Liturgical Calendar

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA SANTO PETRUS DAN SANTO PAULUS 29 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 12:1-11; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; 2Tim. 4:6-8,17-18; Mat. 16:13-19.


Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita merayakan dua saudara seiman, Petrus dan Paulus, yang kita hormati sebagai pilar Gereja dan junjung tinggi sebagai santo pelindung Keuskupan dan Kota Roma.


Kisah kedua Rasul ini menyampaikan banyak hal kepada kita, komunitas murid-murid Tuhan, saat kita menjalani perziarahan kita di dunia saat ini. Setelah merenungkannya, saya ingin menekankan dua aspek khusus iman mereka: persekutuan gerejawi dan vitalitas iman.

 

Pertama, persekutuan gerejawi. Liturgi hari ini mengingatkan kita bagaimana Petrus dan Paulus dipanggil untuk ambil bagian dalam nasib yang sama, yaitu kemartiran, yang secara definitif mempersatukan mereka dengan Kristus. Dalam Bacaan Pertama, kita melihat Petrus mendekam di dalam penjara sambil menanti keputusan pengadilan (bdk. Kis 12:1-11). Dalam Bacaan Kedua, Rasul Paulus, yang juga dirantai, memberitahu kita, dalam semacam wasiat terakhir, bahwa darahnya akan segera dicurahkan dan dipersembahkan kepada Allah (bdk. 2Tim 4:6-8,17-18). Petrus dan Paulus sama-sama siap mengorbankan nyawa mereka demi Injil.

 

Namun persekutuan kedua Rasul dalam satu pengakuan iman ini merupakan kesimpulan dari perjalanan panjang di mana masing-masing memeluk iman dan menjalani kerasulannya dengan caranya sendiri. Persaudaraan mereka dalam Roh tidak meniadakan perbedaan latar belakang mereka. Simon adalah seorang nelayan dari Galilea, sementara Saulus berpendidikan tinggi dan anggota kelompok Farisi. Petrus segera meninggalkan segalanya untuk mengikuti Tuhan, sementara Paulus menganiaya orang-orang kristiani sebelum perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit mengubah hidupnya. Petrus berkhotbah terutama kepada orang-orang Yahudi, sedangkan Paulus terdorong untuk membawa Kabar Baik kepada orang-orang bukan Yahudi.

 

Sebagaimana kita ketahui, keduanya berselisih pendapat tentang cara yang tepat untuk menghadapi orang-orang bukan Yahudi yang bertobat, sedemikian rupa sehingga Paulus memberitahu kita bahwa, "ketika Kefas datang ke Antiokhia, aku terang-terangan menentangnya, sebab ia salah" (Gal 2:11). Dalam Konsili Yerusalem, kedua Rasul itu kembali memperdebatkan masalah tersebut.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kisah Petrus dan Paulus menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan memanggil kita untuk mengikuti persekutuan yang berupa kesesuaian antara ucapan dan kepribadian yang tidak meniadakan kebebasan siapa pun. Kedua santo pelindung kita mengikuti jalan yang berbeda, memiliki gagasan yang berbeda dan kadang-kadang saling berdebat dengan keterusterangan injili. Namun, ini tidak menghalangi mereka untuk menjalani concordia apostolorum, yaitu, persekutuan yang hidup dalam Roh, keselarasan yang berbuah dalam keberagaman. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, “pesta kedua Rasul itu dirayakan pada satu hari. Keduanya juga satu. Karena meskipun keduanya menjadi martir pada hari yang berbeda, keduanya satu” (Khotbah 295, 7.7).

 

Semua ini mengajak kita untuk merenungkan hakikat persekutuan gerejawi. Dibangkitkan oleh inspirasi Roh Kudus, persekutuan itu menyatukan perbedaan dan membangun jembatan persatuan berkat kekayaan berragam karisma, karunia, dan pelayanan. Penting bagi kita untuk belajar mengalami persekutuan dengan cara ini — sebagai kesatuan dalam keberagaman — sehingga berbagai karunia, yang disatukan dalam satu pengakuan iman, dapat mengembangkan pewartaan Injil. Kita dipanggil untuk bertekun di sepanjang jalan ini, mengikuti teladan Petrus dan Paulus, karena kita semua membutuhkan persaudaraan semacam itu. Seluruh Gereja membutuhkan persaudaraan, yang harus hadir dalam semua hubungan kita, baik antara kaum awam dan para imam, para imam dan para uskup, para uskup dan Paus. Persaudaraan juga dibutuhkan dalam pelayanan pastoral, dialog ekumenis, dan hubungan persahabatan yang ingin dipertahankan Gereja dengan dunia. Oleh karena itu, marilah kita berupaya mengubah perbedaan kita menjadi tempat kerja persatuan dan persekutuan, persaudaraan dan rekonsiliasi, sehingga setiap orang dalam Gereja, masing-masing dengan sejarah pribadinya, dapat belajar untuk berjalan berdampingan.

 

Santo Petrus dan Santo Paulus juga menantang kita untuk berpikir tentang vitalitas iman kita. Dalam kehidupan kita sebagai murid, kita selalu dapat berisiko jatuh ke dalam kebiasaan, rutinitas, kecenderungan untuk mengikuti rencana pastoral lama yang sama tanpa mengalami pembaruan batin dan kemauan untuk menanggapi tantangan baru. Namun, kedua Rasul itu dapat menginspirasi kita melalui teladan keterbukaan mereka terhadap perubahan, terhadap peristiwa baru, perjumpaan, dan situasi nyata dalam kehidupan komunitas mereka, dan melalui kesiapan mereka untuk mempertimbangkan pendekatan baru terhadap penginjilan dalam menanggapi masalah dan kesulitan yang diajukan oleh saudara-saudari seiman kita.

 

Inti Bacaan Injil hari ini adalah pertanyaan yang diajukan Yesus kepada para murid-Nya. Hari ini, Ia mengajukan pertanyaan yang sama kepada kita, menantang kita untuk memeriksa apakah kehidupan iman kita tetap berenergi dan bersemangat, serta apakah api hubungan kita dengan Tuhan masih menyala terang: "Menurutmu, siapakah Aku ini?" (Mat 16:15).

 

Setiap hari, di setiap momen dalam sejarah, kita harus selalu mengingat pertanyaan ini. Jika kita ingin menjaga jatidiri kita sebagai orang kristiani agar tidak terpuruk menjadi peninggalan masa lalu, sebagaimana sering diingatkan Paus Fransiskus, melangkah maju melampaui iman yang lelah dan stagnan penting. Kita perlu bertanya pada diri sendiri: Siapakah Yesus Kristus bagi kita saat ini? Di mana tempat yang ditempati-Nya dalam kehidupan kita dan dalam kehidupan Gereja? Bagaimana kita dapat memberi kesaksian tentang pengharapan ini dalam kehidupan kita sehari-hari dan mewartakannya kepada orang-orang yang kita jumpai?

 

Saudara-saudari, penerapan pembedaan roh yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat memampukan iman kita dan iman Gereja untuk terus diperbarui dan menemukan jalan-jalan baru serta pendekatan-pendekatan baru untuk mewartakan Injil. Hal ini, bersama dengan persekutuan, harus menjadi keinginan kita yang terbesar. Hari ini saya ingin berbicara kepada Gereja di Roma khususnya, karena Gereja terutama dipanggil untuk menjadi tanda kesatuan dan persekutuan, Gereja yang berapi-api dengan iman yang hidup, komunitas para murid yang memberi kesaksian tentang sukacita dan penghiburan Injil di mana pun mereka berada.

 

Seraya kehidupan Santo Petrus dan Santo Paulus mengajak kita untuk mengembangkan sukacita persekutuan, saya menyapa saudara-saudara para uskup agung yang hari ini menerima pallium. Saudara-saudara terkasih, tanda tanggung jawab pastoral yang dipercayakan kepadamu ini juga mengungkapkan persekutuanmu dengan Uskup Roma, sehingga dalam kesatuan iman Katolik, kamu masing-masing dapat membangun persekutuan itu dalam Gereja-gereja lokalmu.

 

Saya juga ingin menyapa para anggota Sinode Gereja Katolik Yunani Ukraina. Saya berterima kasih atas kehadiranmu di sini dan atas semangat pastoralmu. Semoga Tuhan menganugerahkan kedamaian bagi umatmu!

 

Dan dengan rasa syukur yang mendalam, saya menyapa Delegasi Patriarkat Ekumenis, yang diutus ke sini oleh saudara saya terkasih, Yang Mulia Bartolomeus.

 

Saudara-saudari terkasih, dikuatkan oleh kesaksian rasul kudus Petrus dan Paulus, marilah kita berjalan bersama dalam iman dan persekutuan serta memohon pengantaraan mereka bagi diri kita sendiri, kota Roma, Gereja, dan seluruh dunia.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHA KUDUS (YUBILEUM IMAM) 27 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Yeh 34:11-16; Mzm 23:1-3a,3b-4,5,6; Rm. 5:5b-11; Luk. 15:3-7.

 

Hari ini, Hari Raya Hati Yesus Yang Maha Kudus, Hari Doa untuk Pengudusan Para Imam, kita merayakan Ekaristi ini dengan penuh sukacita sebagai bagian dari Yubileum Imam.

 

Sebelumnya, saudara-saudara para imam terkasih, saya ingin menyampaikan sepatah kata kepadamu, yang telah melewati Pintu Suci untuk berdoa di makam Rasul Petrus serta sekali lagi membenamkan busana baptis dan imamatmu ke dalam hati Sang Juruselamat. Bagi sebagian dari kamu, ini terjadi pada hari yang unik dalam hidupmu: hari tahbisanmu.

 

Berbicara tentang hati Kristus dalam konteks ini berarti merenungkan seluruh misteri penjelmaan, wafat, dan kebangkitan Tuhan, yang dipercayakan secara khusus kepada kita, sehingga kita dapat menghadirkannya di dunia kita. Dalam terang bacaan-bacaan yang baru saja kita dengar, marilah kita merenungkan bagaimana kita dapat berkontribusi pada karya keselamatan ini.

 

Dalam Bacaan Pertama, Nabi Yehezkiel menggambarkan Allah sebagai seorang gembala yang menjaga kawanan dombanya, menghitung domba-dombanya satu per satu. Ia mencari yang hilang, membalut yang terluka, serta menguatkan yang lemah dan sakit (bdk. Yeh 34:11-16). Dengan demikian, ia mengingatkan kita, di zaman pertikaian yang luas dan menghancurkan ini, kasih Allah tak terbatas. Kita dipanggil untuk membiarkan diri kita dipeluk dan dibentuk oleh kasih itu, serta menyadari bahwa di mata Allah – dan juga mata kita – tidak ada tempat untuk perpecahan dan kebencian dalam bentuk apa pun.

 

Dalam Bacaan Kedua (bdk. Rm 5:5-11), Santo Paulus mengingatkan kita bahwa Allah telah mendamaikan kita dengan diri-Nya “waktu kita masih lemah” (ayat 6) dan “ketika kita masih berdosa” (ayat 8), dan menasihati kita untuk memercayakan diri kita, di sepanjang jalan pertobatan setiap hari, kepada kuasa Roh-Nya yang mengubah rupa yang tinggal di dalam hati kita. Pengharapan kita didasarkan pada pengetahuan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita: Ia selalu berada di sisi kita. Pada saat yang sama, kita dipanggil untuk bekerja sama dengan-Nya, terutama dengan menempatkan Ekaristi di pusat kehidupan kita, karena Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 11). Kemudian juga, “melalui penerimaan sakramen-sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima sakramen tobat” (Dekrit Presbyterorum Ordinis, 18), dan akhirnya melalui doa, meditasi atas sabda Allah, dan pelaksanaan amal, yang semakin menyelaraskan hati kita dengan hati “Bapa yang penuh belas kasihan” (Presbyterorum Ordinis, 18).

 

Hal ini mengantarkan kita kepada Bacaan Injil hari ini (bdk. Luk 15:3-7), yang berbicara tentang sukacita Allah – dan setiap gembala yang mengasihi dengan cara hati-Nya – bahkan saat kepulangan seekor domba-Nya ke dalam kandang. Kita dipanggil untuk melaksanakan amal pastoral dengan kasih yang murah hati, seperti kasih Bapa, dan menumbuhkan dalam hati kita keinginan agar tidak seorang pun hilang (bdk. Yoh 6:39) tetapi agar setiap orang, juga melalui pelayanan kita, dapat mengenal Kristus dan memperoleh hidup yang kekal di dalam Dia (bdk. Yoh 6:40). Kita dipanggil untuk memperdalam kedekatan kita dengan Yesus (bdk. Presbyterorum Ordinis, 14) dan menjadi sumber kerukunan di tengah-tengah para imam saudara kita. Kita melakukannya dengan memikul beban mereka yang tersesat, memberikan pengampunan kepada mereka yang telah berbuat salah, mencari mereka yang telah tersesat atau tertinggal, dan merawat mereka yang menderita secara jasmani maupun rohani. Dan melakukan semua ini dalam pertukaran kasih yang agung, yang mengalir dari lambung tertikam Tuhan yang tersalib, merangkul semua orang dan memenuhi seluruh dunia. Sebab, mengutip kata-kata Paus Fransiskus, “dari luka lambung Kristus terus mengalir aliran yang tidak pernah habis, tidak pernah surut, yang terus menerus menawarkan diri kepada mereka yang ingin mengasihi. Hanya kasih-Nya yang memungkinkan menghasilkan kemanusiaan yang baru.” (Ensiklik Dilexit Nos, 219).

 

Pelayanan imamat adalah pelayanan pengudusan dan rekonsiliasi untuk membangun tubuh Kristus dalam kesatuan (bdk. Lumen Gentium, 7). Karena alasan ini, Konsili Vatikan II mendesak para imam untuk melakukan segala upaya untuk “mengantarkan semua kepada kesatuan cinta kasih” (Presbyterorum Ordinis, 9), menyelaraskan perbedaan-perbedaan sehingga “tidak seorang pun merasa diri terasing” (Presbyterorum Ordinis, 9). Konsili juga mendorong para imam untuk tetap bersatu dengan uskup mereka dan dalam presbiterium (Presbyterorum Ordinis, 7-8). Karena semakin kita bersatu di antara kita, semakin kita akan mampu membawa orang lain kepada kawanan Gembala yang baik, dan hidup sebagai saudara-saudari dalam satu rumah Bapa.

 

Santo Agustinus, dalam homili yang disampaikan pada peringatan tahbisannya, berbicara tentang buah persekutuan yang menggembirakan yang menyatukan umat beriman, para imam dan uskup, yang didasarkan pada pengakuan bahwa kita semua ditebus dan diselamatkan oleh belas kasihan Allah yang sama. Dalam konteks itulah ia mengucapkan kata-kata yang terkenal: “Bagimu aku adalah uskup, bersamamu aku adalah umat kristiani” (Khotbah 340, 1).

 

Dalam Misa meriah inagurasi pontifikasi saya, saya menyuarakan di hadapan umat Allah keinginan besar saya akan “Gereja yang bersatu, tanda persatuan dan persekutuan, yang menjadi ragi bagi dunia yang diperdamaikan” (18 Mei 2025). Hari ini, saya menyatakan kembali keinginan ini kepada kamu semua. Berdamai satu sama lain, bersatu dan diubah oleh kasih yang mengalir berlimpah dari hati Kristus, marilah kita berjalan bersama dengan rendah hati dan tegas mengikuti jejak langkah-Nya, teguh dalam iman dan terbuka kepada semua orang dalam kasih. Marilah kita membawa damai Tuhan yang bangkit ke dunia kita, dengan kebebasan yang lahir dari pengetahuan bahwa kita telah dikasihi, dipilih dan diutus oleh Bapa.

 

Sekarang, sebelum mengakhiri, saya ingin menyampaikan sepatah kata kepadamu, para calon imam yang terkasih, yang dalam beberapa saat, dengan penumpangan tangan uskup dan sekali lagi pencurahan Roh Kudus, akan menjadi imam. Apa yang harus saya katakan sederhana, tetapi saya menganggapnya penting bagi masa depanmu dan masa depan jiwa-jiwa yang dipercayakan kepada pemeliharaanmu. Kasihilah Allah dan saudara-saudarimu, dan berikanlah dirimu kepada mereka dengan murah hati. Bersungguh-sungguhlah dalam perayaan sakramen-sakramen, dalam doa, terutama dalam adorasi di hadapan Ekaristi, dan dalam pelayananmu. Tetaplah dekat dengan kawananmu, berikanlah waktu dan tenagamu dengan cuma-cuma kepada setiap orang, tanpa syarat dan tanpa pilih kasih, sebagaimana lambung tertikam Yesus yang tersalib dan teladan para kudus mengajarkan kita untuk melakukannya. Ingatlah bahwa Gereja, dalam dua ribu tahun sejarahnya, telah memiliki – dan saat ini terus memiliki – teladan kekudusan imami yang luar biasa. Sejak komunitas-komunitas perdana, Gereja telah membangkitkan para imam yang telah menjadi martir, rasul yang tak kenal lelah, misionaris, dan pejuang kasih. Hargailah khazanah ini: pelajarilah kisah-kisah mereka, belajarlah dari kehidupan dan karya mereka, teladanilah kebajikan-kebajikan mereka, dapatkan inspirasi dari semangat mereka, dan mohonlah pengantaraan mereka dengan sering dan terus-menerus! Terlalu sering, dunia saat ini menawarkan model-model keberhasilan dan prestise yang meragukan dan berumur pendek. Jangan biarkan dirimu terbuai oleh mereka! Lihatlah teladan nyata dan keberhasilan kerasulan, yang seringkali tersembunyi dan sederhana, dari orang-orang yang, dengan iman dan dedikasi, telah mengabdikan hidup mereka untuk melayani Tuhan dan saudara-saudari mereka. Jagalah kenangan mereka tetap hidup melalui teladan kesetiaanmu.

 

Sekarang marilah kita memercayakan diri kita kepada perlindungan penuh kasih Santa Perawan Maria, Bunda para imam dan Bunda pengharapan. Semoga ia mengarahkan dan menopang langkah-langkah kita, sehingga setiap hari kita dapat menyelaraskan hati kita semakin dekat dengan hati Kristus, Sang Gembala yang agung dan kekal.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 27 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS 22 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kej. 14:18-20; Mzm. 110:1,2,3,4; 1Kor. 11:23-26; Luk. 9:11b-17.


Saudara-saudari terkasih, sungguh luar biasa berada di hadirat Yesus. Bacaan Injil yang baru saja kita dengar membuktikan hal ini; Bacaan Injil menceritakan bagaimana orang banyak menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan Dia berbicara tentang Kerajaan Allah dan melihat Dia menyembuhkan orang sakit (bdk. Luk 9:11). Belas kasihan Yesus terhadap penderitaan menunjukkan kepada kita kedekatan Allah yang penuh kasih, yang datang ke dunia kita untuk menyelamatkan kita. Di mana Allah berkuasa, kita dibebaskan dari segala kejahatan. Namun bahkan bagi mereka yang menerima kabar baik yang dibawa oleh Yesus, saat pencobaan pun datang. Di tempat yang sunyi itu, di mana orang banyak mendengarkan Sang Guru, hari sudah malam dan tidak ada yang bisa dimakan (bdk. ayat 12). Kelaparan orang-orang dan terbenamnya matahari berbicara kepada kita tentang batas yang membayangi dunia dan setiap ciptaan: hari berakhir, seperti halnya kehidupan setiap manusia. Pada saat penuh kebutuhan dan kumpulan bayangan itu, Yesus tetap hadir di tengah-tengah kita.

 

Tepatnya ketika hari hampir berakhir dan rasa lapar mulai terasa, ketika para Rasul sendiri meminta-Nya untuk membubarkan orang banyak, Kristus mengejutkan kita dengan belas kasihan-Nya. Ia merasa kasihan kepada mereka yang lapar dan Ia mengundang para murid-Nya untuk menyediakan bagi mereka. Rasa lapar bukanlah hal yang asing bagi pemberitaan Kerajaan Allah dan pesan keselamatan. Sebaliknya, rasa lapar berbicara kepada kita tentang hubungan kita dengan Allah. Pada saat yang sama, lima roti dan dua ikan tampaknya sama sekali tidak cukup untuk memberi makan orang banyak. Perhitungan para murid, yang tampaknya sangat masuk akal, mengungkapkan kurangnya iman mereka. Karena di mana Tuhan hadir, kita menemukan semua yang kita butuhkan untuk memberi kekuatan dan makna bagi hidup kita.

 

Yesus menanggapi permintaan rasa lapar dengan tanda berbagi: Ia menengadah, mengucapkan syukur, memecah-mecahkan roti, dan memberi makan semua yang hadir (bdk. ayat 16). Tindakan Tuhan bukan semacam ritual magis yang rumit; tindakan itu hanya menunjukkan rasa syukur-Nya kepada Bapa, doa-Nya sebagai anak, dan persekutuan persaudaraan yang ditopang oleh Roh Kudus. Yesus menggandakan roti dan ikan dengan membagikan apa yang tersedia. Hasilnya, cukup untuk semua orang. Bahkan, lebih dari cukup. Setelah semua orang makan sampai kenyang, terkumpul dua belas bakul penuh (bdk. ayat 17).

 

Begitulah cara Yesus memuaskan rasa lapar orang banyak: Ia melakukan apa yang dilakukan Allah, dan Ia mengajar kita untuk melakukan hal yang sama. Dewasa ini, sebagai ganti orang banyak yang disebutkan dalam Bacaan Injil, seluruh bangsa lebih menderita sebagai akibat dari keserakahan orang lain daripada karena rasa lapar mereka. Sangat kontras dengan kemiskinan yang dialami banyak orang, penimbunan kekayaan oleh segelintir orang merupakan tanda ketidakpedulian yang arogan yang menghasilkan penderitaan dan ketidakadilan. Alih-alih berbagi, malah menghambur-hamburkan hasil bumi dan kerja manusia. Khususnya di Tahun Yubileum ini, teladan Tuhan menjadi tolok ukur yang seharusnya membimbing tindakan dan pelayanan kita: kita dipanggil untuk berbagi roti, menggandakan harapan dan mewartakan kedatangan Kerajaan Allah.

 

Dengan menyelamatkan orang banyak dari kelaparan, Yesus menyatakan bahwa Ia akan menyelamatkan semua orang dari kematian. Itulah misteri iman, yang kita rayakan dalam sakramen Ekaristi. Karena sama seperti kelaparan merupakan tanda kebutuhan mendasar kita dalam hidup ini, memecah-mecahkan roti merupakan tanda karunia keselamatan Allah.

 

Sahabat-sahabat terkasih, Kristus adalah jawaban Allah atas rasa lapar manusiawi kita, karena tubuh-Nya adalah roti kehidupan kekal: Ambillah ini dan makanlah, kamu semua! Undangan Yesus mencerminkan pengalaman kita sehari-hari: agar tetap hidup, kita perlu memelihara diri kita dengan kehidupan, mengambilnya dari tumbuhan dan hewan. Namun memakan sesuatu yang mati mengingatkan kita bahwa kita juga, tidak peduli seberapa banyak kita makan, suatu hari akan mati. Di sisi lain, ketika kita mengambil bagian dari Yesus, Roti yang hidup dan sejati, kita hidup untuk-Nya. Dengan mempersembahkan diri-Nya sepenuhnya, Tuhan yang tersalib dan bangkit menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan kita, dan kita menyadari bahwa kita diciptakan untuk mengambil bagian dari Allah. Sifat lapar kita menunjukkan tanda kebutuhan yang dipuaskan oleh rahmat Ekaristi. Sebagaimana ditulis Santo Agustinus, Kristus benar-benar “panis qui reficit, et non deficit; panis qui sumi potest, consumi non potest” (Serm. 130, 2): Dia adalah roti yang memulihkan dan tidak akan habis; roti yang dapat dimakan tetapi tidak akan habis. Ekaristi, sesungguhnya, adalah kehadiran Juruselamat yang sejati, nyata, dan hakiki (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 1413), yang mengubah roti menjadi diri-Nya untuk mengubah kita menjadi diri-Nya. Corpus Domini yang hidup dan memberi hidup menjadikan kita, Gereja itu sendiri, tubuh Tuhan.

 

Karena alasan ini, dengan menggemakan Rasul Paulus (bdk. 1 Kor 10:17), Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “dalam sakramen roti Ekaristi, kesatuan umat beriman, yang membentuk satu tubuh dalam Kristus, diungkapkan dan dicapai. Semua orang dipanggil kepada persatuan ini dengan Kristus, yang adalah terang dunia, dari-Nya kita berasal, melalui-Nya kita hidup, dan kepada-Nya kita mengarahkan hidup kita” (Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 3). Perarakan yang akan kita lakukan adalah tanda perjalanan itu. Bersama-sama, sebagai gembala dan kawanan domba, kita akan menyantap Sakramen Mahakudus, menyembah dan membawa-Nya melalui jalan-jalan. Dengan melakukan hal itu, kita akan menghadirkan-Nya di hadapan mata dan hati nurani umat. Kepada hati mereka yang percaya, sehingga mereka dapat semakin percaya teguh; kepada hati mereka yang tidak percaya, sehingga mereka dapat merenungkan rasa lapar yang ada di dalam diri mereka dan roti yang hanya dapat memuaskannya.

 

Dikuatkan oleh makanan yang diberikan Allah kepada kita, marilah kita membawa Yesus ke dalam hati semua orang, karena Yesus melibatkan setiap orang dalam karya keselamatan-Nya dengan memanggil kita masing-masing untuk duduk di meja-Nya. Berbahagialah orang-orang yang dipanggil, karena mereka menjadi saksi kasih ini!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 22 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA TRITUNGGAL MAHA KUDUS (YUBILEUM OLAHRAGA) 15 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Ams. 8:22-31; Mzm. 8:4-5,6-7,8-9; Rm. 5:1-5; Yoh. 16:12-15.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Dalam Bacaan Pertama kita mendengar kata-kata ini: “Beginilah kata hikmat Allah: Tuhan telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebelum perbuatan-perbuatan-Nya dahulu kala. … Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana … aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, aku menjadi kesukaan-Nya setiap hari, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesukaanku” (Ams 8:22,27,30-31) Bagi Santo Agustinus, Tritunggal Maha Kudus dan hikmat saling terkait erat. Hikmat ilahi dinyatakan dalam Tritunggal Mahakudus, dan hikmat selalu menuntun kita kepada kebenaran.

 

Seraya kita sedang merayakan Hari Raya Tritunggal Maha Kudus hari ini, kita juga memperingati Yubileum Olahraga. Kombinasi Tritunggal dan Olahraga ini agak tidak biasa, tetapi menjajarkan keduanya tepat. Setiap kegiatan manusia yang baik dan berharga dalam beberapa hal mencerminkan keindahan Allah yang tak terbatas, dan olahraga tentu saja merupakan salah satunya. Karena Allah bergerak dan tidak tertutup pada diri-Nya sendiri, bahkan kegiatan, persekutuan, hubungan dinamis antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus, terbuka bagi manusia dan dunia. Para teolog berbicara tentang perichoresis: kehidupan Allah adalah semacam "tarian": tarian cinta kasih timbal balik.

 

Dinamisme kehidupan batiniah Allah ini melahirkan kehidupan. Kita diciptakan oleh Allah yang menemukan sukacita dalam memberikan keberadaan kepada ciptaan-Nya, yang “bergembira” akan dunia kita, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama (bdk. Ams 8:30-31). Beberapa Bapa Gereja bahkan berbicara lebih jauh tentang Deus ludens, Allah yang “bermain-main” (bdk. Santo Salonius dari Jenewa, Dalam Parabolas Salomonis expositio mystica; Santo Gregorius dari Nazianze, Carmina, I, 2, 589). Dengan demikian, olahraga dapat membantu kita untuk berjumpa Allah Tritunggal, karena olahraga menantang kita untuk berelasi kepada dan dengan orang lain, tidak hanya secara lahiriah tetapi juga, dan terutama, secara batiniah. Jika tidak, olahraga tidak lebih dari sekadar kompetisi kosong dari ego yang membesar.

 

Di Italia, penonton acara olahraga sering menyemangati atlet dengan berteriak, “Dai!” (Ayo!). Namun, kata dalam bahasa Italia tersebut secara harfiah berarti, “Berikan!” Hal ini dapat memberi kita alasan untuk berpikir. Olahraga bukan hanya tentang pencapaian fisik, betapapun luar biasanya, tetapi juga tentang memberi diri kita, menempatkan diri kita “dalam permainan”.Tentang memberi diri kita untuk orang lain – untuk peningkatan pribadi kita, para pendukung atletik kita, orang-orang yang kita cintai, pelatih dan kolega kita, masyarakat luas, dan bahkan lawan kita. Menjadi “olahragawan yang baik” lebih penting daripada menang atau kalah. Santo Yohanes Paulus II – yang kita ketahui, adalah seorang olahragawan – mengatakannya seperti ini: “Olahraga adalah kegembiraan hidup, sebuah permainan, sebuah perayaan. Karena itu, olahraga harus dibina... dengan mengembalikan keistimewaannya, kemampuannya untuk menjalin ikatan persahabatan, mendorong dialog dan keterbukaan terhadap orang lain... terlepas dari hukum produksi dan konsumsi yang keras serta semua pendekatan hidup yang murni berasas kegunaan dan hedonistik” (Khotbah dalam Yubileum Olahraga, 12 April 1984).

 

Dari sudut pandang ini, marilah kita merenungkan tiga hal khusus yang menjadikan olahraga, dewasa ini, sebagai sarana yang berharga untuk melatih keutamaan-keutamaan manusiawi dan kristiani.

 

Pertama, dalam masyarakat yang ditandai oleh kesendirian, di mana individualisme radikal telah menggeser penekanan dari “kita” menjadi “aku”, yang mengakibatkan kurangnya perhatian yang nyata bagi orang lain, olahraga – khususnya olahraga beregu – mengajarkan nilai kerja sama, bekerja bersama-sama dan berbagi. Hal-hal ini, sebagaimana telah kami katakan, merupakan inti dari kehidupan Allah sendiri (bdk. Yoh 16:14-15). Dengan demikian, olahraga dapat menjadi sarana penting untuk rekonsiliasi dan perjumpaan: di antara bangsa-bangsa serta dalam komunitas, sekolah, tempat kerja, dan keluarga.

 

Kedua, dalam masyarakat yang semakin digital, di mana teknologi mendekatkan orang-orang yang berjauhan, tetapi sering kali menciptakan jarak di antara mereka yang dekat secara fisik, olahraga terbukti merupakan sarana yang berharga dan nyata untuk mempertemukan individu, memberikan rasa yang lebih sehat terhadap tubuh, ruang, usaha, dan waktu nyata. Olahraga menangkal godaan untuk melarikan diri ke dunia virtual dan membantu menjaga kontak yang sehat dengan alam dan kehidupan nyata, di mana cinta sejati dialami (bdk. 1Yoh 3:18).

 

Ketiga, dalam masyarakat kita yang kompetitif, di mana tampaknya hanya mereka yang kuat dan pemenang yang layak untuk hidup, olahraga juga mengajarkan kita bagaimana cara kalah. Olahraga memaksa kita, dengan mempelajari seni kalah, untuk menghadapi salah satu kebenaran terdalam dari kondisi manusiawi kita: kerapuhan, keterbatasan, dan ketidaksempurnaan kita. Ini penting, karena melalui pengalaman keterbatasan inilah kita membuka hati kita untuk berharap. Atlet yang tidak pernah membuat kesalahan, yang tidak pernah kalah, tidak ada. Juara bukanlah mesin yang berfungsi sempurna, tetapi manusia sejati, yang, ketika mereka jatuh, menemukan keberanian untuk bangkit kembali. Santo Yohanes Paulus II tepat sasaran ketika ia mengatakan bahwa Yesus adalah "atlet sejati Allah" karena ia mengalahkan dunia bukan dengan kekuatan, tetapi dengan kesetiaan cinta (bdk. Homili dalam Misa Yubileum Olahraga, 29 Oktober 2000).

 

Bukanlah suatu kebetulan bahwa olahraga telah memainkan peran penting dalam kehidupan banyak orang kudus di zaman kita, baik sebagai disiplin pribadi maupun sebagai sarana evangelisasi. Kita dapat mengingat Beato Pier Giorgio Frassati, orang kudus pelindung para atlet, yang akan dikanonisasi akhir tahun ini pada tanggal 7 September. Kehidupannya yang lugas dan cemerlang mengingatkan kita bahwa, sebagaimana tidak seorang pun dilahirkan sebagai juara, tidak seorang pun dilahirkan sebagai orang kudus. Latihan kasih setiap harilah yang membawa kita lebih dekat kepada kemenangan akhir (bdk. Rm 5:3-5) dan memampukan kita untuk berkontribusi dalam membangun dunia baru. Santo Paulus VI juga mengamati hal ini, dua puluh tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, ketika ia mengingatkan para anggota sebuah perkumpulan atletik Katolik betapa olahraga telah membantu memulihkan perdamaian dan harapan dalam masyarakat yang hancur oleh konsekuensi perang (bdk. Wejangan kepada anggota CSI, 20 Maret 1965). Ia melanjutkan dengan mengatakan, “Upayamu diarahkan pada pembentukan masyarakat baru..., dengan kesadaran bahwa olahraga, berdasarkan nilai-nilai pendidikan yang baik yang dipromosikannya, dapat menjadi sarana yang sangat berguna untuk peningkatan spiritual manusia, kondisi utama dan tak terelakkan bagi masyarakat yang tertib, damai, dan konstruktif.”

 

Para atlet terkasih, Gereja memercayakan kepadamu sebuah misi yang indah: merefleksikan dalam semua kegiatanmu kasih Allah Tritunggal, demi kebaikanmu sendiri dan demi kebaikan saudara-saudarimu. Laksanakanlah misi ini dengan penuh semangat: sebagai atlet, sebagai pelatih, sebagai lembaga dan kelompok, serta dalam keluargamu. Paus Fransiskus suka menunjukkan bahwa Injil menampilkan Perawan Maria sebagai sosok yang selalu aktif, bergerak, bahkan “berlari” (bdk. Luk 1:39), selalu siap, seperti para ibu, untuk berangkat atas tanda dari Allah guna menolong anak-anaknya (bdk. Wejangan kepada Relawan Hari Orang Muda Sedunia, 6 Agustus 2023). Marilah kita memohon kepadanya untuk menyertai usaha dan antusiasme kita, serta selalu menuntunnya menuju kemenangan terbesar: hadiah kehidupan kekal di lapangan permainan di mana permainan tidak akan pernah berakhir dan sukacita kita akan menjadi penuh (bdk. 1 Kor 9:24-25; 2Tim 4:7-8).

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 15 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA PERINGATAN WAJIB SANTA MARIA BUNDA ALLAH (YUBILEUM TAKHTA SUCI) 9 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kis 1:12-14; Mzm 87:1-2,3,5,6-7; Yoh. 19:25-34.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

Hari ini kita menikmati sukacita dan rahmat merayakan Yubileum Takhta Suci pada peringatan wajib Santa Perawan Maria Bunda Gereja. Kebetulan yang membahagiakan ini merupakan sumber terang dan inspirasi batin dalam Roh Kudus, yang kemarin, pada hari Pentakosta, mencurahkan diri-Nya secara melimpah kepada umat Allah. Dalam suasana rohani inilah kita sedang mengalami hari yang istimewa; pertama dengan meditasi yang telah kita dengar dan sekarang, di meja Sabda dan Ekaristi.

 

Sabda Allah dalam perayaan ini membantu kita memahami misteri Gereja dan, di dalamnya, misteri Takhta Suci, dalam terang dua gambaran biblis yang diilhami oleh Roh dalam Kisah Para Rasul (1:12-14) dan dalam Injil Yohanes (19:25-34).

 

Mari kita awali dengan kisah fundamental, yaitu kisah kematian Yesus. Yohanes, satu-satunya rasul dari Kelompok Dua Belas yang hadir di Kalvari, melihat dan bersaksi bahwa di dekat salib berdiri ibu Yesus bersama para perempuan lainnya (lih. Yoh 19:25). Dan ia mendengar dengan telinganya sendiri kata-kata terakhir Sang Guru, di antaranya adalah: "Ibu, inilah anakmu!" dan kemudian, sambil menoleh kepadanya, "Inilah ibumu!" (Yoh 19:26-27).

 

Keibuan Maria melalui misteri Salib mengalami lompatan yang tak terbayangkan: ibu Yesus menjadi Hawa baru, sumber kehidupan baru dan kekal bagi setiap orang yang datang ke dunia, karena Putranya mengaitkan dirinya dengan kematian penebusan-Nya. Tema berbuah hadir dengan jelas dalam liturgi ini. Doa pembukaan langsung menyoroti hal ini dengan memohon kepada Bapa agar Gereja, yang ditopang oleh kasih Kristus, “dapat semakin berbuah dari hari demi hari.” (Doa Pembuka)

 

Buah Gereja sama seperti buah Maria; Buah Gereja terwujud dalam kehidupan para anggotanya sejauh mereka menghidupkan kembali, “dalam bentuk miniatur,” apa yang dihidupi Sang Bunda, yaitu, mereka mengasihi sesuai dengan kasih Yesus. Seluruh buah Gereja dan Takhta Suci bergantung pada salib Kristus. Jika sebaliknya, itu hanya penampilan, jika bukan lebih buruk. Seorang teolog besar masa kini menulis: “Jika Gereja adalah pohon yang tumbuh dari biji sesawi kecil salib, pohon ini ditakdirkan untuk menghasilkan biji sesawi pada gilirannya, dan karenanya buah-buah yang mengulang bentuk salib, karena justru kepada saliblah mereka berutang keberadaan mereka” (H.U. von Balthasar, Cordula ovverosia il caso serio, Brescia 1969, 45-46).

 

Dalam Doa Pembuka, kita juga berdoa agar Gereja bersukacita “atas kekudusan anak-anaknya.” Bahkan, buah Maria dan Gereja terkait erat dengan kekudusan mereka, yang merupakan keselarasan mereka dengan Kristus. Takhta Suci kudus sebagaimana Gereja kudus, dalam hakikat aslinya, dalam tatanan keberadaannya. Dengan demikian, Takhta Suci memelihara kekudusan akar-akarnya seraya dilestarikan olehnya. Namun, sangat benar bahwa ia juga hidup dalam kekudusan setiap anggotanya. Oleh karena itu, cara terbaik untuk melayani Takhta Suci adalah dengan berjuang untuk kekudusan, masing-masing menurut keadaan hidupnya dan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.

 

Misalnya, seorang imam yang secara pribadi memikul salib berat karena pelayanannya, tetapi setiap hari pergi ke kantor dan berusaha melakukan tugasnya sebaik mungkin dengan cinta dan iman, imam ini berpartisipasi dan berkontribusi pada Gereja yang berbuah. Demikian pula, seorang ayah atau ibu dari sebuah keluarga yang hidup dalam situasi sulit di rumah, dengan seorang anak yang menjadi penyebab kekhawatiran atau orang tua yang sakit, dan melanjutkan pekerjaannya dengan berkomitmen, pria atau wanita itu berbuah dengan buah Maria dan Gereja.

 

Marilah kita beralih ke gambaran kedua, gambaran yang dipaparkan oleh Santo Lukas di awal Kisah Para Rasul, yang menggambarkan ibu Yesus bersama para Rasul dan murid-murid-Nya di Ruang Atas (1:12-14). Gambaran ini menghadirkan keibuan Maria terhadap Gereja yang baru lahir, keibuan “pola dasar” yang tetap relevan di setiap waktu dan tempat. Gambaran ini selalu dan terutama merupakan buah Misteri Paskah, buah karunia Tuhan yang tersalib dan bangkit.

 

Roh Kudus, yang turun dengan kuasa-Nya atas jemaat perdana, adalah Roh yang sama yang dikaruniakan Yesus pada saat hembusan napas terakhir-Nya (bdk. Yoh 19:30). Gambaran biblis ini tidak dapat dipisahkan dari gambaran pertama. Buah Gereja selalu dikaitkan dengan rahmat yang mengalir dari hati Yesus yang tertikam, bersama dengan darah dan air, melambangkan sakramen-sakramen (bdk. Yoh 19:34).

 

Di Ruang Atas, berkat perutusan keibuan yang diterimanya di kaki salib, Maria melayani komunitas yang baru lahir: dialah kenangan hidup tentang Yesus dan, sebagai pusat perhatian, dialah yang menyelaraskan perbedaan-perbedaan dan memastikan kesatuan doa para murid.

 

Dalam teks ini juga, para Rasul disebutkan namanya dan, seperti biasa, Petrus disebutkan pertama (lihat ayat 13). Namun, ia sendiri, sesungguhnya, adalah orang pertama yang didukung oleh Maria dalam pelayanannya. Dengan cara yang sama, Gereja Bunda mendukung pelayanan para penerus Petrus dengan karisma Maria. Takhta Suci mengalami dengan cara yang sangat khusus hidup berdampingan dari dua kutub; kutub Maria dan kutub Petrus. Kutub Maria, dengan keibuannya, karunia Kristus dan Roh, yang memastikan buah dan kekudusan kutub Petrus.

 

Sahabat terkasih, marilah kita memuji Allah karena Sabda-Nya, pelita yang menuntun langkah kita, bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita dalam melayani Takhta Suci. Diterangi oleh Sabda-Nya, marilah kita memperbarui doa kita: Ya Bapa, semoga Gereja-Mu, yang ditopang oleh kasih Kristus, semakin berbuah dalam Roh, bersukacita dalam kekudusan anak-anaknya, dan menarik segenap keluarga manusiawi untuk memeluknya (lihat Doa Pembuka dalam Misale Italia). Amin.

_______

(Peter Suriadi - Bogor, 9 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI RAYA PENTAKOSTA 8 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 2:1-11; Mzm. 104:1ab,24ac,29c-30,31,34; Rm. 8:8-17; Yoh. 14:15-16,23-26.

 

Saudara-saudari terkasih,

 

“Hari telah menyingsing atas kita ketika..., dimuliakan melalui kenaikan-Nya ke surga setelah kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus Kristus mengutus Roh Kudus” (Santo Agustinus, Khotbah 271, 1). Hari ini juga, apa yang terjadi di Ruang Atas terjadi lagi di tengah-tengah kita. Seperti tiupan angin keras yang menerjang kita, seperti benturan yang mengejutkan kita, seperti api yang menerangi kita, karunia Roh Kudus turun atas kita (lihat Kis 2:1-11).

 

Sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama, Roh Kudus melakukan sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan para Rasul. Setelah kematian Yesus, mereka telah menarik diri di balik pintu-pintu yang tertutup, dalam ketakutan dan kesedihan. Sekarang mereka menerima cara baru dalam melihat berbagai hal, suatu pemahaman batin yang membantu mereka menafsirkan berbagai peristiwa yang terjadi dan mengalami secara intim kehadiran Tuhan yang bangkit. Roh Kudus mengatasi ketakutan mereka, menghancurkan belenggu batin mereka, menyembuhkan luka-luka mereka, mengurapi mereka dengan kekuatan serta memberi mereka keberanian untuk pergi kepada semua orang dan mewartakan karya Allah yang maha dahsyat.

 

Bacaan dari Kisah Para Rasul memberitahu kita bahwa di Yerusalem pada waktu itu ada banyak orang dari berbagai latar belakang, namun “mereka masing-masing mendengar orang-orang percaya itu berbicara dalam bahasa mereka sendiri” (ayat 6). Singkatnya, pada hari Pentakosta, pintu-pintu Ruang Atas terbuka karena Roh Kudus membuka batas-batas. Sebagaimana dijelaskan Benediktus XVI: “Roh Kudus menganugerahkan pengertian. Roh Kudus mengatasi ‘pelanggaran’ yang dimulai di Babel, kebingungan pikiran dan hati yang membuat kita saling bertentangan. Roh Kudus membuka batas-batas... Gereja harus selalu menjadi seperti apa adanya. Gereja harus membuka batas-batas antara bangsa-bangsa dan meruntuhkan penghalang di antara kelas dan ras. Dalam Gereja, tidak boleh ada orang-orang yang diabaikan atau diremehkan. Dalam Gereja hanya ada orang-orang yang bebas, saudara-saudari Yesus Kristus” (Homili Misa Hari Raya Pentakosta, 15 Mei 2005).

 

Di sini kita memiliki gambaran yang mengesankan tentang Pentakosta, gambaran yang ingin saya renungkan sejenak bersamamu.

 

Roh Kudus membuka batas-batas, pertama-tama, di dalam hati kita. Ia adalah Karunia yang membuka hidup kita terhadap kasih. Kehadiran-Nya menghancurkan kerasnya hati, sempitnya pikiran, keegoisan kita, ketakutan yang membelenggu kita dan narsisme yang membuat kita hanya memikirkan diri kita sendiri. Roh Kudus datang menantang kita, membuat kita menghadapi kemungkinan bahwa hidup kita sedang menyusut, terperangkap dalam pusaran individualisme. Sayangnya, anehnya, di dunia media "sosial" yang sedang berkembang pesat, kita berisiko semakin sendirian. Terus-menerus terhubung, tetapi tidak mampu "berjejaring". Selalu tenggelam dalam kerumunan orang banyak, tetapi menjadi pengembara yang bingung dan menyendiri.

 

Roh Kudus memungkinkan kita menemukan cara baru dalam menjalani dan mengalami kehidupan. Ia menghubungkan kita dengan diri kita yang terdalam, di balik semua topeng yang kita kenakan. Ia menuntun kita untuk berjumpa Tuhan dengan mengajar kita untuk mengalami sukacita yang merupakan karunia-Nya. Ia meyakinkan kita, seperti yang baru saja kita dengar dalam sabda Yesus, bahwa hanya dengan tinggal dalam kasih, kita akan menerima kekuatan untuk tetap setia pada sabda-Nya dan membiarkannya mengubah diri kita. Roh Kudus membuka batas-batas batin kita, sehingga kehidupan kita dapat menjadi tempat yang menyenangkan dan menyegarkan.

 

Roh Kudus juga membuka batas-batas dalam hubungan kita dengan sesama. Yesus memberitahu kita bahwa Sang Karunia ini adalah kasih antara diri-Nya dan Bapa yang datang untuk tinggal di dalam diri kita. Kita kemudian menjadi mampu membuka hati terhadap saudara-saudari kita, mengatasi kekakuan kita, melampaui rasa takut kita terhadap mereka yang berbeda, dan menguasai hasrat yang menggelora di dalam diri kita. Roh Kudus juga mengubah berbagai bahaya yang lebih dalam dan tersembunyi yang mengganggu hubungan kita, seperti kecurigaan, prasangka, atau keinginan untuk memanipulasi sesama kita. Saya juga berpikir, dengan penderitaan yang mendalam, tentang kasus-kasus di mana hubungan ditandai oleh keinginan yang tidak sehat untuk menguasai, suatu sikap yang sering mengarah pada kekerasan, sebagaimana ditunjukkan, secara tragis, oleh banyak kasus pembunuhan terhadap perempuan baru-baru ini.

 

Roh Kudus, di sisi lain, menghasilkan buah-buah yang memampukan kita untuk menumbuhkan hubungan yang baik dan sehat dalam diri kita: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22). Dengan cara ini, Roh memperluas batas-batas hubungan kita dan membuka kita pada sukacita persaudaraan. Ini juga merupakan tolok ukur yang penting bagi Gereja. Karena kita sungguh Gereja Tuhan yang bangkit dan murid-murid Pentakosta jika tidak ada batas atau perpecahan di antara kita; jika kita mampu berdialog dan saling menerima di dalam Gereja, dan mendamaikan keberagaman kita; dan jika, sebagai Gereja, kita menjadi tempat yang ramah dan bersahabat bagi semua orang.

 

Akhirnya, Roh Kudus juga membuka batas-batas di antara bangsa-bangsa. Pada hari Pentakosta, para Rasul berbicara dalam bahasa-bahasa orang-orang yang mereka temui, dan kekacauan di Babel akhirnya terselesaikan oleh keselarasan yang ditimbulkan oleh Roh Kudus. Setiap kali "nafas" Allah menyatukan hati kita dan membuat kita memandang sesama kita sebagai saudara-saudari kita, perbedaan tidak lagi menjadi kesempatan untuk perpecahan dan pertikaian, melainkan warisan bersama yang dapat kita ambil manfaatnya, dan menempatkan kita semua dalam perjalanan bersama, dalam persaudaraan.

 

Roh Kudus merobohkan penghalang serta meruntuhkan tembok ketidakpedulian dan kebencian karena Ia “mengajarkan segala sesuatu kepada kita” dan “mengingatkan kita akan semua perkataan Yesus” (lihat Yoh 14:26). Ia mengajarkan kita, mengingatkan kita, dan menulis di dalam hati kita terlebih dahulu perintah kasih yang telah dijadikan Tuhan pusat dan puncak segala sesuatu. Di mana ada kasih, tidak ada ruang untuk prasangka, zona “keamanan” yang memisahkan kita dari sesama, pola pikir eksklusif yang, sayangnya, kini kita lihat juga muncul dalam nasionalisme politik.

 

Pada Hari Raya Pentakosta, Paus Fransiskus mencermati, “Di dunia kita saat ini, ada begitu banyak perselisihan, perpecahan yang begitu besar. Kita semua ‘terhubung’, tetapi mendapati diri kita terputus satu sama lain, dibius oleh ketidakpedulian dan diliputi oleh kesunyian” (Homili, 28 Mei 2023). Perang yang melanda dunia kita adalah tanda tragis dari hal ini. Marilah kita memohon Roh kasih dan perdamaian, agar Ia sudi membuka batas-batas, meruntuhkan berbagai tembok, menyingkirkan kebencian dan membantu kita untuk hidup sebagai anak-anak dari satu Bapa kita yang ada di surga.

 

Saudara-saudari, Pentakosta memperbarui Gereja dan dunia! Semoga tiupan angin Roh keras datang atas kita dan di dalam diri kita, membuka batas-batas hati kita, menganugerahkan kita rahmat perjumpaan dengan Allah, memperluas cakrawala kasih kita dan menopang upaya kita untuk membangun dunia di mana perdamaian berkuasa.

 

Semoga Santa Maria, Perempuan Pentakosta, Perawan yang dikunjungi Roh, Bunda yang penuh rahmat, menyertai kita dan menjadi perantara kita.

______

(Peter Suriadi - Bogor, 8 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA HARI MINGGU PASKAH VII (MISA YUBILEUM KELUARGA, ANAK-ANAK, KAKEK-NENEK DAN ORANG LANJUT USIA) 1 Juni 2025

Bacaan Ekaristi : Kis. 7:55-60; Mzm. 97:1,2b,6,7c,9; Why. 22:12-14,16-17,20; Yoh. 17:20-26.

 

Bacaan Injil yang baru saja kita dengar menunjukkan kepada kita bahwa Yesus, pada Perjamuan Terakhir, mendoakan kita (bdk. Yoh 17:20). Sabda Allah, yang menjadi manusia, saat Ia mendekati akhir hidup-Nya di dunia, memikirkan kita, saudara-saudari-Nya, dan menjadi berkat, doa permohonan dan pujian kepada Bapa, dalam kuasa Roh Kudus. Saat kita sendiri, penuh dengan rasa takjub dan percaya, masuk ke dalam doa Yesus, kita menjadi, berkat kasih-Nya, bagian dari rencana besar yang menyangkut segenap umat manusia.

 

Kristus berdoa supaya kita semua dapat “menjadi satu” (ayat 21). Inilah kebaikan terbesar yang dapat kita harapkan, karena persatuan universal ini menghasilkan di antara ciptaan-Nya persekutuan kasih yang kekal, yaitu Allah sendiri: Bapa yang memberi hidup, Putra yang menerimanya, dan Roh yang membagikannya.

 

Tuhan tidak ingin kita, dalam kesatuan ini, menjadi kumpulan orang yang tidak bernama dan tidak berwajah. Ia ingin kita menjadi satu: “Sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita” (ayat 21). Kesatuan yang didoakan Yesus adalah persekutuan yang berlandaskan kasih yang sama dengan kasih Allah, yang membawa kehidupan dan keselamatan ke dalam dunia. Dengan demikian, pertama-tama kesatuan adalah anugerah yang dibawa Yesus. Dari hati manusiawi-Nya, Putra Allah berdoa kepada Bapa dengan kata-kata ini: “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar dunia tahu bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (ayat 23).

 

Marilah kita mendengarkan kata-kata ini dengan takjub. Yesus memberitahu kita bahwa Allah mengasihi kita sebagaimana Ia mengasihi diri-Nya. Bapa tidak kurang mengasihi kita daripada Ia mengasihi Putra-Nya yang tunggal. Dengan kata lain, dengan kasih yang tak terbatas. Allah tidak kurang mengasihi, karena Ia mengasihi terlebih dahulu, sejak awal! Kristus sendiri memberi kesaksian tentang hal ini ketika Ia berkata kepada Bapa, "Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan" (ayat 24). Dan memang demikian adanya: dalam belas kasihan-Nya, Allah selalu ingin menarik semua orang kepada-Nya. Hidup-Nya, yang dianugerahkan kepada kita dalam Kristus, yang menjadikan kita satu, menyatukan kita satu sama lain.

 

Mendengarkan Bacaan Injil hari ini, selama Yubileum Keluarga, Anak-anak, Kakek-Nenek, dan Orang Lanjut Usia, membuat kita bersukacita.

 

Sahabat terkasih, kita menerima kehidupan sebelum kita menginginkannya. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus: “kita semua adalah putra dan putri, tetapi tidak seorang pun dari kita memilih untuk dilahirkan” (Angelus, 1 Januari 2025). Tidak hanya itu. Begitu kita dilahirkan, kita membutuhkan orang lain untuk hidup; jika kita hidup sendiri, kita tidak akan bertahan hidup. Orang lain menyelamatkan kita dengan merawat kita secara jasmani dan rohani. Kita semua hidup hari ini berkat sebuah hubungan, hubungan yang bebas dan membebaskan dari kebaikan hati manusia dan kepedulian bersama.

 

Sahabat-sahabat terkasih, kita menerima kehidupan sebelum kita menginginkannya. Seperti yang dikatakan Paus Fransiskus: “kita semua adalah putra dan putri, tetapi tidak seorang pun dari kita memilih untuk dilahirkan” (Angelus, 1 Januari 2025). Tidak hanya itu. Begitu kita dilahirkan, kita membutuhkan orang lain untuk hidup; jika kita sendiri, kita tidak akan bertahan hidup. Orang lain menyelamatkan kita dengan merawat kita secara jasmani dan rohani. Kita semua hidup hari ini berkat sebuah hubungan, hubungan yang bebas dan membebaskan dari kebaikan hati manusia dan kepedulian bersama.

 

Kebaikan hati manusia itu terkadang dikhianati. Misalnya, setiap kali kebebasan bukan dimohonkan untuk memberi kehidupan, tetapi untuk merenggutnya, bukan untuk membantu, tetapi untuk menyakiti. Namun bahkan dalam menghadapi kejahatan yang menentang dan merenggut kehidupan, Yesus terus berdoa kepada Bapa demi kita. Doa-Nya bertindak sebagai balsem untuk luka-luka kita; doa-Nya berbicara kepada kita tentang pengampunan dan rekonsiliasi. Doa-Nya membuat pengalaman cinta kita satu sama lain sebagai orang tua, kakek-nenek, putra dan putri menjadi sepenuhnya bermakna. Itulah yang ingin kita sampaikan kepada dunia: kita ada di sini untuk menjadi "satu" sebagaimana Tuhan menghendaki kita menjadi "satu," dalam keluarga kita dan di tempat kita tinggal, bekerja, dan belajar. Berbeda, tetapi satu; banyak, tetapi satu; selalu, dalam setiap situasi dan di setiap tahap kehidupan.

 

Sahabat-sahabat terkasih, jika kita saling mengasihi dengan cara ini, yang berlandaskan Kristus, yang adalah “Alfa dan Omega,” “Yang Pertama dan Yang Terkemudian” (bdk. Why 22:13), kita akan menjadi tanda perdamaian bagi semua orang, dalam masyarakat dan dunia. Janganlah kita lupa: keluarga adalah tempat lahirnya masa depan umat manusia.

 

Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah menerima tanda yang memenuhi kita dengan sukacita tetapi juga membuat kita berpikir. Kenyataan bahwa beberapa pasangan suami-istri telah dibeatifikasi dan dikanonisasi, tidak sendiri-sendiri, tetapi sebagai pasangan. Saya memikirkan Louis dan Zélie Martin, orang tua Santa Teresa dari Kanak-kanak Yesus; dan Beata Luigi dan Maria Beltrame Quattrocchi, yang membesarkan sebuah keluarga di Roma pada abad yang lalu. Dan janganlah kita melupakan keluarga Ulma dari Polandia: orang tua dan anak-anak, bersatu dalam kasih dan kemartiran. Saya katakan bahwa ini adalah tanda yang membuat kita berpikir. Dengan menunjuk mereka sebagai saksi teladan kehidupan perkawinan, Gereja memberitahu kita bahwa dunia dewasa ini membutuhkan perjanjian perkawinan agar kita dapat mengenal dan menerima kasih Allah serta mengalahkan, berkat kekuatannya yang menyatukan dan mendamaikan, kekuatan-kekuatan yang memecah belah hubungan dan masyarakat.

 

Oleh karena itu, dengan hati yang dipenuhi rasa syukur dan harapan, saya ingin mengingatkan semua pasangan suami istri bahwa perkawinan bukanlah cita-cita, melainkan ukuran kasih sejati antara seorang laki-laki dan seorang perempuan: kasih yang total, setia, dan berbuah (bdk. Santo Paulus VI, Humanae Vitae, 9). Kasih ini menjadikanmu satu daging dan memampukanmu, menurut gambar Allah, menganugerahkan karunia kehidupan.

 

Maka, saya mendorongmu untuk menjadi teladan keutuhan bagi anak-anakmu, bertindak sebagaimana kamu inginkan mereka bertindak, mendidik mereka dalam kebebasan melalui kepatuhan, selalu melihat kebaikan dalam diri mereka dan menemukan cara untuk memeliharanya. Dan kamu, anak-anak terkasih, tunjukkanlah rasa terima kasih kepada orang tuamu. Mengucapkan "terima kasih" setiap hari atas karunia kehidupan dan semua yang menyertainya adalah cara pertama untuk menghormati ayah dan ibumu (bdk. Kel 20:12). Akhirnya, kakek-nenek dan orang lanjut usia yang terkasih, saya sarankan agar kamu menjaga orang-orang yang kamu kasihi dengan kebijaksanaan dan belas kasihan, dan dengan kerendahan hati dan kesabaran yang datang seiring bertambahnya usia.

 

Dalam keluarga, iman diwariskan bersama dengan kehidupan, dari generasi ke generasi. Iman dibagikan seperti makanan di meja makan keluarga dan seperti kasih di dalam hati kita. Dengan cara ini, keluarga menjadi tempat istimewa untuk berjumpa Yesus, yang mengasihi kita dan selalu menginginkan kebaikan kita.

 

Perkenankan saya menambahkan satu hal terakhir. Doa Putra Allah, yang memberi kita harapan dalam perjalanan kita, juga mengingatkan kita bahwa suatu hari nanti kita semua akan menjadi uno unum (lih. Santo Agustinus, Sermo super Mzm. 127): satu dalam satu Juruselamat, dipeluk oleh kasih abadi Allah. Bukan hanya kita, tetapi juga ayah, ibu, nenek, kakek, saudara, saudari, dan anak-anak kita yang telah mendahului kita ke dalam terang Paskah-Nya yang kekal, dan yang kehadirannya kita rasakan di sini, bersama kita, pada saat perayaan ini.

____

(Peter Suriadi - Bogor, 1 Juni 2025)

HOMILI PAUS LEO XIV DALAM MISA TAHBISAN PRESBITERAT DI BASILIKA SANTO PETRUS VATIKAN 31 Mei 2025

Bacaan Ekaristi : Kis 20:17-18a,28-32,36; 2Kor 5:14-20; Yoh 17:6,14-19.

 

Saudara-saudari terkasih!

 

Hari ini adalah hari penuh sukacita bagi Gereja dan kamu masing-masing, para tertahbis presbiterat, bersama keluargamu, sahabat, dan sesama peziarah selama tahun-tahun pembinaan. Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa bagian Ritus Tahbisan, hubungan antara apa yang kita rayakan hari ini dan umat Allah bersifat hakiki. Kedalaman, keluasan, dan bahkan durasi sukacita ilahi yang kini kita nikmati berbanding lurus dengan ikatan yang ada dan akan tumbuh di antaramu para tertahbis dan umat yang darinya kamu berasal, tetap menjadi bagian darinya, dan kepadanya kamu diutus. Saya akan membahas aspek ini, dengan selalu mengingat bahwa jatidiri imam bergantung pada persatuan dengan Kristus, sang imam agung dan kekal.

 

Kita adalah umat Allah. Konsili Vatikan II membuat kesadaran ini lebih hidup, hampir mengantisipasi saat ketika keanggotaan akan menjadi lebih lemah dan rasa akan Allah lebih murni. Kamu menjadi saksi fakta bahwa Allah tidak pernah lelah mengumpulkan anak-anak-Nya, betapapun beragamnya, dan membentuk mereka menjadi kesatuan yang dinamis. Ini bukan sesuatu yang tergesa-gesa, tetapi embusan yang lembut yang memulihkan harapan Nabi Elia saat ia putus asa (lih. 1Raj 19:12). Sukacita Allah tidak hiruk-pikuk, tetapi benar-benar mengubah sejarah dan membawa kita lebih dekat satu sama lain. Salah satu ikonnya adalah misteri kunjungan Maria, yang direnungkan Gereja pada hari terakhir bulan Mei. Dari perjumpaan Perawan Maria dan sepupunya Elisabet, kita melihat terlontarnya Magnificat, nyanyian umat yang dikunjungi oleh rahmat.

 

Bacaan yang baru saja diwartakan membantu kita menafsirkan apa yang juga terjadi di antara kita. Dalam Bacaan Injil, bagi kita, pertama-tama, Yesus tidak tampak sebagai orang yang dihancurkan oleh kematian yang akan tiba, atau oleh kekecewaan atas ikatan yang putus atau belum tuntas. Sebaliknya, Roh Kudus, memperkuat ikatan yang terancam itu. Dalam doa, ikatan itu menjadi lebih kuat daripada kematian. Alih-alih memikirkan nasib pribadi-Nya, Yesus meletakkan ikatan yang telah dibangun-Nya di sini di tangan Bapa. Kita adalah bagian darinya! Karena Injil telah tiba bagi kita melalui ikatan yang dapat dikikis oleh dunia, tetapi tidak dapat dihancurkan.

 

Para tertahbis yang terkasih, bayangkanlah dirimu dalam jalan Yesus! Menjadi bagian dari Allah — hamba Allah, umat Allah — mengikat kita ke bumi: bukan ke dunia yang ideal, tetapi ke dunia yang nyata. Seperti Yesus, mereka adalah manusia berdarah daging yang ditempatkan Bapa di jalanmu. Bagi mereka kamu menguduskan diri, tanpa memisahkan diri dari mereka, tanpa mengasingkan diri, tanpa menjadikan karunia yang diterima semacam hak istimewa. Paus Fransiskus telah memperingatkan kita berkali-kali terhadap hal ini, karena mengacu diri akan memadamkan api semangat misioner.

 

Gereja secara konstitutif bersifat ekstrovert, sebagaimana ekstrovertnya kehidupan, sengsara, kematian, dan kebangkitan Yesus. Kamu menjadikan sabda-Nya sebagai sabdamu setiap kali merayakan Ekaristi: Ia adalah "untukmu dan semua orang." Tidak seorang pun pernah melihat Allah. Ia telah berpaling kepada kita, Ia telah keluar dari diri-Nya. Sang Putra menjadi eksegesisnya, kisah yang hidup. Dan Ia memberi kita kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Jangan mencari, jangan semakin mencari kuasa!

 

Semoga gerakan penumpangan tangan, yang dengannya Yesus menerima anak-anak dan menyembuhkan orang sakit, memperbarui dalam dirimu kuasa pembebasan pelayanan mesianik-Nya. Dalam Kisah Para Rasul, gerakan itu, yang akan segera kami ulangi, merupakan penyaluran Roh yang kreatif. Dengan demikian, kini Kerajaan Allah membawa ke dalam persekutuan kebebasan pribadimu, bersedia keluar dari dirimu, mencangkokkan kecerdasan dan kekuatan mudamu ke dalam misi Yubileum yang diteruskan Yesus kepada Gereja-Nya.

 

Dalam sapaannya kepada para penatua jemaat Efesus, yang penggalannya kita mendengar dalam Bacaan Pertama, Paulus menyampaikan kepada mereka rahasia seluruh misi: “Kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi pengawas” (Kis 20:28). Bukan majikan, tetapi penjaga. Misi mereka adalah misi Yesus. Ia telah bangkit, oleh karena itu Ia hidup dan berjalan mendahului kita. Tidak seorang pun dari kita dipanggil untuk menggantikan-Nya. Hari Kenaikan Tuhan mengajarkan kita dalam kehadiran-Nya yang tak terlihat. Ia memercayai kita, Ia memberi ruang bagi kita; Ia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan, “Lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi” (Yoh 16:7). Kita para uskup, para calon imam yang terkasih, hari ini dengan melibatkanmu dalam misi juga memberi ruang bagimu. Dan kamu memberi ruang bagi umat beriman dan setiap ciptaan, yang di dalamnya Tuhan yang bangkit dekat serta berkenan mengunjungi dan membuat kita takjub. Umat Allah jauh melebihi apa yang kita lihat. Janganlah kita mendefinisikan batas-batasnya.

 

Mengenai Santo Paulus, mengenai pidato perpisahannya yang mengharukan itu, saya ingin menekankan kata kedua. Kata itu, sebenarnya, mendahului semua kata lainnya. Ia berkata, “Kamu tahu, bagaimana aku hidup senantiasa di antara kamu” (Kis 20:18). Marilah kita simpan di dalam hati dan pikiran kita, terukir dengan baik, ungkapan ini! “Kamu tahu, bagaimana aku telah bertindak”: transparansi kehidupan. Kehidupan yang dipahami, kehidupan yang dapat dibaca, kehidupan yang dapat dipercaya! Kita berdiri di antara umat Allah, sehingga kita dapat berdiri di hadapan mereka, dengan kesaksian yang dapat dipercaya.

 

Bersama-sama, kita akan membangun kembali kepercayaan terhadap Gereja yang terluka, yang diutus kepada umat manusia yang terluka, di dalam ciptaan yang terluka. Kita belum sempurna, tetapi kita perlu menjadi dapat dipercaya.

 

Yesus yang bangkit memperlihatkan luka-luka-Nya kepada kita, dan meskipun luka-luka itu merupakan tanda penolakan umat manusia, Ia mengampuni dan mengutus kita. Janganlah kita melupakan-Nya! Ia juga mengembusi kita hari ini (lih. Yoh. 20:22) dan menjadikan kita pelayan pengharapan. “Sebab itu, kami tidak lagi menilai seorang pun menurut ukuran manusia” (2Kor. 5:16): segala sesuatu yang tampak hancur dan sirna di mata kita sekarang tampak bagi kita sebagai tanda rekonsiliasi.

 

“Karena kasih Kristus memiliki kita,” saudara-saudari terkasih! Kepemilikan yang membebaskan dan memberdayakan kita untuk tidak memiliki siapa pun. Membebaskan, bukan memiliki. Kita adalah milik Allah: tidak ada kekayaan yang lebih besar ketimbang menghargai dan membagikan. Hanya kekayaan yang jika dibagikan akan berlipat ganda. Kita ingin menunjukkan kepada dunia bahwa karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal (lih. Yoh. 3:16).

 

Dengan demikian, kehidupan yang diberikan oleh saudara-saudara ini, yang akan segera menerima tahbisan presbiterat, penuh makna. Kita berterima kasih kepada mereka dan Allah yang telah memanggil mereka untuk melayani seluruh umat imami. Bersama-sama, sesungguhnya, kita menyatukan surga dan bumi. Dalam diri Maria, Bunda Gereja, bersinar imamat bersama ini yang mengangkat yang hina, mengikat generasi-generasi, dan membuat kita disebut berbahagia (lih. Luk 1:48,52). Semoga ia, Bunda Maria yang penuh kepercayaan dan Bunda pengharapan, menjadi perantara kita.

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 31 Mei 2025)