Bacaan Ekaristi : Ams. 8:22-31; Mzm. 8:4-5,6-7,8-9; Rm. 5:1-5; Yoh. 16:12-15.
Saudara-saudari
terkasih,
Dalam
Bacaan Pertama kita mendengar kata-kata ini: “Beginilah kata hikmat Allah:
Tuhan telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebelum
perbuatan-perbuatan-Nya dahulu kala. … Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di
sana … aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, aku menjadi kesukaan-Nya setiap
hari, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di muka
bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesukaanku” (Ams 8:22,27,30-31) Bagi
Santo Agustinus, Tritunggal Maha Kudus dan hikmat saling terkait erat. Hikmat
ilahi dinyatakan dalam Tritunggal Mahakudus, dan hikmat selalu menuntun kita
kepada kebenaran.
Seraya
kita sedang merayakan Hari Raya Tritunggal Maha Kudus hari ini, kita juga
memperingati Yubileum Olahraga. Kombinasi Tritunggal dan Olahraga ini agak
tidak biasa, tetapi menjajarkan keduanya tepat. Setiap kegiatan manusia yang
baik dan berharga dalam beberapa hal mencerminkan keindahan Allah yang tak
terbatas, dan olahraga tentu saja merupakan salah satunya. Karena Allah
bergerak dan tidak tertutup pada diri-Nya sendiri, bahkan kegiatan,
persekutuan, hubungan dinamis antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus, terbuka bagi
manusia dan dunia. Para teolog berbicara tentang perichoresis: kehidupan Allah
adalah semacam "tarian": tarian cinta kasih timbal balik.
Dinamisme
kehidupan batiniah Allah ini melahirkan kehidupan. Kita diciptakan oleh Allah
yang menemukan sukacita dalam memberikan keberadaan kepada ciptaan-Nya, yang
“bergembira” akan dunia kita, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama
(bdk. Ams 8:30-31). Beberapa Bapa Gereja bahkan berbicara lebih jauh tentang
Deus ludens, Allah yang “bermain-main” (bdk. Santo Salonius dari Jenewa, Dalam
Parabolas Salomonis expositio mystica; Santo Gregorius dari Nazianze, Carmina,
I, 2, 589). Dengan demikian, olahraga dapat membantu kita untuk berjumpa Allah
Tritunggal, karena olahraga menantang kita untuk berelasi kepada dan dengan
orang lain, tidak hanya secara lahiriah tetapi juga, dan terutama, secara
batiniah. Jika tidak, olahraga tidak lebih dari sekadar kompetisi kosong dari
ego yang membesar.
Di
Italia, penonton acara olahraga sering menyemangati atlet dengan berteriak,
“Dai!” (Ayo!). Namun, kata dalam bahasa Italia tersebut secara harfiah berarti,
“Berikan!” Hal ini dapat memberi kita alasan untuk berpikir. Olahraga bukan
hanya tentang pencapaian fisik, betapapun luar biasanya, tetapi juga tentang
memberi diri kita, menempatkan diri kita “dalam permainan”.Tentang memberi diri
kita untuk orang lain – untuk peningkatan pribadi kita, para pendukung atletik
kita, orang-orang yang kita cintai, pelatih dan kolega kita, masyarakat luas,
dan bahkan lawan kita. Menjadi “olahragawan yang baik” lebih penting daripada
menang atau kalah. Santo Yohanes Paulus II – yang kita ketahui, adalah seorang
olahragawan – mengatakannya seperti ini: “Olahraga adalah kegembiraan hidup,
sebuah permainan, sebuah perayaan. Karena itu, olahraga harus dibina... dengan
mengembalikan keistimewaannya, kemampuannya untuk menjalin ikatan persahabatan,
mendorong dialog dan keterbukaan terhadap orang lain... terlepas dari hukum
produksi dan konsumsi yang keras serta semua pendekatan hidup yang murni
berasas kegunaan dan hedonistik” (Khotbah dalam Yubileum Olahraga, 12 April
1984).
Dari
sudut pandang ini, marilah kita merenungkan tiga hal khusus yang menjadikan
olahraga, dewasa ini, sebagai sarana yang berharga untuk melatih
keutamaan-keutamaan manusiawi dan kristiani.
Pertama,
dalam masyarakat yang ditandai oleh kesendirian, di mana individualisme radikal
telah menggeser penekanan dari “kita” menjadi “aku”, yang mengakibatkan
kurangnya perhatian yang nyata bagi orang lain, olahraga – khususnya olahraga
beregu – mengajarkan nilai kerja sama, bekerja bersama-sama dan berbagi.
Hal-hal ini, sebagaimana telah kami katakan, merupakan inti dari kehidupan
Allah sendiri (bdk. Yoh 16:14-15). Dengan demikian, olahraga dapat menjadi
sarana penting untuk rekonsiliasi dan perjumpaan: di antara bangsa-bangsa serta
dalam komunitas, sekolah, tempat kerja, dan keluarga.
Kedua,
dalam masyarakat yang semakin digital, di mana teknologi mendekatkan orang-orang
yang berjauhan, tetapi sering kali menciptakan jarak di antara mereka yang
dekat secara fisik, olahraga terbukti merupakan sarana yang berharga dan nyata
untuk mempertemukan individu, memberikan rasa yang lebih sehat terhadap tubuh,
ruang, usaha, dan waktu nyata. Olahraga menangkal godaan untuk melarikan diri
ke dunia virtual dan membantu menjaga kontak yang sehat dengan alam dan
kehidupan nyata, di mana cinta sejati dialami (bdk. 1Yoh 3:18).
Ketiga,
dalam masyarakat kita yang kompetitif, di mana tampaknya hanya mereka yang kuat
dan pemenang yang layak untuk hidup, olahraga juga mengajarkan kita bagaimana
cara kalah. Olahraga memaksa kita, dengan mempelajari seni kalah, untuk
menghadapi salah satu kebenaran terdalam dari kondisi manusiawi kita: kerapuhan,
keterbatasan, dan ketidaksempurnaan kita. Ini penting, karena melalui
pengalaman keterbatasan inilah kita membuka hati kita untuk berharap. Atlet
yang tidak pernah membuat kesalahan, yang tidak pernah kalah, tidak ada. Juara
bukanlah mesin yang berfungsi sempurna, tetapi manusia sejati, yang, ketika
mereka jatuh, menemukan keberanian untuk bangkit kembali. Santo Yohanes Paulus
II tepat sasaran ketika ia mengatakan bahwa Yesus adalah "atlet sejati
Allah" karena ia mengalahkan dunia bukan dengan kekuatan, tetapi dengan
kesetiaan cinta (bdk. Homili dalam Misa Yubileum Olahraga, 29 Oktober 2000).
Bukanlah
suatu kebetulan bahwa olahraga telah memainkan peran penting dalam kehidupan
banyak orang kudus di zaman kita, baik sebagai disiplin pribadi maupun sebagai
sarana evangelisasi. Kita dapat mengingat Beato Pier Giorgio Frassati, orang
kudus pelindung para atlet, yang akan dikanonisasi akhir tahun ini pada tanggal
7 September. Kehidupannya yang lugas dan cemerlang mengingatkan kita bahwa,
sebagaimana tidak seorang pun dilahirkan sebagai juara, tidak seorang pun
dilahirkan sebagai orang kudus. Latihan kasih setiap harilah yang membawa kita
lebih dekat kepada kemenangan akhir (bdk. Rm 5:3-5) dan memampukan kita untuk
berkontribusi dalam membangun dunia baru. Santo Paulus VI juga mengamati hal
ini, dua puluh tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, ketika ia
mengingatkan para anggota sebuah perkumpulan atletik Katolik betapa olahraga
telah membantu memulihkan perdamaian dan harapan dalam masyarakat yang hancur oleh
konsekuensi perang (bdk. Wejangan kepada anggota CSI, 20 Maret 1965). Ia
melanjutkan dengan mengatakan, “Upayamu diarahkan pada pembentukan masyarakat
baru..., dengan kesadaran bahwa olahraga, berdasarkan nilai-nilai pendidikan
yang baik yang dipromosikannya, dapat menjadi sarana yang sangat berguna untuk
peningkatan spiritual manusia, kondisi utama dan tak terelakkan bagi masyarakat
yang tertib, damai, dan konstruktif.”
Para
atlet terkasih, Gereja memercayakan kepadamu sebuah misi yang indah: merefleksikan
dalam semua kegiatanmu kasih Allah Tritunggal, demi kebaikanmu sendiri dan demi
kebaikan saudara-saudarimu. Laksanakanlah misi ini dengan penuh semangat:
sebagai atlet, sebagai pelatih, sebagai lembaga dan kelompok, serta dalam
keluargamu. Paus Fransiskus suka menunjukkan bahwa Injil menampilkan Perawan
Maria sebagai sosok yang selalu aktif, bergerak, bahkan “berlari” (bdk. Luk
1:39), selalu siap, seperti para ibu, untuk berangkat atas tanda dari Allah
guna menolong anak-anaknya (bdk. Wejangan kepada Relawan Hari Orang Muda
Sedunia, 6 Agustus 2023). Marilah kita memohon kepadanya untuk menyertai usaha
dan antusiasme kita, serta selalu menuntunnya menuju kemenangan terbesar:
hadiah kehidupan kekal di lapangan permainan di mana permainan tidak akan pernah
berakhir dan sukacita kita akan menjadi penuh (bdk. 1 Kor 9:24-25; 2Tim 4:7-8).
_____
(Peter Suriadi - Bogor, 15 Juni 2025)