristus yang kokoh (bdk. Mat. 7:24-27). Inilah tepatnya yang dibicarakan Santo Paulus dalam Bacaan Kedua ketika ia berkata bahwa "tidak seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus" (1Kor. 3:11). Ini berarti senantiasa kembali kepada Yesus dan Injil-Nya serta taat kepada karya Roh Kudus. Jika tidak, kita berisiko membebani bangunan dengan struktur berat karena penopang dasarnya terlalu lemah.

 

Saudara-saudari terkasih, seraya kita giat melayani Kerajaan Allah, marilah kita tidak tergesa-gesa atau dangkal. Marilah kita menggali lebih dalam, tanpa terhalang oleh kriteria duniawi, yang terlalu sering menuntut hasil instan dan mengabaikan kebijaksanaan menunggu. Sejarah Gereja selama seribu tahun mengajarkan kita bahwa dengan pertolongan Allah, komunitas iman sejati hanya dapat dibangun dengan kerendahan hati dan kesabaran. Komunitas semacam itu mampu menyebarkan kasih, mengembangkan misi, mewartakan, merayakan, dan melayani Magisterium Apostolik yang bait suci ini merupakan pusatnya (bdk. Doa Malaikat Tuhan, 9 November 1969).

 

Adegan yang disajikan kepada kita dalam Bacaan Injil hari ini (Luk 19:1-10) terutama mencerahkan dalam hal ini: Zakheus, orang yang kaya dan berkuasa, tergerak untuk bertemu Yesus. Namun, ia menyadari bahwa ia terlalu pendek untuk bertemu Yesus sehingga memutuskan untuk memanjat pohon. Ini adalah tindakan yang tidak biasa dan tidak pantas bagi seseorang dengan kedudukannya yang terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkannya di kantor cukai seolah-olah itu adalah haknya. Namun kali ini, jalannya lebih panjang dan memanjat dahan pohon berarti Zakheus menyadari keterbatasannya dan mengatasi hambatan kesombongannya. Dengan demikian, ia dapat bertemu Yesus, yang berkata kepadanya, "Hari ini Aku harus menumpang di rumahmu" (ayat 5). Perjumpaan itu menandai awal kehidupan baru bagi Zakheus (bdk. ayat 8).

 

Ketika Yesus memanggil kita untuk ambil bagian dalam rancangan besar Allah, Ia mengubah kita dengan membentuk kita secara terampil sesuai dengan rencana keselamatan-Nya. Dalam beberapa tahun terakhir, gambaran "lokasi pembangunan" sering digunakan untuk menggambarkan perjalanan gerejawi kita. Gambaran indah ini berbicara tentang aktivitas, kreativitas, dan dedikasi, serta kerja keras dan terkadang masalah rumit yang harus dipecahkan. Gambaran ini menangkap upaya nyata dan kasat mata dari komunitas kita yang bertumbuh setiap hari, membagikan karisma mereka di bawah bimbingan para gembala mereka. Gereja Roma, khususnya, menjadi saksi akan hal ini dalam tahap pelaksanaan Sinode saat ini. Apa yang telah matang selama bertahun-tahun kerja kini perlu diuji dan dievaluasi "di lapangan." Ini menyiratkan perjalanan yang berat, tetapi kita tidak boleh berkecil hati. Sebaliknya, kita harus terus melanjutkan dengan keyakinan dalam upaya kita untuk bertumbuh bersama.

 

Pembangunan gedung megah tempat kita berada ini telah mengalami banyak momen kritis, penundaan, dan perubahan terhadap rencana awal. Namun, berkat kegigihan para pendahulu kita, kini kita dapat berkumpul di tempat yang luar biasa ini. Di Roma, kebaikan yang luar biasa sedang bertumbuh berkat upaya banyak orang. Janganlah kita biarkan kelelahan menghalangi kita untuk mengakui dan merayakan kebaikan ini, agar kita dapat memelihara dan memperbarui antusiasme kita. Bagaimanapun, melalui amal kasih dalam tindakan wajah Gereja kita dibentuk, membuatnya semakin jelas bagi semua orang bahwa ia adalah seorang "ibu", "ibu dari semua Gereja", atau bahkan seorang "ibu", sebagaimana dikatakan Santo Yohanes Paulus II ketika berbicara kepada anak-anak pada pesta ini (bdk. Wejangan pada Pesta Pemberkatan Basilika Santo Yohanes Lateran, 9 November 1986).

 

Akhirnya, saya ingin menyebutkan aspek hakiki misi Katedral: liturgi. Liturgi adalah "puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya" (Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10). Di dalamnya, kita menemukan tema-tema yang sama yang telah kita sebutkan: kita dibangun sebagai kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai kita mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus (bdk. idem, 2). Oleh karena itu, pemeliharaan liturgi, khususnya di sini di Takhta Petrus, haruslah sedemikian rupa sehingga dapat menjadi teladan bagi seluruh umat Allah. Liturgi harus selaras dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan, memperhatikan perbedaan kepekaan para peserta, dan berpegang teguh pada prinsip inkulturasi yang bijaksana (bdk. idem, 37-38). Pada saat yang sama, ia harus tetap setia pada kesederhanaan khidmat yang khas tradisi Romawi, yang dapat mendatangkan begitu banyak kebaikan bagi jiwa-jiwa mereka yang berpartisipasi aktif di dalamnya (bdk. idem, 14). Hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar keindahan ritus-ritus yang sederhana mengungkapkan nilai ibadat bagi pertumbuhan yang harmonis seluruh tubuh Tuhan. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, "keindahan tak lain adalah kasih, dan kasih adalah hidup" (Kuliah 365, 1). Kebenaran ini diwujudkan secara istimewa dalam liturgi, dan saya berharap orang-orang yang mendekati altar Katedral Roma pulang dengan dipenuhi rahmat untuk melimpahi dunia sesuai kehendak Tuhan (bdk. Yeh. 47:1-2, 8-9, 12).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 9 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA ARWAH PAUS FRANSISKUS, PARA KARDINAL, DAN PARA USKUP YANG TELAH MENINGGAL DALAM SETAHUN TERAKHIR 3 November 2025

Bacaan Ekaristi : Dan. 12:1-3; 1Tes. 4:13-18; Luk. 24:13-35

 

Saudara-saudara terkasih, para kardinal dan para uskup,

Saudara-saudari terkasih!

 

Hari ini kita memperbarui tradisi yang indah, dalam rangka Pengenangan Arwah Semua Orang Beriman, merayakan Ekaristi guna mengenang para kardinal dan para uskup yang telah meninggalkan kita setahun terakhir, dan kita mempersembahkannya dengan penuh kasih sayang bagi jiwa terpilih Paus Fransiskus, yang wafat setelah membuka Pintu Suci dan menyampaikan berkat Paskah kepada Roma dan dunia. Berkat Yubileum ini, perayaan ini – yang pertama bagi saya – memperoleh cita rasa khas – cita rasa pengharapan kristiani.

 

Sabda Allah yang baru saja kita dengar mencerahkan kita. Pertama dan terutama, dengan sebuah ikon biblis agung yang, dapat dikatakan, merangkum makna Tahun Suci ini: kisah Lukas tentang murid-murid Emaus (Luk 24:13-35). Di dalamnya, kita menemukan representasi yang gamblang tentang ziarah pengharapan, yang melalui perjumpaan dengan Kristus yang bangkit. Titik awalnya adalah pengalaman kematian, dan dalam bentuknya yang terburuk: kematian yang kejam yang membunuh orang-orang tak berdosa dan dengan demikian membuat kita putus asa, patah semangat, dan diliputi kesedihan. Betapa banyak orang – betapa banyak “anak-anak kecil”! – bahkan di zaman kita menderita trauma kematian yang mengerikan ini, yang dirusak oleh dosa. Kepada kematian ini, kita tidak dapat dan tidak boleh mengatakan “laudato si’”, “terpujilah Engkau”, karena Allah Bapa tidak menginginkannya, dan Ia mengutus Putra-Nya ke dunia untuk membebaskan kita darinya. Tertulis: Kristus harus menanggung penderitaan ini agar dapat masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Luk. 24:26) dan memberikan kita hidup yang kekal. Hanya Dia yang dapat menanggung kematian yang merusak ini atas diri-Nya dan di dalam diri-Nya sendiri tanpa dirusak olehnya. Hanya Dia yang memiliki perkataan hidup yang kekal (bdk. Yoh. 6:68) – kita mengakui hal ini dengan gentar di sini, di dekat makam Santo Petrus – dan perkataan ini memiliki kuasa untuk mengobarkan kembali iman dan harapan di dalam hati kita (bdk. Luk. 24:32).

 

Ketika Yesus mengambil roti dalam tangan-Nya, yang telah dipaku di kayu salib, menyampaikan berkat, memecah-mecah roti dan mempersembahkannya, mata kedua murid terbuka, iman bersemi dalam hati mereka, dan dengan iman, muncullah pengharapan baru. Ya! Bukan lagi pengharapan yang mereka miliki sebelumnya, dan yang telah hilang. Sebuah kenyataan baru, sebuah anugerah, rahmat dari Yesus yang bangkit: pengharapan Paskah.

 

Sebagaimana kehidupan Yesus yang bangkit bukan lagi seperti sebelumnya, melainkan sepenuhnya baru, diciptakan oleh Bapa dengan kuasa Roh Kudus, demikian pula pengharapan kristiani bukan pengharapan manusiawi, bukan pengharapan orang Yunani maupun orang Yahudi, bukan pula pengharapan yang didasarkan pada kebijaksanaan para filsuf atau keadilan yang berasal dari hukum Taurat, melainkan semata-mata dan sepenuhnya pada kenyataan bahwa Yesus yang disalibkan telah bangkit dan menampakkan diri kepada Simon (bdk. Luk 24:34), para perempuan, dan murid-murid lainnya. Pengharapan itu tidak tertuju pada cakrawala duniawi, tetapi lebih jauh lagi, kepada Allah, kepada tempat yang tinggi yang darinya matahari terbit untuk menerangi mereka yang tinggal di kedalaman kegelapan dan bayang-bayang kematian (bdk. Luk 1:78-79).

 

Maka, ya, kita dapat bernyanyi: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, melalui Kematian Tubuh Saudari kami”.[1] Kasih Kristus yang disalibkan dan bangkit telah mengubah kematian kita: Ia telah mengubah rupanya dari musuh menjadi saudari, Ia telah menjinakkannya. Dan menghadapinya, kita “jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (1Tes 4:13). Tentu saja, kita berdukacita ketika orang yang kita kasihi meninggalkan kita. Kita bersedih ketika seorang manusia, terutama seorang anak, “yang kecil”, seorang yang rapuh, direnggut oleh penyakit atau, lebih buruk lagi, oleh kekerasan manusia. Sebagai orang kristiani, kita dipanggil untuk menanggung beban salib ini bersama Kristus. Tetapi kita tidak sesedih mereka yang tidak mempunyai pengharapan, karena bahkan kematian yang paling tragis pun tidak dapat menghalangi Tuhan kita untuk menyambut jiwa kita dalam pelukan-Nya dan mengubah tubuh kita yang hina, bahkan yang paling rusak, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia (lih. Flp 3:21).

 

Karena alasan ini, umat kristiani tidak menyebut tempat pemakaman sebagai "nekropolis" atau "kota orang mati", melainkan "kuburan", yang secara harfiah berarti "asrama", tempat seseorang beristirahat menantikan kebangkitan. Sebagaimana dinubuatkan pemazmur, "Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya Tuhan, yang membuat aku hidup aman" (Mzm. 4:9).

Sahabat terkasih, Paus Fransiskus terkasih, dan para kardinal serta para uskup yang bagi mereka kita persembahkan kurban Ekaristi yang telah mereka hayati, memberikan kesaksian dan mengajarkan pengharapan Paskah yang baru ini. Tuhan memanggil mereka dan menjadikan mereka gembala dalam Gereja-Nya, dan dengan pelayanan mereka – menggunakan bahasa Kitab Daniel – mereka "telah menuntun banyak orang kepada kebenaran" (bdk. Dan. 12:3), yaitu, mereka menuntun banyak orang itu di jalan Injil dengan hikmat yang berasal dari Kristus, yang telah menjadi hikmat bagi kita, yang membenarkan, menguduskan, dan menebus kita (bdk. 1Kor. 1:30). Semoga jiwa mereka dibasuh dari segala noda dan semoga mereka bercahaya seperti bintang di langit (bdk. Dan. 12:3). Semoga dorongan rohani mereka sampai kepada kita, para peziarah di bumi, dalam keheningan doa: "Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" (Mzm. 42:6,12).

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 4 November 2025)



[1]Santo Fransiskus dari Asisi, Kidung Matahari.

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PENGENANGAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN DI PEMAKAMAN VERANO (ROMA) 2 November 2025

Bacaan Ekaristi : 2Mak. 12:43-46; Mzm. 143:1-2,5-6,7ab,8ab.10; 1Kor. 15:20-24a.25-28; Yoh. 6:37-40.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Kita berkumpul di sini untuk merayakan Pengenangan Arwah Semua Orang beriman. Kita melakukannya terutama bagi mereka yang dimakamkan di tempat ini, dan dengan kasih sayang yang khusus bagi orang-orang yang kita kasihi. Meskipun mereka meninggalkan kita di hari wafatnya, kita tetap membawa mereka di dalam hati kita, dan kenangan mereka selalu hidup dalam kehidupan kita sehari-hari. Seringkali, sesuatu mengingatkan kita pada mereka, dan kita mengenang pengalaman yang pernah kita bagikan dengan mereka. Banyak tempat, bahkan aroma rumah kita, berbicara kepada kita tentang orang-orang yang kita kasihi dan telah mendahului kita, dengan jelas menyimpan kenangan mereka bagi kita.

 

Namun, hari ini kita berkumpul bukan hanya untuk mengenang mereka yang telah meninggalkan dunia ini. Iman Kristiani kita, yang didasarkan pada misteri Paskah Kristus, membantu kita menghayati kenangan kita lebih dari sekadar kenangan masa lalu, tetapi juga, dan terutama, sebagai pengharapan untuk masa depan. Bukan tentang melihat ke belakang, melainkan menatap ke depan, menuju tujuan perjalanan kita, menuju pelabuhan yang aman yang telah dijanjikan Allah kepada kita, menuju pesta abadi yang menanti kita. Di sana, di sekitar Tuhan yang bangkit dan orang-orang yang kita kasihi, kita berharap menikmati sukacita perjamuan abadi. Sebagaimana baru saja kita dengar dari Nabi Yesaya: "TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung ini bagi segala bangsa suatu perjamuan dengan masakan yang berlemak… Ia akan menelan maut untuk seterusnya" (25:6,8).

 

Pengharapan untuk masa depan ini menghidupkan kembali kenangan dan doa kita hari ini. Ini bukan khayalan untuk meredakan rasa sakit perpisahan kita dari orang-orang terkasih, juga bukan sekadar optimisme manusia. Sebaliknya, pengharapan yang didasarkan pada kebangkitan Yesus yang telah menaklukkan maut dan membuka jalan menuju kepenuhan hidup bagi kita. Sebagaimana yang saya katakan dalam katekese baru-baru ini, Tuhan adalah "tujuan perjalanan kita. Tanpa kasih-Nya, perjalanan hidup akan menjadi pengembaraan tanpa tujuan, sebuah kesalahan tragis dengan tujuan yang terlewat... Yesus yang bangkit menjamin kedatangan kita, menuntun kita pulang, tempat kita dinantikan, dikasihi, dan diselamatkan" (Audiensi Umum, 15 Oktober 2025).

 

Tujuan akhir ini, perjamuan, di mana kita akan dikumpulkan Tuhan, akan menjadi perjumpaan kasih. Karena demi kasih, Allah menciptakan kita, melalui kasih Putra-Nya, Ia menyelamatkan kita dari maut, dan dalam sukacita kasih yang sama, Ia menghendaki kita hidup selamanya bersama Dia dan bersama orang-orang yang kita kasihi. Karena alasan ini, setiap kali kita berdiam dalam kasih dan menunjukkan kasih kepada sesama, terutama yang paling lemah dan paling membutuhkan, kita dapat melangkah menuju tujuan kita, dan bahkan sekarang mengantisipasinya melalui ikatan yang tak terpatahkan dengan mereka yang telah mendahului kita. Lebih lanjut, Yesus menyemangati kita dengan kata-kata ini: “… sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu menjengukku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat. 25:35-36).

 

Kasih menaklukkan maut. Dalam kasih, Allah akan mengumpulkan kita bersama orang-orang terkasih kita. Dan, jika kita bersama-sama melakukan perjalanan amal kasih, maka kehidupan kita pun akan menjadi doa yang naik kepada Allah, menyatukan kita dengan mereka yang telah tiada, mendekatkan kita kepada mereka seraya kita menanti untuk bertemu mereka lagi dalam sukacita kehidupan kekal.

 

Saudara-saudari terkasih, meskipun dukacita kita bagi mereka yang telah tiada masih terukir dalam hati kita, marilah kita mempercayakan diri kita kepada pengharapan yang tidak mengecewakan (bdk. Rm. 5:5). Marilah kita mengarahkan pandangan kita kepada Kristus yang bangkit dan memikirkan orang-orang terkasih kita yang telah tiada, yang diliputi oleh cahaya-Nya. Marilah kita membiarkan janji Tuhan tentang kehidupan kekal bergema dalam hati kita. Ia akan menghancurkan maut selamanya. Sungguh, Ia telah menaklukkannya, membukakan bagi kita jalan menuju kehidupan kekal dengan melewati lembah maut dalam misteri Paskah-Nya. Dengan demikian, bersatu dengan-Nya, kita juga dapat masuk dan melewati lembah maut.

 

Tuhan menanti kita, dan ketika kita akhirnya bertemu dengan Dia di akhir perjalanan hidup kita di dunia, kita akan bersukacita bersama Dia dan bersama orang-orang terkasih yang telah mendahului kita. Semoga janji ini menopang kita, mengeringkan air mata kita, dan mengangkat pandangan kita ke atas menuju pengharapan akan masa depan yang tak pernah pudar.

_____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 2 November 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SEMUA ORANG KUDUS (MISA PENGANGKATAN SANTO JOHN HENRY NEWMAN SEBAGAI PUJANGGA GEREJA DAN YUBILEUM DUNIA PENDIDIKAN) 1 November 2025

Bacaan Ekaristi : Why. 7:2-4,9-14; Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6; 1Yoh. 3:1-3; Mat. 5:1-12a.

 

Pada Hari Raya Semua Orang Kudus ini, mengikutsertakan Santo John Henry Newman dalam jajaran Pujangga Gereja, dan, pada saat yang sama, pada kesempatan Yubileum Dunia Pendidikan, mengangkatnya, bersama Santo Thomas Aquino, sebagai pelindung misi pendidikan Gereja, sungguh merupakan sukacita yang besar. Kedudukan spiritual dan budaya Newman yang mengesankan pasti akan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi baru yang hatinya haus akan ketakterhinggaan, dan yang, melalui penelitian dan pengetahuan, bersedia menempuh perjalanan yang, seperti kata nenek moyang, membawa kita per aspera ad astra, melewati kesulitan menuju bintang-bintang.

 

Kisah hidup para kudus mengajarkan kita bahwa kita dapat hidup penuh semangat di tengah kerumitan masa kini, tanpa mengabaikan mandat apostolik untuk "bercahaya seperti bintang-bintang di dunia" (Flp. 2:15). Pada kesempatan hari raya ini, saya ingin menyampaikan kepada para guru dan lembaga pendidikan: "Hari ini bercahayalah seperti bintang-bintang di dunia" melalui komitmen sejatimu untuk mencari kebenaran bersama dan membagikannya dengan kemurahan hati dan integritas. Sungguh, kamu melakukannya melalui pelayananmu kepada kaum muda, terutama kaum miskin, dan kesaksian harianmu tentang fakta bahwa "kasih Kristiani bersifat profetis: ia menghasilkan mukjizat" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 120).

 

Yubileum adalah peziarahan pengharapan, dan kamu semua, di bidang pendidikan yang luar biasa, tahu betul betapa pengharapan merupakan benih yang tak tergantikan! Ketika saya melakukan refleksi tentang sekolah dan universitas, saya menganggapnya sebagai laboratorium nubuat, tempat pengharapan dihayati, dan terus-menerus dibahas serta didorong.

 

Inilah pula makna Sabda Bahagia yang diwartakan dalam Bacaan Injil hari ini. Sabda Bahagia membawa penafsiran baru atas kenyataan. Sabda Bahagia merupakan jalan sekaligus pesan Yesus, Sang Guru. Sekilas, tampaknya mustahil untuk menyatakan berbahagia orang yang miskin, atau orang yang lapar dan haus akan kebenaran, orang yang dianiaya karena kebenaran, atau orang yang membawa damai. Namun, apa yang tampaknya tak terbayangkan dalam pemikiran dunia, justru dipenuhi makna dan terang ketika dikaitkan dengan Kerajaan Allah. Dalam diri para kudus, kita melihat kerajaan ini mendekat dan hadir di antara kita. Santo Matius dengan tepat menyajikan Sabda Bahagia sebagai sebuah ajaran, menggambarkan Yesus sebagai seorang Guru, yang menyampaikan sudut pandang baru tentang segala sesuatu, yang tercermin dalam perjalanan-Nya sendiri. Namun, Sabda Bahagia bukan sekadar ajaran lain; melainkan ajaran yang par excellence. Dengan cara yang sama, Tuhan Yesus bukan sekadar salah satu dari sekian banyak guru, Ia adalah Sang Guru par excellence. Lebih dari itu, Ia adalah Pendidik par excellence. Kita adalah murid-murid-Nya dan berada di "sekolah"-Nya. Kita belajar bagaimana menemukan dalam hidup-Nya, khususnya dalam perjalanan yang telah Ia tempuh, sebuah cakrawala makna yang mampu menerangi segala bentuk pengetahuan. Semoga sekolah dan universitas kita senantiasa menjadi tempat mendengarkan Injil dan mengamalkannya!

 

Menanggapi tantangan masa kini terkadang terasa di luar kemampuan kita, tetapi kenyataannya tidak demikian. Jangan biarkan pesimisme mengalahkan kita! Saya teringat apa yang ditegaskan oleh pendahulu saya tercinta, Paus Fransiskus, dalam Pidatonya di Sidang Pleno Pertama Departemen Kebudayaan dan Pendidikan: bahwa kita harus bekerja sama untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan nihilisme yang melingkupi, yang mungkin merupakan penyakit paling berbahaya dalam budaya masa kini, karena mengancam untuk "membatalkan" pengharapan.[1] Rujukan terhadap kegelapan yang melingkupi kita ini menggemakan salah satu teks Santo John Henry Newman yang paling terkenal, madah "Tuntunlah, Terang yang Baik." Dalam doa yang indah itu, kita menyadari bahwa kita jauh dari rumah, langkah kita goyah, kita tidak dapat memahami dengan jelas jalan di depan. Namun, semua ini tidak menghalangi kita, karena kita telah menemukan Penuntun kita: "Tuntunlah, Terang yang baik, di tengah kegelapan yang melingkupi, tuntunlah aku;" “Tuntunlah, Terang yang baik, malam ini gelap, dan aku jauh dari rumah, tuntunlah aku.”

 

Tugas pendidikan justru menawarkan Terang yang baik ini kepada orang-orang yang mungkin akan tetap terpenjara oleh bayang-bayang pesimisme dan ketakutan yang begitu berbahaya. Karena alasan ini, saya ingin mengatakan kepadamu: marilah kita melucuti alasan-alasan palsu untuk menyerah dan tidak berdaya, dan marilah kita berbagi alasan-alasan besar untuk berharap di dunia dewasa ini. Marilah kita merenungkan dan menunjukkan kepada orang lain "rasi" yang memancarkan terang dan tuntunan di masa sekarang ini, yang digelapkan oleh begitu banyak ketidakadilan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, saya mendorongmu untuk memastikan sekolah, universitas, dan setiap konteks pendidikan, bahkan yang informal atau berbasis jalanan, senantiasa menjadi pintu gerbang menuju peradaban dialog dan perdamaian. Melalui hidupmu, perkenankanlah "kumpulan besar orang banyak" bersinar, yang dibicarakan Kitab Wahyu dalam liturgi hari ini, dan yang "tidak dapat dihitung jumlahnya, dari segala bangsa, suku, umat, dan bahasa," dan yang berdiri "di hadapan Anak Domba" (7:9).

 

Dalam teks biblis, salah seorang dari antara tua-tua yang mengamati kumpulan besar orang banyak bertanya, "Siapakah mereka itu ... dan dari manakah mereka datang" (Why 7:13). Dalam hal ini, di bidang pendidikan pun, pandangan kristiani tertuju pada mereka yang telah "keluar dari kesusahan yang besar" (ayat 14) dan mengenali di dalam diri mereka wajah begitu banyak saudara dan saudari dari setiap bahasa dan budaya yang, melalui pintu sempit Yesus, telah masuk ke dalam kepenuhan hidup. Maka, sekali lagi, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: "Apakah ini berarti bahwa mereka yang kurang dikaruniai bukanlah manusia? Atau bahwa mereka yang lemah tidak memiliki martabat yang sama dengan kita? Apakah mereka yang lahir dengan lebih sedikit kesempatan memiliki nilai yang lebih rendah sebagai manusia? Haruskah mereka membatasi diri hanya untuk bertahan hidup? Nilai masyarakat kita, dan masa depan kita sendiri, bergantung pada jawaban yang kita berikan atas pertanyaan-pertanyaan ini" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 95). Kita juga dapat mengatakan bahwa nilai injili dari pendidikan kita juga bergantung pada jawaban yang kita berikan.

 

Warisan abadi Santo John Henry Newman mencakup beberapa kontribusi yang sangat penting bagi teori dan praktik pendidikan. Ia menulis, “Allah telah menciptakanku untuk melakukan pelayanan tertentu kepada-Nya; Ia telah mempercayakan beberapa pekerjaan kepadaku yang belum Ia percayakan kepada orang lain. Aku memiliki misi — aku mungkin tidak akan pernah mengetahuinya dalam hidup ini, tetapi aku akan diberitahu di kehidupan selanjutnya” (Meditasi dan Devosi, III, I, 2). Dalam kata-kata ini, kita menemukan misteri martabat setiap manusia yang diungkapkan dengan indah, dan juga beragam karunia yang dilimpahkan Allah.

 

Hidup bersinar terang bukan karena kita kaya, cantik, atau berkuasa. Sebaliknya, hidup bersinar ketika kita menemukan dalam diri kita kebenaran bahwa kita dipanggil oleh Allah, memiliki panggilan, memiliki misi, bahwa hidup kita melayani sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Setiap makhluk memiliki peran untuk dimainkan. Kontribusi yang dapat diberikan setiap orang sangatlah berharga, dan tugas komunitas pendidikan adalah mendorong dan menghargai kontribusi tersebut. Janganlah kita lupa bahwa di jantung perjalanan pendidikan, kita tidak menemukan individu-individu yang abstrak, melainkan manusia nyata, terutama mereka yang tampaknya berkinerja buruk menurut parameter ekonomi yang mengecualikan atau bahkan membunuh mereka. Kita dipanggil untuk membentuk manusia, agar mereka dapat bercahaya seperti bintang dalam martabat mereka yang utuh.

 

Maka, dapat kita mengatakan bahwa dari sudut pandang kristiani, pendidikan membantu setiap orang menjadi orang kudus. Tidak ada yang kurang dari itu. Paus Benediktus XVI, dalam perjalanan apostoliknya ke Britania Raya pada bulan September 2010, di mana ia membeatifikasi John Henry Newman, mengundang kaum muda untuk menjadi orang kudus dengan kata-kata ini: “Apa yang paling diinginkan Allah bagi kamu masing-masing adalah agar kamu menjadi kudus. Ia mengasihimu jauh melebihi yang dapat kamu bayangkan.”[2] Inilah panggilan universal menuju kekudusan yang merupakan bagian penting pesan Konsili Vatikan II (bdk. Lumen Gentium, Bab V). Dan kekudusan ditujukan bagi setiap orang, tanpa terkecuali, sebagai perjalanan pribadi dan komunal yang ditandai oleh Sabda Bahagia.

 

Saya berdoa agar pendidikan Katolik dapat membantu setiap orang menemukan panggilan mereka menuju kekudusan. Santo Agustinus, yang sangat dikagumi oleh Santo John Henry Newman, pernah berkata bahwa kita adalah sesama pelajar yang memiliki satu Guru, yang sekolahnya ada di bumi dan kursinya ada di surga (bdk. Khotbah 292,1).

____

 

(Peter Suriadi - Bogor, 1 November 2025)



[1] bdk. Fransiskus, Pidato kepada Peserta Sidang Pleno Departemen Kebudayaan dan Pendidikan (21 November 2024).

[2] bdk. Benediktus XVI, Pidato kepada Para Murid (17 September 2010).

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA BERSAMA INSAN UNIVERSITAS KEPAUSAN 27 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Rm. 8:12-17; Mzm. 68:2,4,6-7ab,20-21; Luk. 13:10-17.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Berkumpul di tempat ini selama Tahun Yubileum adalah anugerah yang tak boleh kita anggap remeh. Terutama anugerah karena berziarah, melewati Pintu Suci, mengingatkan kita bahwa hidup hanya bermakna ketika dijalani sebagai sebuah perjalanan, ketika ia tahu bagaimana terus bergerak maju, yaitu, ketika ia mampu menghadirkan kenyataan Paskah.

 

Maka, memikirkan bagaimana Gereja, melalui perayaan Yubileum selama bulan-bulan ini, telah mengingat bahwa ia senantiasa perlu mengalami pertobatan dan bahwa ia harus selalu berjalan di belakang Yesus tanpa ragu dan tanpa godaan untuk mendahului-Nya sungguh baik. Sungguh, Gereja senantiasa membutuhkan Paskah, yaitu, "melewati" perbudakan menuju kebebasan, kematian menuju kehidupan. Saya berharap kamu semua mengalami dalam dirimu anugerah pengharapan ini, dan semoga Yubileum menjadi kesempatan untuk memulai kembali hidupmu.

 

Hari ini, saya ingin memberi amanat kepada kamu yang merupakan bagian dari lembaga universitas dan semua orang yang, dengan berbagai cara, mengabdikan diri untuk belajar, mengajar, dan meneliti. Anugerah apakah yang dapat menyentuh kehidupan seorang mahasiswa, seorang peneliti, seorang cendekiawan? Saya akan menjawabnya dengan cara ini: rahmat visi yang menyeluruh, sudut pandang yang mampu menjangkau cakrawala, memandang melampaui.

 

Kita dapat melihat wawasan ini dalam perikop Injil yang baru saja diwartakan (Luk 13:10-17), yang menggambarkan seorang perempuan yang punggungnya bungkuk dan, setelah disembuhkan oleh Yesus, akhirnya dapat menerima rahmat sudut pandang baru, visi yang lebih luas. Kondisi perempuan ini menyerupai kondisi ketidaktahuan, yang sering dikaitkan dengan ketertutupan diri dan kurangnya kegelisahan rohani dan intelektual. Ia bungkuk punggung, terpaku pada dirinya sendiri, sehingga tidak mampu melihat melampaui dirinya sendiri. Ketika manusia tidak mampu melihat melampaui dirinya, melampaui pengalaman, gagasan, dan keyakinannya, melampaui rencananya, maka ia tetap terpenjara, terbudak, dan tidak mampu membentuk penilaian yang matang.

 

Seperti perempuan yang bungkuk punggung dalam Bacaan Injil, risiko menjadi tawanan sudut pandang kita yang egois selalu tetap ada. Namun, pada kenyataannya, banyak hal yang benar-benar penting dalam hidup – bisa kita katakan, hal-hal yang paling mendasar – tidak datang dari diri kita sendiri; kita menerimanya dari orang lain. Hal-hal itu datang kepada kita melalui guru, perjumpaan, dan pengalaman hidup kita. Inilah pengalaman rahmat, karena menyembuhkan kita dari keegoisan. Inilah penyembuhan sejati yang, seperti halnya perempuan dalam Bacaan Injil, memungkinkan kita sekali lagi berdiri tegak di hadapan kehidupan dan kenyataannya, serta memandangnya dengan sudut pandang yang lebih luas. Perempuan yang disembuhkan menerima harapan, karena ia akhirnya dapat memandang ke atas dan melihat sesuatu yang berbeda, dapat melihat dengan cara yang baru. Hal ini terutama terjadi ketika kita berjumpa dengan Kristus dalam hidup kita, ketika kita membuka diri terhadap kebenaran yang mengubah hidup yang mampu membuat kita keluar dari diri kita sendiri dan membebaskan kita dari keegoisan.

 

Mereka yang belajar "memandang ke atas", memperluas cakrawala dan sudut pandang mereka untuk menemukan kembali visi yang tidak memandang ke bawah, melainkan mampu memandang ke atas: kepada Allah, sesama, dan misteri kehidupan. Sungguh, rahmat menjadi seorang mahasiswa, peneliti, atau cendekiawan berarti menerima visi luas yang mampu melihat jauh ke kejauhan; yang tidak menyederhanakan masalah atau takut akan pertanyaan; yang mengatasi kemalasan intelektual dan, dengan demikian, juga mengalahkan kemerosotan spiritual.

 

Marilah kita selalu ingat bahwa spiritualitas membutuhkan sudut pandang ini, yang disumbangkan oleh studi teologi, filsafat, dan disiplin ilmu lainnya dengan cara tertentu. Saat ini, kita telah menjadi ahli dalam detail terkecil kenyataan, namun kita telah kehilangan kemampuan visi menyeluruh yang memadukan segala sesuatu melalui makna yang lebih dalam dan lebih agung. Namun, pengalaman kristiani ingin mengajar kita untuk memandang kehidupan dan kenyataan dengan pandangan yang menyatu, yang mampu merangkul segala sesuatu sambil menolak cara berpikir yang parsial.

 

Oleh karena itu, saya mendorongmu, para mahasiswa, peneliti, dan pengajar, untuk tidak melupakan Gereja membutuhkan sudut pandang yang terpadu ini, baik untuk masa kini maupun masa depan. Kita dapat meneladani para pria dan wanita seperti Agustinus, Thomas Aquino, Teresa dari Avila, Edith Stein, dan banyak lainnya yang mampu memadukan penelitian ke dalam kehidupan dan perjalanan rohani mereka. Kita juga dipanggil untuk mengembangkan upaya intelektual dan pencarian kebenaran tanpa memisahkannya dari kehidupan. Pentingnya membina kesatuan ini agar apa yang terjadi di ruang kelas universitas dan lingkungan pendidikan apa pun tidak hanya sekadar latihan intelektual yang abstrak. Sebaliknya, hal itu mampu mengubah kehidupan, dan membantu kita memperdalam hubungan kita dengan Kristus, memahami misteri Gereja dengan lebih baik, dan menjadikan kita saksi Injil yang berani dalam masyarakat.

 

Sahabat terkasih, studi, penelitian, dan pengajaran membawa serta tanggung jawab pendidikan yang penting, dan saya ingin mendorong universitas untuk merangkul panggilan ini dengan penuh semangat dan komitmen. Mendidik serupa dengan mukjizat yang diceritakan dalam Bacaan Injil hari ini, karena tugas pendidik adalah mengangkat manusia, membantu mereka menjadi diri mereka sendiri dan mampu mengembangkan hati nurani yang terinformasi serta kemampuan berpikir kritis. Universitas kepausan harus mampu melanjutkan "karya" Yesus ini. Ini adalah tindakan kasih sejati, karena merupakan bentuk amal kasih yang diungkapkan melalui studi, pengetahuan, dan pencarian tulus akan apa yang benar dan layak dijalani. Memenuhi rasa lapar akan kebenaran dan makna adalah tugas penting, karena tanpanya kita akan jatuh ke dalam kehampaan dan bahkan menyerah pada kematian.

 

Dalam perjalanan ini, kita masing-masing juga dapat menemukan kembali anugerah terbesar, yaitu mengetahui bahwa kita tidak sendirian dan kita milik seseorang, sebagaimana ditegaskan Rasul Paulus: "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab, kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, 'Ya Abba, ya Bapa!'" (Rm. 8:14-15). Sungguh, apa yang kita terima saat kita mencari kebenaran dan mengabdikan diri untuk belajar membantu kita menemukan bahwa kita bukanlah makhluk yang secara kebetulan dicampakkan ke dunia, melainkan kita milik seseorang yang mengasihi kita dan yang memiliki rencana kasih bagi hidup kita.

 

Saudara-saudari terkasih, bersamamu, saya memohon kepada Tuhan agar pengalaman belajar dan meneliti selama masa kuliahmu memampukanmu untuk memiliki sudut pandang baru ini. Semoga perjalanan akademismu membantumu untuk dapat berbicara, menceritakan, memperdalam, dan mewartakan alasan-alasan pengharapan yang ada di dalam kita (bdk. 1 Ptr 3:15). Semoga universitas membentukmu menjadi pria dan wanita yang tidak pernah terpaku pada diri sendiri tetapi selalu tegak, yang mampu membawa sukacita dan penghiburan Injil ke mana pun kamu pergi.

 

Semoga Perawan Maria, Takhta Kebijaksanaan, mendampingi dan menjadi perantaramu.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Oktober 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA TAHBISAN EPISKOPAL MGR. MIROSŁAW STANISŁAW WACHOWSKI (USKUP AGUNG TERPILIH VILLAMAGNA DI PROCONSULARE DAN NUNSIO APOSTOLIK UNTUK IRAK) 26 Oktober 2025

Bacaan Ekaristi : Sir. 35:12-14,16-18; Mzm. 34:2-3,17-18,19,23; 2Tim. 4:6-8,16-18; Luk. 18:9-14.


Saudara-saudari terkasih!

 

Hari ini Gereja Roma bersukacita bersama Gereja universal, bersukacita atas karunia seorang uskup baru: Uskup Agung Mirosław Stanisław Wachowski, putra negeri Polandia, uskup agung tituler terpilih Villamagna di Proconsolare dan Nunsius Apostolik untuk rakyat Irak terkasih.

 

Semboyan yang dipilihnya — Gloria Deo Pax Hominibus — bergema seperti gema kidung Natal para malaikat di Betlehem: "Kemuliaan bagi Allah di tempat Yang Maha Tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Luk 2:14). Ini adalah program seumur hidup: selalu mengupayakan kemuliaan Allah bersinar dalam damai sejahtera di antara manusia. Inilah makna mendalam dari setiap panggilan kristiani, dan khususnya panggilan episkopal: menjadikan nyata, melalui hidup seseorang, pujian bagi Allah dan keinginan-Nya untuk mendamaikan dunia dengan diri-Nya (bdk. 2 Kor 5:19).

 

Sabda Allah yang baru saja diwartakan menawarkan kepada kita beberapa ciri penting pelayanan episkopal. Bacaan Injil (Luk 18:9-14) menunjukkan kepada kita dua orang yang berdoa di Bait Allah: seorang Farisi dan seorang pemungut cukai. Orang Farisi memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri, menyebutkan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya; pemungut cukai tetap di belakang, tak berani menengadah ke langit, dan mempercayakan segalanya pada satu doa: "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini" (ayat 13). Yesus berkata bahwa sesungguhnya dialah, si pemungut cukai, yang menerima rahmat dan keselamatan Allah, sebab "siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan" (ayat 14).

 

Doa orang miskin menembusi awan, Putra Sirakh mengingatkan kita: Allah mendengarkan permohonan orang-orang yang mempercayakan diri sepenuhnya kepada-Nya (bdk. Sir 35:15-22).

 

Inilah pelajaran pertama bagi setiap uskup: kerendahan hati. Bukan kerendahan hati dalam kata-kata, melainkan kerendahan hati yang bersemayam dalam hati seseorang yang menyadari bahwa ia seorang hamba, bukan tuan; seorang gembala, bukan pemilik kawanan domba.

 

Saya tergerak merenungkan doa sederhana yang, di Mesopotamia, telah membahana bak dupa selama berabad-abad: sang pemberita Injil memiliki wajah begitu banyak umat beriman Timur yang, dalam keheningan, terus berseru, "Ya Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini." Doa mereka tak pernah berhenti, dan hari ini Gereja universal bergabung dalam paduan suara orang-orang percaya yang menembusi awan dan menyentuh hati Allah.

 

Monsinyur Mirosław yang terkasih, kamu berasal dari negeri danau dan hutan. Di lanskap-lanskap itu, tempat keheningan berkuasa, kamu belajar merenung; di tengah salju dan matahari, kamu belajar ketenangan dan kekuatan; dalam keluarga petani, kesetiaan pada tanah dan pekerjaan. Pagi hari mengajarkanmu berdisiplin hati, dan kecintaanmu pada alam menuntunmu menemukan keindahan Sang Pencipta.

 

Akar ini bukan sekadar kenangan untuk diingat, melainkan pelajaran seumur hidup. Dari kontak dengan tanah, kamu belajar bahwa kesuburan datang dari penantian dan kesetiaan: dua kata yang juga mendefinisikan pelayanan episkopal. Uskup dipanggil untuk menabur dengan kesabaran, mengolah dengan rasa hormat, menanti dengan penuh harapan. Ia adalah seorang penjaga, bukan pemilik; seorang pendoa, bukan pemilik. Allah mempercayakan kepadamu sebuah misi agar kamu dapat merawatnya dengan dedikasi yang sama seperti seorang petani merawat ladangnya: setiap hari, dengan ketekunan, dengan iman.

 

Pada saat yang sama, kita mendengar Rasul Paulus yang, mengenang hidupnya sendiri, berkata, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman" (2 Tim 4:7). Kekuatannya bukan berasal dari kesombongan, melainkan dari rasa syukur, karena Allah menopangnya dalam jerih payah dan pencobaannya.

 

Demikian pula, saudara terkasih, yang telah menapaki jalan pelayanan bagi Gereja di perwakilan kepausan di Senegal dan di negara asalmu, Polandia, di organisasi internasional di Wina dan di Sekretariat Negara, sebagai Pejabat Notulen dan Wakil Menteri untuk Hubungan dengan Negara-Negara, kamu telah menjalani diplomasi sebagai ketaatan pada kebenaran Injil, dengan kebijaksanaan dan kompetensi, dengan rasa hormat dan dedikasi, dan untuk itu saya bersyukur. Kini Allah memohon agar karunia ini menjadi kebapaan pastoral: menjadi seorang bapa, gembala, dan saksi pengharapan di negeri yang ditandai oleh penderitaan dan kerinduan untuk kelahiran kembali. Kamu dipanggil untuk berjuang dalam pertandingan iman yang baik, bukan melawan orang lain, melainkan melawan godaan untuk lelah, mundur, mengukur hasilmu, dengan mengandalkan kesetiaan yang menjadi ciri khasmu: kesetiaan mereka yang tidak mencari kepentingan diri sendiri, melainkan melayani dengan profesionalisme, dengan rasa hormat, dengan kompetensi yang cemerlang dan tidak pamer.

 

Santo Paulus VI, dalam Surat Apostoliknya Sollicitudo omnium Ecclesiarum, mengingatkan bahwa wakil Paus merupakan tanda kepedulian Penerus Petrus bagi seluruh Gereja. Ia diutus untuk memperkuat ikatan persekutuan, mengembangkan dialog dengan otoritas sipil, menjaga kebebasan Gereja, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Nunsius Apostolik bukan sekadar diplomat: ia adalah wajah Gereja yang mendampingi, menghibur, dan membangun jembatan. Tugasnya bukan untuk membela kepentingan pihak tertentu, melainkan untuk melayani persekutuan.

 

Di Irak, tanah misimu, pelayanan ini memiliki makna khusus. Di sana, Gereja Katolik, dalam persekutuan penuh dengan Uskup Roma, hidup dalam beragam tradisi: Gereja Kaldea, dengan Patriark Babilonia dari Kaldea dan bahasa Aram dalam liturginya; Gereja Siro-Katolik, Katolik Armenia, Katolik Yunani, dan Latin. Ia merupakan mosaik ritual dan budaya, sejarah dan iman, yang meminta untuk disambut dan dilindungi dalam amal kasih.

 

Kehadiran umat Kristen di Mesopotamia sudah ada sejak lama: menurut tradisi, Santo Thomas Rasul yang membawa Injil ke negeri itu setelah kehancuran Bait Suci Yerusalem; dan murid-muridnya, Addai dan Mari, yang mendirikan komunitas pertama. Di wilayah itu, mereka berdoa dalam bahasa yang digunakan Yesus: bahasa Aram. Akar apostolik ini merupakan tanda kesinambungan yang belum mampu dipadamkan oleh kekerasan, yang diwujudkan dengan keganasan dalam beberapa dekade terakhir. Sungguh, suara mereka yang secara brutal kehilangan nyawa di negeri itu tidak berkurang. Hari ini mereka berdoa untukmu, untuk Irak, untuk perdamaian dunia.

 

Pertama kalinya dalam sejarah, seorang Paus mengunjungi Irak. Pada bulan Maret 2021, Paus Fransiskus tiba sebagai peziarah persaudaraan. Di negeri itu, tempat Abraham, bapa iman kita, mendengar panggilan Allah, pendahulu saya mengenang bahwa "Allah, yang menciptakan manusia setara dalam martabat dan hak, memanggil kita untuk menyebarkan kasih, kebajikan, dan kerukunan. Di Irak pun, Gereja Katolik ingin menjadi sahabat bagi semua orang dan, melalui dialog, bekerjasama secara membangun dengan agama-agama lain demi perdamaian" (Fransiskus, Pidato kepada Pihak Berwenang, Masyarakat Sipil, dan Korps Diplomatik, 5 Maret 2021).

 

Hari ini kamu dipanggil untuk melanjutkan perjalanan itu: melindungi benih pengharapan, mendorong hidup berdampingan secara damai, menunjukkan bahwa diplomasi Takhta Suci lahir dari Injil dan dipupuk oleh doa.

 

Uskup Agung Mirosław yang terkasih, jadilah manusia yang senantiasa bersekutu dan berdiam diri, yang mendengarkan dan berdialog. Bawalah dalam kata-katamu kelembutan yang membangun dan dalam tatapanmu kedamaian yang menghibur. Di Irak, orang-orang akan mengenalimu bukan dari apa yang kamu katakan, tetapi dari bagaimana kamu mengasihi.

 

Kita mempercayakan misimu kepada Maria, Ratu Damai, kepada Santo Thomas, Addai, dan Mari, serta kepada banyak saksi iman Irak. Semoga mereka menyertaimu dan menjadi terang di jalanmu.

 

Maka, sebagaimana Gereja, dalam doa, menyambutmu ke dalam Dewan Uskup, marilah kita berdoa bersama: semoga kemuliaan Allah menerangi jalanmu dan semoga damai Kristus bersemayam di mana pun kamu melangkah. Gloria Deo, Pax Hominibus. Amin.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Oktober 2025)