Bacaan
Ekaristi : Bil. 21:4-9; Mzm. 102:2-3,16-18,19-21; Yoh. 8:21-30.
Seekor
ular tentu bukan binatang yang disukai : ia selalu dikaitkan dengan kejahatan.
Juga dalam kitab Wahyu, ular pada kenyataannya adalah binatang yang digunakan
iblis untuk berbuat dosa. Dalam sastra apokaliptik tersebut, iblis disebut “si
ular tua”, ia yang sejak awal menggigit, meracuni, menghancurkan dan membunuh.
Oleh karena itu, ia tidak bisa berhasil. Jika ia ingin berhasil, laksana
seseorang yang menawarkan hal-hal yang indah, hal-hal tersebut merupakan
khayalan : tetapi kita mempercayai iblis dan kita berdosa. Inilah yang terjadi
pada orang-orang Israel : mereka tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan.
Mereka lelah. Dan orang-orang Israel berbicara melawan Allah dan melawan Musa.
Bukankah selalu sama? “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya
kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air,
dan akan makanan hambar ini, manna ini, kami telah muak” (bdk. Bil 21:4-5).
Dan, kita membaca dalam beberapa hari terakhir, khayalan mereka selalu pergi ke
Mesir: “Tetapi, kami baik-baik saja di sana, kami makan enak ...". Dan
sepertinya Tuhan tidak menahan hati terhadap orang-orang itu pada saat ini. Ia
marah. Murka Tuhan terkadang terlihat .... Lalu Tuhan menyuruh ular-ular tedung
ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel
yang mati. "Banyak dari orang Israel yang mati" (Bil 21:6). Ular
selalu merupakan gambaran kejahatan. Pada saat itu, orang-orang melihat dosa
ular; mereka melihat ular yang berbuat jahat. Lalu mereka pergi kepada Musa dan
berkata, “Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan Tuhan dan engkau;
berdoalah kepada Tuhan, supaya dijauhkan-Nya ular-ular ini dari pada kami"
(Bil 21:7). Mereka bertobat. Inilah kisah di padang gurun. Musa mendoakan
orang-orang itu dan Tuhan bersabda kepada Musa. "Maka setiap orang yang
terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup" (Bil 21:8).