Bacaan Ekaristi : Pkh. 1:2; 2:21-23; Mzm. 90:3-4,5-6,12-13,14,17; Kol. 3:1-5.9-11; Luk. 12:13-21.
Orang
muda terkasih,
Setelah
Doa Vigili tadi malam, kita berkumpul kembali hari ini untuk merayakan
Ekaristi, sakramen pemberian diri Tuhan sepenuhnya bagi kita. Hari ini kita
dapat membayangkan diri kita menelusuri kembali perjalanan yang dilakukan para
murid pada malam Paskah di jalan menuju Emaus (bdk. Luk 24:13-35): mereka
berangkat dari Yerusalem dengan ketakutan dan kekecewaan, yakin bahwa, setelah
kematian Yesus, tidak ada lagi yang bisa diharapkan, tidak ada tempat untuk
menaruh pengharapan mereka. Namun mereka kemudian menemukan-Nya di sepanjang
jalan, menyambut-Nya sebagai teman seperjalanan, mendengarkan-Nya ketika Ia
menjelaskan Kitab Suci, dan kemudian mengenali-Nya saat Ia memecah-mecahkan
roti. Mata mereka terbuka, dan kabar penuh sukacita Paskah mendapat tempat di
hati mereka.
Liturgi
hari ini tidak secara langsung menyebut peristiwa ini, tetapi mengajak kita
untuk merenungkan apa yang diceritakannya: perjumpaan dengan Kristus yang
bangkit, yang mengubah rupa hidup kita dan menerangi kasih sayang, keinginan,
dan pikiran kita.
Bacaan
Pertama, yang diambil dari Kitab Pengkhotbah, mengajak kita, seperti kedua
murid itu, untuk berdamai dengan pengalaman keterbatasan kita dan sifat fana
dari segala sesuatu yang sekejab (bdk. Pkh. 1:2; 2:21-23). Senada dengan itu,
Mazmur Tanggapan menyajikan kepada kita gambaran tentang "rumput yang akan
binasa, di waktu pagi bersemi dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan
layu" (Mzm. 90:5-6). Ini adalah dua pengingat kuat yang mungkin sedikit
mengejutkan, tetapi seharusnya tidak membuat kita takut seolah-olah keduanya
merupakan isu "tabu" yang harus dihindari. Kerapuhan yang dibicarakan
keduanya, sesungguhnya, merupakan bagian dari keajaiban ciptaan. Bayangkan
gambaran rumput: bukankah lahan bunga yang indah? Tentu saja, ia rapuh, terdiri
dari batang-batang kecil yang rapuh, rentan mengering, bengkok, dan patah.
Namun, di saat yang sama, bunga-bunga ini segera digantikan oleh bunga-bunga
lain yang tumbuh setelahnya, diberi nutrisi dan pupuk berlimpah oleh
bunga-bunga pertama saat mereka membusuk di tanah. Beginilah cara lahan ini
bertahan: melalui regenerasi yang terus menerus. Bahkan selama bulan-bulan
musim dingin yang menusuk tulang, ketika segalanya tampak sunyi, energinya
bergejolak di bawah tanah, bersiap untuk mekar menjadi ribuan warna saat musim
semi tiba.
Kita
juga, sahabat-sahabat terkasih, diciptakan seperti ini, kita diciptakan untuk
ini. Kita tidak diciptakan untuk kehidupan di mana segala sesuatunya dianggap
biasa dan statis, melainkan untuk keberadaan yang terus diperbarui melalui
pemberian diri dalam kasih. Inilah sebabnya kita senantiasa mendambakan sesuatu
yang "lebih" yang tak dapat diberikan oleh realitas ciptaan mana pun;
kita merasakan dahaga yang mendalam dan membara yang tak dapat dipuaskan oleh
minuman apa pun di dunia ini. Mengetahui hal ini, janganlah kita menipu hati
kita dengan mencoba memuaskannya dengan tiruan murahan! Marilah kita lebih baik
mendengarkan mereka! Marilah kita ubah dahaga ini menjadi pijakan, seperti
anak-anak yang berjinjit, untuk mengintip melalui jendela perjumpaan dengan
Allah. Kita kemudian akan menemukan diri kita di hadapan-Nya, yang sedang
menunggu kita, mengetuk lembut jendela jiwa kita (bdk. Why 3:20). Sungguh
indah, terutama di usia muda, membuka lebar-lebar hati kita, memperkenankan Dia
masuk, dan memulai petualangan ini bersama-Nya menuju kekekalan.
Santo
Agustinus, merenungkan pencariannya yang mendalam akan Allah, bertanya pada
dirinya sendiri: “Lalu, apa objek pengharapan kita [...]? Apakah bumi? Tidak.
Apakah sesuatu yang berasal dari bumi, seperti emas, perak, pohon, tanaman,
atau air [...]? Hal-hal ini menyenangkan, hal-hal ini indah, hal-hal ini baik”
(Sermo 313/F, 3). Dan kesimpulan yang ia capai adalah: “Carilah Dia yang
menciptakannya, Dialah pengharapanmu” (idem). Merenungkan perjalanannya sendiri,
ia berdoa, katanya: “Engkau [Tuhan] ada di dalam diriku, tetapi aku ada di
luar, dan di sanalah aku mencari-Mu […] Engkau memanggil, Engkau berseru, dan
Engkau menembus ketulianku. Engkau bersinar, Engkau bersinar dan Engkau
menghalau kebutaanku. Engkau menghembuskan keharuman-Mu kepadaku; aku menghirup
napas dan sekarang aku merintih merindukan-Mu. Aku telah mengecap Engkau (bdk.
Mzm 34:9; 1Ptr 2:3) sekarang aku lapar dan haus akan lebih banyak lagi (bdk.
Mat 5:6; 1 Kor 4:11); Engkau menjamahku, dan aku terbakar oleh damai-Mu”
(Pengakuan-pengakuan, 10, 27).
Saudari-saudari,
kata-kata ini indah dan mengingatkan kita pada apa yang disampaikan Paus
Fransiskus bagi orang muda sepertimu di Lisbon pada Hari Orang Muda Sedunia:
“Kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak memiliki jawaban
sederhana atau langsung, tetapi menantang kita untuk melanjutkan perjalanan,
untuk bangkit melampaui diri kita serta melampaui apa yang ada di sini dan saat
ini. [...] Kita dipanggil untuk sesuatu yang lebih tinggi, dan kita tidak akan
pernah bisa terbang tinggi kecuali kita terbang terlebih dahulu. Maka, kita
tidak perlu khawatir jika kita merasakan dahaga batin, kerinduan yang gelisah
dan tak terpenuhi akan makna dan masa depan [...] Kita tidak boleh lesu, tetapi
tetap hidup!” (Wejangan kepada Mahasiswa, 3 Agustus 2023).
Ada
pertanyaan yang membara di hati kita, kebutuhan akan kebenaran yang tidak dapat
kita abaikan, yang membuat kita bertanya pada diri sendiri: apa itu kebahagiaan
sejati? Apa arti hidup yang sebenarnya? Apa yang dapat membebaskan kita dari
jerat ketidakbermaknaan, kebosanan, dan biasa-biasa saja?
Dalam
beberapa hari terakhir, kamu telah mengalami banyak pengalaman yang indah. Kamu
telah bertemu dengan orang muda lainnya dari berbagai belahan dunia dan beragam
budaya. Kamu telah bertukar pengetahuan, berbagi pengharapan, dan berdialog
dengan kota melalui seni, musik, teknologi, dan olahraga. Di Circus Maximus,
kamu juga menerima Sakramen Tobat dan menerima pengampunan Allah, memohon
pertolongan-Nya untuk menjalani hidup yang baik.
Melalui
semua ini, kamu dapat memahami sebuah poin penting: kepenuhan keberadaan kita
tidak bergantung pada apa yang kita timbun atau, sebagaimana kita dengar dalam
Bacaan Injil, pada apa yang kita miliki (bdk. Luk 12:13-21). Sebaliknya,
kepenuhan berkaitan dengan apa yang kitaterima dan bagikan dengan sukacita
(bdk. Mat 10:8-10; Yoh 6:1-13). Membeli, menimbun, dan mengonsumsi saja tidak
cukup. Kita perlu menengadah, memandang ke atas, kepada "hal-hal yang di
atas" (Kol 3:2), untuk menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini
memiliki makna hanya sejauh hal itu berfungsi untuk mempersatukan kita dengan
Allah dan dengan saudara-saudari kita dalam kasih, membantu kita untuk
bertumbuh dalam "belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati,
kelemahlembutan, dan kesabaran" (Kol 3:12), pengampunan (bdk. idem, ayat
13) dan damai sejahtera (bdk. Yoh 14:27), semuanya dalam meneladani Kristus
(bdk. Flp 2:5). Dan dengan cara ini kita akan bertumbuh dalam pemahaman yang
semakin dalam tentang apa artinya pengharapan yang tidak mengecewakan, karena
kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita melalui Roh Kudus yang telah
dikaruniakan kepada kita (bdk. Rm 5:5).
Orang
muda terkasih, Yesus adalah pengharapan kita. Dialah, sebagaimana dikatakan
Santo Yohanes Paulus II, “yang membangkitkan dalam dirimu hasrat untuk
melakukan sesuatu yang besar dengan hidupmu [...] untuk berkomitmen ...
memperbaiki diri dan masyarakat, menjadikan dunia semakin manusiawi dan
bersaudara.” (Hari Orang Muda Sedunia XV, Doa Vigili, 19 Agustus 2000). Marilah
kita tetap bersatu dengan-Nya, marilah kita tetap bersahabat dengan-Nya,
senantiasa, memupuknya melalui doa, adorasi, Komuni Ekaristi, Pengakuan Dosa
yang sering, dan kasih yang murah hati, mengikuti teladan Beato Piergiorgio
Frassati dan Beato Carlo Acutis yang akan segera diangkat menjadi santo.
Bercita-citalah untuk hal-hal yang besar, untuk kekudusan, di mana pun kamu
berada. Jangan puas dengan yang kurang. Kamu akan melihat terang Injil
bertumbuh setiap hari, di dalam dirimu dan di sekitarmu.
Saya
memercayakan kalian kepada Perawan Maria, Bunda Pengharapan. Dengan
pertolongannya, saat kamu kembali ke negaramu masing-masing dalam beberapa hari
mendatang, di setiap belahan dunia, teruslah berjalan dengan penuh sukacita mengikuti
jejak Sang Juruselamat, serta sebarkanlah antusiasme dan kesaksian imanmu
kepada setiap orang yang kamu temui! Semoga perjalanan pulangmu menyenangkan!
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 3 Agustus 2025)