Bacaan
Ekaristi : Mal. 4:1-2a; Mzm. 98:5-6,7-8,9a,9bc; 2Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19.
Saudara-saudari
terkasih,
Hari-hari
Minggu terakhir tahun liturgi mengundang kita untuk melihat akhir sejarah.
Dalam Bacaan Pertama, Nabi Maleakhi melihat kedatangan "hari Tuhan"
sebagai awal dari sebuah era baru. Hari itu digambarkan sebagai waktu Allah,
ketika, bagaikan fajar yang memancarkan surya kebenaran, pengharapan
orang-orang miskin dan rendah hati akan menerima jawaban akhir dan definitif
dari Tuhan, dan perbuatan orang fasik serta ketidakadilan mereka, terutama
terhadap orang-orang yang tak berdaya dan miskin, akan ditumpas dan dibakar
seperti jerami.
Surya
kebenaran yang terbit ini, sebagaimana kita ketahui, adalah Yesus sendiri. Hari
Tuhan, sesungguhnya, bukan hanya hari terakhir sejarah; hari Tuhan adalah
semakin mendekatnya Kerajaan Allah bagi setiap orang dalam kedatangan Putra
Allah. Dalam Bacaan Injil, dengan menggunakan bahasa apokaliptik yang khas pada
zaman-Nya, Yesus mewartakan dan menginagurasikan Kerajaan ini. Dia sendiri
adalah kuasa Allah, yang hadir dan berperan aktif dalam peristiwa-peristiwa
dramatis sejarah. Peristiwa-peristiwa ini hendaknya tidak menakutkan para
murid, melainkan memampukan mereka untuk bertekun dalam kesaksian mereka,
karena mereka tahu bahwa janji Yesus selalu hidup dan setia: "Tidak
sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang" (Luk. 21:18).
Saudara-saudari,
kita berlabuh dalam pengharapan ini, terlepas dari peristiwa-peristiwa
kehidupan yang terkadang malang. Bahkan dewasa ini, "dengan mengembara di
antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju.
Gereja mewartakan salib dan wafat Tuhan, hingga Ia datang" (Lumen Gentium,
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, 8). Dan ketika segenap pengharapan manusia
tampaknya padam, keyakinan ini, yang lebih teguh daripada langit dan bumi,
menjadi semakin kuat, karena Tuhan tidak akan membiarkan sehelai pun dari
rambut kepala kita hilang.
Di
tengah penganiayaan, penderitaan, pergumulan, dan penindasan dalam kehidupan
pribadi kita dan dalam masyarakat, Allah tidak meninggalkan kita. Ia menyatakan
diri-Nya sebagai yang berada di pihak kita. Kitab Suci dijalin dengan benang
emas yang menceritakan kisah Allah, yang selalu berpihak kepada orang kecil,
anak yatim, pendatang, dan janda (bdk. Ul. 10:17-19). Dan dalam Yesus,
Putra-Nya, kedekatan Allah mencapai puncak kasih. Karena itu, kehadiran dan
sabda Kristus menjadi kegembiraan dan yubileum bagi orang yang paling miskin,
karena Ia datang untuk mewartakan kabar baik kepada orang-orang miskin dan
memberitakan tahun rahmat Tuhan (bdk. Luk 4:18-19).
Secara
istimewa hari ini kita juga sedang berpartisipasi dalam tahun rahmat ini, saat
kita merayakan Yubileum Orang Miskin pada Hari Orang Miskin Sedunia ini. Selagi
seluruh Gereja bergembira dan bersukacita, khususnya kepadamu, saudara-saudari
terkasih, saya ingin mewartakan sabda Tuhan Yesus sendiri yang tak
terbantahkan: "Dilexi te, Aku mengasihi engkau" (Why 3:9). Ya, di
hadapan kekecilan dan kemiskinan kita, Allah memandang kita tiada taranya dan
mencintai kita dengan kasih yang kekal. Dan Gereja-Nya, bahkan hingga saat ini,
mungkin khususnya di zaman kita, yang masih terluka oleh bentuk kemiskinan lama
dan baru, berharap untuk menjadi "bunda orang miskin, tempat penyambutan
dan keadilan" (Seruan Apostolik Dilexi Te, 39).
Sangat
banyak bentuk kemiskinan menindas dunia kita! Pertama dan terutama adalah
bentuk-bentuk kemiskinan materi, tetapi ada juga banyak situasi kemiskinan
moral dan spiritual, yang seringkali memengaruhi orang muda dengan cara
tertentu. Tragedi yang melanda mereka semua adalah kesepian. Kita ditantang
untuk memandang kemiskinan secara menyeluruh, karena meskipun terkadang memang
perlu untuk menanggapi kebutuhan mendesak, kita juga harus mengembangkan budaya
perhatian, justru untuk meruntuhkan tembok kesepian. Maka, marilah kita
memperhatikan sesama, setiap orang, di mana pun kita berada, di mana pun kita
tinggal, menularkan sikap ini dalam keluarga kita, menghidupinya di tempat
kerja dan lingkungan akademis, di berbagai komunitas, di dunia digital, di mana
pun, menjangkau mereka yang terpinggirkan dan menjadi saksi kelembutan Allah.
Dewasa
ini, skenario perang, yang sayangnya terjadi di berbagai wilayah di dunia,
tampaknya semakin menegaskan bahwa kita berada dalam kondisi ketidakberdayaan.
Namun, globalisasi ketidakberdayaan muncul dari sebuah kebohongan, dari
keyakinan bahwa sejarah selalu seperti ini dan tidak dapat diubah. Bacaan
Injil, di sisi lain, mengingatkan kita bahwa justru dalam pergolakan sejarahlah
Tuhan datang untuk menyelamatkan kita. Dan dewasa ini, sebagai komunitas
kristiani, bersama orang miskin, kita harus menjadi tanda yang hidup
keselamatan ini.
Kemiskinan
menantang umat kristiani, tetapi juga menantang semua orang yang bertanggung
jawab dalam masyarakat. Saya mendesak para kepala negara dan para pemimpin
bangsa untuk mendengarkan jeritan orang yang paling miskin. Tidak akan ada
perdamaian tanpa keadilan, dan orang miskin mengingatkan kita akan hal ini
dalam banyak cara, melalui migrasi maupun melalui jeritan mereka, yang
seringkali diredam oleh mitos kesejahteraan dan kemajuan yang tidak
mempertimbangkan semua orang, dan justru melupakan banyak individu, membiarkan
mereka menghadapi nasib mereka sendiri.
Kepada
para pekerja amal, begitu banyak relawan, dan orang-orang yang berupaya
meringankan beban hidup orang-orang yang paling miskin, saya menyampaikan rasa
terima kasih, sekaligus mendorong untuk terus menjadi suara hati yang kritis
bagi masyarakat. Kamu semua tahu betul persoalan orang miskin berpangkal pada
hakikat iman kita, karena mereka adalah daging Kristus sendiri dan bukan
sekadar kategori sosiologis (bdk. Dilexi Te, 110). Karena itulah, “Gereja,
bagaikan seorang ibu, mendampingi mereka yang sedang berjalan. Di mana dunia
melihat ancaman, ia melihat anak-anak; di mana tembok dibangun, ia membangun
jembatan” (idem, 75).
Marilah
kita semua bersatu dalam komitmen ini. Sebagaimana ditulis Rasul Paulus kepada
umat kristiani di Tesalonika (bdk. 2Tes. 3:6-13): sambil menantikan kedatangan
Tuhan yang mulia, kita tidak boleh hidup tertutup, dalam keterasingan religius
yang mengasing kita dari sesama dan sejarah. Sebaliknya, mencari Kerajaan Allah
menyiratkan keinginan untuk mengubah hidup berdampingan manusiawi menjadi ruang
persaudaraan dan martabat bagi semua orang, tanpa terkecuali. Selalu ada bahaya
hidup seperti pendatang yang kehilangan arah, tidak peduli dengan tujuan akhir
dan pada orang-orang yang ambil bagian dalam perjalanan bersama kita.
Dalam
Yubileum Orang Miskin ini, marilah kita terinspirasi oleh kesaksian para kudus
yang melayani Kristus dalam diri orang-orang yang paling membutuhkan dan mengikuti-Nya
di jalan kerendahan hati dan penyangkalan diri. Secara khusus, saya ingin
menyebut Santo Benediktus Joseph Labre, yang hidup sebagai "pengembara
Allah", mencirikannya sebagai santo pelindung para tunawisma. Perawan
Maria, melalui Magnificat-nya, terus mengingatkan kita akan pilihan-pilihan
Allah dan telah menjadi suara bagi orang-orang yang tak bersuara. Semoga Maria
membantu kita merangkul cara berpikir baru Kerajaan Allah, sehingga dalam
kehidupan kristiani kita, kasih Allah, yang menyambut, membalut luka,
mengampuni, menghibur, dan menyembuhkan, senantiasa hadir.
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 16 November 2025)







Print this page